PM Swedia Akui Sangat Khawatir dengan Konsekuensi Pembakaran Al-Qur'an

Pemerintah Denmark dan Swedia mengakui bahwa mereka menyesalkan aksi pembakaran Al-Qur'an, namun tidak dapat mencegahnya karena dilindungi aturan kebebasan berbicara.

oleh Khairisa Ferida diperbarui 28 Jul 2023, 09:02 WIB
Ilustrasi Al-Qur'an (Photo by Anis Coquelet on Unsplash)

Liputan6.com, Stockholm - Perdana Menteri Swedia Ulf Kristersson mengakui bahwa dia sangat khawatir tentang konsekuensi pembakaran Al-Qur'an yang meningkat. Aksi pembakaran Al-Qur'an yang berlangsung di Swedia dan Denmark telah memicu kemarahan umat Islam di seluruh dunia.

Kepada kantor berita Swedia TT, PM Kristersson mengatakan bahwa permintaan lebih lanjut telah diajukan ke polisi atas izin demonstrasi dengan menodai Al-Qur'an.

"Jika itu dikabulkan, kita akan menghadapi hari-hari di mana ada risiko yang jelas akan terjadi sesuatu yang serius," ujar PM Kristersson seperti dilansir The Guardian, Jumat (28/7/2023). "Saya sangat khawatir tentang apa yang bisa terjadi."

Kedutaan Besar Swedia di Baghdad, Irak, diserbu dan dibakar pada 20 Juli oleh pengunjuk rasa yang marah jelang aksi pembakaran Al-Qur'an.

PM Kristersson menggarisbawahi bahwa keputusan terkait pemberian izin atas demonstrasi sepenuhnya ada di tangan polisi.

Pada Rabu (26/7), PM Kristersson dan pejabat Swedia lainnya mengatakan negara itu telah menjadi sasaran kampanye disinformasi di mana aktor yang didukung Rusia telah berusaha untuk merusak citra negara dengan menyiratkan dukungan atas pembakaran.

"Aktor yang didukung Rusia memperkuat pernyataan yang salah seperti negara Swedia berada di balik penodaan kitab suci," ungkap Menteri Pertahanan Sipil Carl-Oskar Bohlin.

Dinas keamanan Swedia, Sapo, mempertahankan penilaian tingkat ancamannya pada 3 dari skala 5, selama krisis pasca pembakaran Al-Qur'an. Itu menandakan "ancaman yang meningkat". Pemimpin Sapo mengatakan telah terjadi reaksi keras terhadap peristiwa baru-baru ini.

"Swedia telah berubah dari dilihat sebagai negara toleran menjadi negara anti-Islam," kata Charlotte von Essen Kamis (27/7).


Swedia: Aksi Pembakaran Al-Qur'an Dilakukan Individu

Ilustrasi Swedia. (Dok. Pixabay)

Pemerintah Denmark dan Swedia mengakui bahwa mereka menyesalkan aksi pembakaran Al-Qur'an, namun tidak dapat mencegahnya karena dilindungi aturan kebebasan berbicara.

Sementara itu, Swedia menuduh negara lain seperti Rusia, memanipulasi krisis untuk merusak kepentingan dan usahanya bergabung dengan NATO.

"Di beberapa negara ada persepsi bahwa Swedia berada di balik aksi (pembakaran Al-Qur'an) atau membenarkan ini. Kami tidak seperti itu," ungkap Menteri Luar Negeri Swedia Tobias Billstrom pada Kamis. "Ini adalah tindakan yang dilakukan individu, namun mereka melakukannya dalam kerangka undang-undang kebebasan berbicara."

Billstrom menuturkan bahwa dia telah berkomunikasi dengan Menteri Luar Negeri Iran, Irak, Aljazair, dan Lebanon serta Sekretaris Jenderal PBB terkait krisis saat ini. Lebih lanjut, Billstrom mengungkapkan bahwa dia akan segera berbicara dengan Sekretaris Jenderal Organisasi Kerja Sama Islam (OKI).

"Kami akan membahas masalah ini dan penting untuk ditekankan bahwa ini adalah isu jangka panjang - tidak ada perbaikan yang dapat dilakukan dengan cepat," ujar Billstrom.

Pemerintah Swedia menghadapi tindakan penyeimbang yang sulit dalam mempertahankan undang-undang kebebasan berbicara yang berjangkauan luas, sementara pada saat yang sama menghindari potensi penghinaan terhadap umat Islam.

Posisi tersebut kian dipersulit oleh Partai Demokrat Swedia yang anti-imigrasi, yang dukungannya membuat koalisi kanan-tengah tetap berkuasa, meskipun secara formal bukan bagian dari pemerintah.

Anggota Demokrat Swedia, yang merupakan partai sayap kanan terbesar, telah berulang kali memperingatkan tentang "Islamisasi" masyarakat Swedia dan menyerukan para imigran untuk mengadopsi nilai-nilai Swedia.

 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya