Cegah Perdagangan Orang, Bareskrim Polri Usul Paspor Khusus Pekerja Migran dan Bayar Deposit

Paspor khusus ini tenaga kerja ini merupakan gagasan Bareskrim Polri demi mencegah TPPO.

oleh Tommy K. Rony diperbarui 28 Jul 2023, 20:40 WIB
Ilustrasi Paspor Indonesia. (Liputan6.com/Rita Ayuningtyas)

Liputan6.com, Jakarta - Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) mengungkap ide terkait paspor khusus para pekerja migran. Kehadiran paspor ini dinilai bisa mengurangi perdagangan orang yang terjadi. 

Dalam beberapa tahun terakhir, banyak WNI yang menjadi korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO) di wilayah Asia Tenggara. Ada yang disekap, tak digaji, hingga ginjalnya dijual.

Kepolisian menyebut penting agar kesadaran soal TPPO itu muncul dari level daerah, serta perlunya sosialisasi masif. Selain itu, bisa juga ada aturan paspor yang lebih ketat.

"Aturan dari instansi yang mengeluarkan paspor ini bisa membuat paspor di mana saja yang berlaku se-Indonesia. Tapi dalam penggunaannya jadi yang benar-benar harus diseleksi dan diawasi secara ketat," ujar Subdit 5 Direktorat Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri AKBP Aris Wibowo pada diskusi TPPO di Kedutaan Besar Amerika Serikat, Jakarta, Jumat (28/7/2023). 

Aris yang hadir secara virtual itu merekomendasikan paspor khusus pekerja migran untuk mengurangi TPPO yang jumlahnya semakin marak. Turut disarankan agar calon TKI membayar uang deposit. 

"Mungkin bisa dibuat kebijakan seperti paspor yang digunakan dengan turis atau untuk membedakan dengan paspor yang memang digunakan oleh PMI ini bisa dibuatkan secara mekanisme khusus, seperti adanya uang atau dana yang digunakan sebagai deposit," jelas Aris. 

Aktivis Menolak 

Saran Aris ditolak dengan tegas oleh aktivis Yuli Riswati dari Zero Human Trafficking/Kabar Bumi. Ia berkata kebijakan paspor khusus itu bisa diskriminatif, serta banyak orang-orang di daerah yang sudah kesulitan mendapatkan paspor, meski ingin yang legal.

"Saya tidak setuju kalau penyelesaian masalah ada perbedaan paspor. Itu justru diskriminasi nanti jadinya. Jadi bukan paspornya yang harus dibedakan, tapi sebenarnya adalah sistem dan aturan yang semakin ditegakkan," ujar Yuli.

Ia pun bercerita bahwa warga bisa sulit mengurus paspor legal, bahkan butuh berhari-hari jika mereka tinggal di daerah. Itu pun belum ada jaminan diterima dan pendaftar ditanya-tanya soal keuangan.

Namun, Yuli mengaku merasa aneh sebab paspor yang diajukan calo bisa dikabulkan. 

"Kenapa kalau calo atau yang 'oknum' yang mengurus mudah banget? Jadi ini yang harus dipertanyakan. Jadi persoalan bukan harus membedakan paspornya ya, tapi menegakkan aturan pembuatan paspor itu sendiri, karena memiliki data pribadi paspor adalah hak asasi warga," kata Yuli. 

Dalam responsnya, Aris sepakat bahwa membuat paspor adalah hak masyarakat. Aris menegaskan kembali bahwa aturan paspor itu baru sebatas hasil perbincangan. Namun, ia tetap menggarisbawahi bahwa banyak sekali kasus-kasus korban TPPO yang keluar negeri karena kemudahan aturan bebas visa di Asia Tenggara


Polisi Diduga Terlibat TPPO Jual-Beli Ginjal, Kompolnas: Tak Ada Ampun Bagi Orang Seperti Itu di Kepolisian

Ilustrasi Pekerja Migran Indonesia (Istimewa)

Aipda M, salah seorang anggota polisi diduga terlibat dalam Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) jaringan penjualan ginjal Indonesia-Kamboja. Ia ditangkap bersama dengan 11 orang tersangka lainnya beberapa waktu lalu.

Dengan ditangkapnya Aipda M, Komisioner Komisi Polisi Nasional (Kompolnas) Poengky Indarti mengaku prihatin terkait dengan adanya aksi polisi tersebut yang menghalangi proses hukum kepada para pelaku TPPO. 

"Tidak ada ampun bagi orang seperti itu di kepolisian, sehingga yang bersangkutan harus diproses pidana dengan hukuman maksimum ditambah sepertiga. Karena yang bersangkutan sebagai aparat kepolisian, seharusnya menegakkan hukum, bukan malah menghalang-halangi proses hukum," kata Poengky saat dihubungi, Sabtu (22/7).

Dengan adanya tindakan tersebut, Poengky pun mendorong agar Aipda M segera dilakukan proses kode etik serta dikenai sanksi pemecatan.

"Buah yang busuk dalam keranjang harus dibuang. Jika tetap dipertahankan, maka akan menularkan kebusukan pada yang lain," ujarnya.

Poengky menegaskan, Korps Bhayangkara harus memberikan hukuman yang maksimum. Hal ini juga agar menjadi efek jera, supaya tidak ada lagi anggota yang melakukan tindak pidana.

"Hukuman pidana maksimum disertai pemberatan serta sanksi pemecatan sebagai efek jera agar tidak ada lagi aparat yang berani coba-coba merintangi proses penyidikan," pungkasnya.

Infografis 34 Juta Data Paspor Indonesia Diduga Bocor, Ini Respons Kominfo dan Imigrasi. (Liputan6.com/Abdillah)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya