Liputan6.com, Gorontalo - Sosialisasi Remaja Cakap (Recak) Digital di SMK Negeri 1 Marisa, Kabupaten Pohuwato, Rabu (26/7/2023), terasa istimewa dengan hadirnya eks narapidana terorisme (napiter).
Eks napiter tersebut dihadirkan oleh Satgaswil Gorontalo Detasemen Khusus (Densus) 88 Mabes Polri yang merupakan mitra Dinas Komunikasi, Informatika, dan Statistik dalam sosialisasi program Recak Digital.
Baca Juga
Advertisement
Menurut Banit Idensos Satgaswil Gorontalo, Brigpol Rian Rinaldy Dama, eks napiter asal Pohuwato tersebut terpapar paham radikalisme melalui media sosial. Ini erat kaitannya dengan materi Recak Digital dan pihaknya sangat bersyukur digandeng oleh Dinas Kominfotik Provinsi Gorontalo.
"Tujuan kami menghadirkan eks napiter ini agar ia bisa menceritakan pengalamannya sampai terpapar lewat medsos sehingga para pelajar bisa menangkal dan tidak terjerumus ke paham radikalisme," Brigpol Rian Rinaldy Dama mengatakan.
Rian menambahkan, sudah banyak kelompok terorisme yang masuk ke Gorontalo seperti Jamaah Ansharut Daulah (JAD) dan Jamaah Islamiyah (JI). Menurutnya, kelompok terorisme ini memilih Gorontalo karena merupakan jalur perlintasan dari Sulawesi Tengah yang merupakan basis jaringan terorisme di Sulawesi.
Kelompok teroris juga menganggap Gorontalo menjadi tempat yang aman untuk bersembunyi karena sikap masyarakat yang ramah kepada setiap orang. Apalagi Gorontalo memegang teguh filosofi hidup yaitu adat bersendikan sara dan sara bersendikan kitabullah.
"Oleh karena itu, salah satu upaya yang sangat penting adalah sosialisasi. Kami berupaya melakukan pencegahan sebelum ada kejadian. Pencegahan yang menjadi target kami menyasar kalangan siswa dan mahasiswa karena mereka sangat rentan terpapar," tutur Rian.
Sebelumnya, eks napiter Suleman Alinti pada testimoninya di hadapan siswa SMK Negeri 1 Marisa mengisahkan awal mula dirinya terpapar radikalisme pada tahun 2017. Saat itu, marbot Masjid Agung Marisa ini mengakui jika dirinya baru mulai belajar ilmu agama hanya melalui medsos tanpa guru pendamping.
"Saya terpapar paham radikalisme itu dari media sosial yaitu Facebook. Awalnya, tertarik dengan sebuah postingan dan akhirnya saya dimasukkan dalam salah satu grup radikal yaitu JAD. Di grup itu mereka mudah mengkafirkan orang," ucap Suleman.
Pada 28 November 2020, Suleman Alinti ditangkap oleh Densus 88. Dalam proses persidangan, dirinya dijatuhi hukuman tiga tahun penjara dan memperoleh pembebasan bersyarat setelah menjalani masa tahanan selama dua tahun dua bulan.
"Setelah ditangkap, saya mulai mengevaluasi diri dan belajar lagi. Pelajaran yang saya ambil dan menjadi pesan kepada adik-adik yaitu bijaklah dalam menggunakan media sosial. Kemudian belajar agama harus ada guru dan jangan fanatik dengan satu ajaran," ia menandaskan.