Advertisement
Liputan6.com, Jakarta - KPK telah meminta maaf atas kesalahan dalam menetapkan tersangka Kepala Basarnas Marsekal Muda Henri Alfiandi. Hal itu setelah pihak TNI melayangkan kritik terhadap penetapan tersangka KPK terhadap prajurit militer yang dianggap melampaui kewenangan.
Lantas Bagaimana aturannya?
Mantan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Yudi Purnomo mengamini, kalau KPK telah melampaui kewenangan dalam menetapkan tersangka seorang prajurit TNI. Sehingga ia meminta agar Pimpinan KPK bertanggung jawab.
"TNI sudah benar anggota TNI mereka. OTT sih oke, tapi caranya. Apalagi anak buahnya disalahin. Kan ada ekspose, ada pimpinan kan ngerti kalau ada militer," kata Yudi saat dihubungi, Jumat (28/7).
Sehingga seharusnya, Yudi mengatakan kalau kasus KPK menyangkut militer seharusnya diserahkan dan kerja sama dengan pihak Puspom TNI. Terlebih, proses operasi tangkap tangan (OTT) dalam kasus melibatkan wilayah Basarnas seharusnya diketahui pimpinan KPK.
"Jadi awal OTT itukan dimulai dari informasi dari masyarakat, lalu ekspose dengan pimpinan pasti dilaporkan kepada pimpinan. Kan di surat penyelidikan itu terkait misalnya Basarnas kan sudah tahu disitu ada TNI," ujarnya.
"Karena kalau di sprinlidik jelas menyelidiki kasus misalnya dugaan penerimaan penyelenggaraan negara di Basarnas kan sudah jelas. Kalau tahu TNI kenapa gak dilibatkan aja. ayo kita kerjasama, nah ini kan berantakan," tambah dia.
Adapun, Pasal 42 Undang-undang (UU) KPK, "Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang mengoordinasikan dan mengendalikan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada peradilan militer dan peradilan umum."
Kemudian Pasal 89 KUHAP mengatur:1. Tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk Iingkungan peradilan umum dan lingkungan peradilan militer, diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam Iingkungan peradilan umum kecuali jika menurut keputusan Menteri Pertahanan dan Keamanan dengan persetujuan Menteri Kehakiman perkara itu harus diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan militer.
2. Penyidikan perkara pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan oleh suatu tim tetap yang terdiri dari penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan polisi militer Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dan oditur militer atau oditur militer tinggi sesuai dengan wewenang mereka masing-masing menurut hukum yang berlaku untuk penyidikan perkara pidana.
3. Tim sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dibentuk dengan surat keputusan bersama Menteri Pertahanan dan Keamanan dan Menteri Kehakiman.
Dianggap Yudi jangan ditafsirkan sebagai KPK bisa menetapkan tersangka tanpa koordinasi. Sebab, ada aturan UU Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer yang telah mengatur masalah penyelidikan, penyidikan, penuntutan, proses persidangan, dan pelaksanaan eksekusi.
"Artinya KPK sebagai yang tadi OTT KPK kasus utama KPK yang tangani. Tapi ketika militer itu mereka koordinasi, maksud kendali utama tetap di KPK untuk kasus korupsi tapi penanganan khusus militer itu di militer. Tapi itukan untuk membagi data barbuk," jelasnya.
"Kecuali itu bunyinya untuk yang tunduk kepada aturan tetap ditangani KPK. makanya polisi kalau menangkap maling yang anggota TNI diserahkan, jadi bukan netapin tersangka. Nah kan KPK menetapkan tersangka gawat," sambungnya.
Dasar Hukum
Sebelumnya, Kepala Badan Pembinaan Hukum (Kababinkum) TNI Laksamana Muda (Laksda) Kresno Buntoro menilai penetapan tersangka kedua prajurit TNI oleh KPK menyalahi aturan.
“Di Indonesia itu mengenal empat lingkungan peradilan, yaitu peradilan umum, peradilan militer, peradilan agama, dan peradilan tata usaha negara. Untuk militer, itu kemudian ditindaklanjuti dengan UU Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer,” kata Kresno.
Sebab, dalam UU Peradilan Militer mengatur mengenai masalah penyelidikan, penyidikan, penuntutan, proses persidangan, dan pelaksanaan eksekusi.
“Selain itu, juga tunduk kepada KUHAP UU Nomor 8 Tahun 1981,” tutur Kresno.
Meskipun demikian, kata Kresno, pada intinya tidak ada prajurit TNI yang kebal hukum. Termasuk mengenai masalah penyelidikan, penyidikan, penuntutan, sampai pasa proses persidangan, dan juga melaksanakan eksekusi.
"Oleh karena itu di sana juga dengan tegas ditetapkan bahwa bagaimana itu penyelidikan, penangkapan, penahanan.Khusus untuk penahanan, yang bisa melakukan penahanan itu ada tiga," kata dia.
"Pertama adalah Ankum Atasan yang Berhak Menghukum. Kedua adalah Polisi Militer. Ketiga adalah Oditur Militer. Jadi selain tiga ini, itu tidak punya kewenangan melakukan penangkapan dan penahanan," tambahnya.
Advertisement
KPK Khilaf
Sementara itu, KPK telah mengakui khilaf atas penetapan tersangka dua prajurit TNI, Kepala Basarnas Marsekal Muda Henri Alfiandi dan Letkol Adm ABC selaku Koordinator Staf Administrasi. Karena telah melampaui kewenangan dari aturan yang berlaku.
"Dalam melaksanakan tangkap tangan itu ternyata tim menemukan mengetahui adanya anggota TNI. Dan kami paham bahwa tim penyelidik kami mungkin ada kekhilafan ada kelupaan bahwasannya manakala melibatkan TNI harus diserahkan kepada TNI," kata Wakil Ketua KPK Johanis Tanak saat jumpa pers di kantornya, Jumat (27/8).
Sebab, Tanak mengakui dalam lingkup prajurit TNI memiliki aturan sendiri atau disebut peradilan militer. Sesuai dengan aturan Pasal 10 Undang-undang No 14 tahun 1970 tentang pokok-pokok peradilan ada empat lembaga peradilan umum, militer, tata usaha negara, dan agama.
"Peradilan militer tentunya khusus anggota militer dan peradilan umum untuk sipil. Ketika ada melibatkan militer maka sipil harus menyerahkan kepada militer," tuturnya.
Oleh karena itu, Tanak mengatakan kedepannya untuk proses hukum terhadap Kepala Basarnas Marsekal Muda Henri Alfiandi dan Letkol Adm ABC akan dilakukan koordinasi lebih lanjut oleh pihak TNI.
"Atas kekhilafan ini kami mohon dapat dimaafkan, dan kedepan kami berupaya kerjasama yang baik antara tni dengan kpk dan aparat penegak hukum lain," tuturnya.
Sekedar informasi KPK telah mengembangan kasus sampai akhirnya juga menetapkan Henri Alfiandi sebagai tersangka dugaan suap pengadaan barang dan jasa di lingkungan Basarnas TA 2021-2023.
Selain Henri, KPK juga telah menetapkan tersangka ke Koordinator Administrasi (Koorsmin) Kabasarnas RI, Letkol Adm Afri Budi Cahyanto. Bersama Tiga orang dari pihak swasta atau sipil adalah MG Komisaris Utama PT MGCS; MR Direktur Utama PT IGK; dan RA Direktur Utama PT KAU.
Reporter: Bachtiarudin Alam/Merdeka.com