Liputan6.com, Jakarta - Pendidikan seks hingga kini masih menjadi isu sensitif dan tabu di masyarakat Indonesia. Topik ini masih dianggap tidak pantas dan tak layak untuk dibicarakan, khususnya kepada anak-anak dan remaja.
Padahal, Prof. Dr. M. Quraish Shihab Lc., Ma menegaskan bahwa pola pikir tersebut harus segera diubah. Menurutnya, pendidikan seksualitas seharusnya menjadi sebuah diskusi penting dalam keluarga dan pendidikan anak.
Advertisement
Pakar Al Quran itu berpendapat bahwa pendidikan seksualitas sejatinya bukan hanya tentang memberi pengetahuan biologis, namun juga bagaimana membentuk karakter dan nilai-nilai yang sesuai dengan norma dan etika dalam masyarakat. Ayah Najwa Shihab itu menekankan pentingnya menjalin hubungan yang baik antara orangtua dan anak.
"Anak laki-laki bersahabat dengan ayahnya, begitu juga sebaliknya (anak perempuan bersahabat dengan ibunya)," ucap Quraish saat Kelas Belajar "Pendidikan Seksualitas dan Interaksi" Belajaraya 2023 pada Sabtu, 29 Juli 2023.
Ia juga mengingatkan bahwa menjadi sahabat bagi anak tidak berarti harus mengetahui segala rahasia yang mereka miliki. Jangan sampai keinginan untuk selalu tahu segala hal tentang anak kita berubah menjadi intrusi yang merusak kepercayaan dan merusak hubungan.
"Jangan paksa anak menceritakan segalanya, raihlah kepercayaan anak," ungkap Quraish.
Para orangtua harus membimbing anak-anak mereka tentang batasan-batasan yang harus dihormati, salah satunya terkait dengan privasi tubuh mereka. Anak diingatkan untuk bisa menolak bila ada orang asing menyentuh bagian privatnya.
"Jangan cuma dilarang. Kasih tahu sebabnya apa, agar anak paham," ujar Quraish.
Pendidikan Seks Sejak Dini
Quraish mengungkapkan keprihatinannya terhadap pandangan terkait seksualitas di Indonesia yang berpotensi menyebabkan perilaku menyimpang. Karena itu, ia mulai mendiskusikan pentingnya memahami seksualitas dan mengajarkan konsep tersebut kepada anak-anak sejak usia dini.
"Ada ajaran agama yang disalahpahami, ada ajaran agama yang ditutupi. Karena ditutupi, ada pelanggaran serius yang dilakukan oleh banyak orang, termasuk di lembaga pendidikan agama," kata Quraish.
Ia menyampaikan bahwa seks adalah konsep yang jauh lebih kompleks daripada sekedar berhubungan intim. Larangan dan teguran memang perlu, kata Quraish, tetapi cara penyampaiannya juga sangat penting. Jika larangan tidak berpotensi membuat perubahan, sebaiknya tidak diucapkan. Tetapi jika larangan bisa menghasilkan perubahan positif, sampaikanlah dengan cara yang lembut dan penuh pengertian.
"Kita harus musuhi keburukan itu sendiri, bukan orang yang melakukan keburukan," tuturnya.
Dalam perbincangan tersebut, mantan Menteri Agama itu menekankan pentingnya memiliki pemikiran yang sehat dan jernih. Ia menyerukan pentingnya mengedukasi tentang seksualitas yang benar dan sehat agar tidak menimbulkan perilaku yang menyimpang.
"Penyaluran naluri seksual itu bukan hanya jasmani, tapi juga rohani. Buktinya akal jiwa dapat mempengaruhi keberhasilan hubungan seksual. Sekian banyak hubungan seksual yang gagal bukan karena fisik, tapi karena jiwa," ucapnya.
Advertisement
Belajar dengan Mendengarkan
Najeela Shihab, anak Quraish Shihab yang juga merupakan psikolog dan pendidik mengungkapkan, pendidikan seksualitas dan pembentukan interaksi yang sehat sejatinya diawali dengan mendengarkan. Proses mendengarkan ini penting untuk memahami apa yang sudah diketahui anak dan bagaimana pemahaman mereka tentang konsep seksualitas.
"Kita bisa bertanya 'apa yang kamu tahu?' untuk mengetahui sudah sejauh mana pemahaman anak," ujar Najeela yang akrab disapa Elaa pada sesi Kelas Belajar "Pendidikan Seksualitas dan Interaksi" Belajaraya 2023 pada Sabtu, 29 Juli 2023.
Sebagai orangtua, lanjut Elaa, tidak perlu merasa panik atau cemas ketika anak mulai bertanya tentang hubungan seks. Di usia tertentu, rasa penasaran anak akan hal ini wajar dan seharusnya dijawab dengan penjelasan yang sesuai dan tidak menimbulkan kesalahpahaman.
Jika orangtua merasa tidak tahu jawaban dari pertanyaan anak, jangan ragu untuk mengakui hal tersebut. "Jujur aja (kalau tidak tahu jawabannya, bilang ke anak 'Nanti kita belajar bareng-bareng ya', ini justru dapat menjadi kesempatan untuk belajar bersama-sama dengan anak," ucapnya.
Elaa juga menceritakan keluh kesahnya mengenai seksualitas perempuan di Indonesia yang sering kali dianggap sebagai hal yang tabu dan jarang dibicarakan. Kondisi ini berpotensi membahayakan perempuan dan bisa berujung pada budaya kekerasan seksual.
"Kita ini pahlawan kesiangan, banyak korban seksual memilih diam. Ketika korban kekerasan mulai banyak buka suara, kita baru melakukan aksi," ujarnya.
Urgensi Pendidikan Seks
Elaa melihat bahwa urgensi pendidikan seksualitas saat ini sangatlah tinggi. Untuk mewujudkan lingkungan yang aman bagi anak, dukungan dari berbagai pihak sangat dibutuhkan. Pemerintah, media, dan lingkungan terdekat anak harus bersinergi untuk mewujudkan pendidikan seksualitas yang sehat dan interaksi sosial yang positif bagi anak-anak.
Sementara itu, Data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA) per 1 Januari 2022 menunjukkan bahwa enam persen dari total korban kekerasan, yakni 145 kasus kekerasan, adalah anak usia dini (0--5 tahun).
"Kekerasan seksual merupakan kasus kekerasan paling tinggi di antara kasus kekerasan lain seperti fisik, psikis, eksploitasi, penelantaran, dsb," kata Komalasari, Plt. Direktur Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbud Ristek), dalam keterangan tertulis kepada Liputan6.com, Kamis, 2 Februari 2023.
Kekerasan seksual, sambung Iwan, merupakan salah satu dari tiga dosa pendidikan yang sedang diintensifkan pencegahannya oleh Pusat Penguatan Karakter (Puspeka). Dua lainnya adalah intoleransi dan perundungan.
Urgensinya yang tinggi membuat pendidikan seks perlu diberikan sejak anak usia dini. Komalasari menyebut pendidikan seks itu sebagai upaya mitigasi dalam mencegah terjadinya kekerasan seksual, khususnya pada anak-anak. "Seperti halnya bencana, kita tidak mengharapkan bencana. Namun, kita perlu memberikan pendidikan pengurangan resiko bencana sebagai upaya mitigasi," ia menjelaskan.
Advertisement