Jimly Asshiddiqie: Demokrasi di Indonesia Mengalami Kemunduran, Didominasi oleh Ujaran Kebencian

Jimly menyampaikan bahwa ruang publik di Indonesia didominasi oleh ujaran kebencian antar golongan yang meluas ke persoalan-persoalan identitas berdasarkan ras, etnis dan agama dalam kontestasi politik.

oleh Lizsa Egeham diperbarui 28 Jul 2023, 10:36 WIB
Ketum ICMI, Jimly Asshiddiqie memberikan pernyataan pers dalam diskusi bersama media di Jakarta, Rabu (9/8). Dalam kesempatan itu, Jimly juga mengecam aksi main hakim sendiri dengan membakar hidup-hidup seorang pria di Bekasi. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Liputan6.com, Jakarta - Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie menerima gelar profesor kehormatan dari Melbourne Law School, Malbourne University, Kamis 27 Juli 2023. Jimly mendapatkan gelar ini melalui Program Miegunyah Fellowship, salah satu program paling bergengsi di Australia.

Dalam pidato pengukuhannya selaku Guru Besar, Jimly membawakan pidato berjudul, "Kemunduran Demokrasi dan Rule of Law di Indonesia". Dia mengungkapkan enam faktor yang mempengaruhi penurunan kualitas demokrasi di seluruh dunia, khususnya Indonesia.

"Ada enam hal yang melanda dunia yang berpengaruh dan ikut menentukan penurunan kualitas demokrasi di seluruh dunia, yang juga berpengaruh terhadap kinerja demokrasi dan negara hukum, khususnya di Indonesia," kata Jimly dikutip dari siaran persnya, Jumat (28/7/2023).

Adapun keenam hal itu antara lain, munculnya gelombang rasialisme dan Islamophobia di seluruh dunia. Kedua, meluaskan ujaran kebencian, permusuhan, disinformasi, dan miskomunikasi di ruang publik. Ketiga, gejala deinstitutionalisasi politik.

Keempat, berkembangnya praktik benturan kepentingan antara bisnis dan politik. Kelima, munculnya kecenderungan baru dimana 4 kekuatan yang saya namakan “macro quaru-politica” yang meliputi “state, civil society, market, and the media” bergerak ke arah genggaman satu tangan kekuasaan.

Terakhir, ancaman adanya ancaman covid-19 yang dibajak dan disalahgunakan untuk membuat keputusan-keputusan kenegaraan yang tidak partisipatoris dan mengabaikan pentingnya prinsip “deliberative democracy” dan partisipasi publik yang substantif".

Jimly menyampaikan bahwa ruang publik di Indonesia didominasi oleh ujaran kebencian antar golongan yang meluas ke persoalan-persoalan identitas berdasarkan ras, etnis dan agama dalam kontestasi politik.

Menurut dia, orang sulit membedakan antara kritik dengan kebencian yang mempribadi. Sehingga, banyak orang yang bersikapanti pemerintah yang harus menghadapi proses hukum.

"Hal ini tentu saja memperburuk kualitas demokrasi dan negara hukum dalam praktik," ujarnya.

Dia mengatakan aparat penegak hukum Indonesia telah mekakukan upaya untuk mengendalikan kebebasan di ruang publik, selama kurun waktu 9 tahun antara 2013-2021. Dalam hal ini, aparat penegak hukum memproses hukum sebanyak 393 orang warga berdasarkan ketentuan UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Mereka umumnya dikriminalisasi karena alasan menyalahgunakan kebebasan di media sosial dengan menyebarkan berita bohong, ujaran kebencian dan sikap permusuhan di ruang publik. Namun efeksamping dari tindakan represif ini, kata Jimly, warga menjadi takut untuk menyampaikan pendapat di ruang publik.

Tak hanya itu, Jimly menuturkan bahwa anyak pejabat publik yang menggunakan pasal-pasal karet dalam Undang-Undang ITE itu untuk membungkam suara kelompok-kelompok warga yang kritis terhadap pemerintah.

"Menurut laporan SAFENet, 38 korban kriminalisasi pada tahun 2021 yang paling banyak adalah para pembela hak asasi manusia. Sekitar 26 persen dari korbankriminalisasi berasal dari latar belakang aktifis," ungkap dia.


50 Persen Pejabat di Indonesia Adalah Pengusaha

Jimly juga mengkritik pejabat negara di Indonesia yang merangkap sebagai pengusaha. Dia mengungkapkan saat ini lebih dari 50 persen pejabat negara di Indonesia, merangkap sebagai pengusaha atau memiliki saham di perusahaan-perusahaan swasta.

"Khusus para anggota DPR-RI saja pada periode 2019-2024 dewasa ini, tercatat lebih dari 60 persen dalah pengusaha atau memiliki saham atau menjadi pengurus perusahaan (direksi atau komisaris)," ungkap dia.

Bahkan, lanjut Jimly, banyak Aparatur Sipil Negara (ASN) yang juga merangkap jabatan komisaris di pelbagai perusahaanmilik negara. Padahal, hal ini dapat menimbulkan benturan kepentingan antara politik dan bisnis ini.

Dia mengatakan hingga kini Indonesia belum menerapkan larangan konflik kepentingan, termasuk dalam relasi antara bisnis dan politik. Kondisi ini menyebabkan banyak pejabat negara yang tersandung praktik korupsi.

"Karena itu, praktik korupsi terussaja berkembang dimana-mana, padahal sikap anti korupsi merupakan salah satu amanat terpenting dari reformasi nasional Indonesia, 25 tahun yang lalu," pungkas Jimly.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya