Liputan6.com, Jakarta Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Johanis Tanak meminta maaf kepada pihak TNI lantaran menetapkan Kepala Basarnas Marsekal Madya Henri Alfandi sebagai tersangka kasus dugaan suap pengadaan alat pendeteksi korban reruntuhan. Dia meminta maaf karena KPK tidak koordinasi terlebih dahulu dengan TNI sebelum mengumumkan keterlibatan Henri Alfandi.
Pakar Hukum Feri Amsari menilai Pimpinan KPK telah melanggar hukum dan harus bertanggung jawab. Sebab, segala proses hukum di KPK selalu di bawah pimpinan, termasuk soal operasi tangkap tangan (OTT) Koorsmin Kabasarnas Letkol Afri Budi Cahyanto.
Advertisement
“Sesuai ketentuan Pasal 39 ayat 2 UU KPK, seluruh proses penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan di KPK itu di bawah pimpinan KPK. Sehingga penentuan tersangka dan segala macam tentu dikoordinasi oleh pimpinan KPK,” kata Peneliti senior Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas (Unan), Padang, Sumatera Barat itu, Minggu (30/7/2023).
Sebelumnya, dalam pernyataan Johanis, Pimpinan KPK seolah melimpahkan tanggung jawab ke penyidik.
"Dalam pelaksanaan tangkap tangan itu ternyata tim menemukan, mengetahui adanya anggota TNI, dan kami paham bahwa tim penyelidik kami mungkin ada kekhilafan, kelupaan, bahwasannya manakala ada keterlibatan TNI harus diserahkan kepada TNI, bukan kita yang tangani," ujar Johanis di gedung KPK, Jakarta Selatan, Jumat (28/7/2023).
Feri lantas mempertanyakan, apakah pimpinan KPK memahami UU KPK atau belum. Sebab, hal terkait menjadi kealpaan besar bila Pimpinan KPK tidak memahami ketentuan Pasal 42 UU KPK yang menyatakan proses penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan untuk perkara yang berkoneksitas itu dipimpin oleh KPK.
“Artinya, KPK tidak menyadari batasan-batasan kewenangannya, sehingga kemudian penetapan tersangka melampaui batas kewenangan, padahal mestinya dikoordinasikan dengan baik," jelas pria yang juga seorang peneliti senior dari Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas (Unan) ini.
Tunjukkan Kualitas Sebenarnya Pimpinan KPK
Menurut Feri, dalam kasus OTT dugaan suap di proyek Basarnas, semestinya pihak KPK berkoordinasi dengan TNI. Berkoordinasi yang dimaksud adalah KPK memimpin agar oditur militer dapat melaksanakan tugasnya dengan baik dan KPK tidak menyerahkan 100 persen kasus pada peradilan militer, tapi memastikan proses penyelidikan, penyidikan dan penuntutan berjalan benar.
“Meskipun semangat reformasi terhadap perjuangan korupsi menginginkan kalau kasus extraordinary crime tindak pidana korupsi itu melalui peradilan biasa, tapi secara praktik, dan berdasarkan ketentuan (Pasal) 42 tadi, mestinya KPK sadar memang KPK berwewenang untuk melakukan OTT, tapi tahapan-tahapan berikutnya harus dikoordinasikan dengan Mabes TNI," tegas Feri.
Dia menambahkan, kasus ini menunjukkan kualitas dari pimpinan KPK. "Kasus ini menunjukkan kualitas Pimpinan KPK yang jauh dari harapan," kata dia. Sehingga dalam kasus ini muncul hal-hal yang dikhawatirkan, yaitu terjadinya benturan atau penyalahgunaan wewenang yang dilakukan pimpinan KPK.
Sebelumnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan operasi tangkap tangan (OTT) terkait kasus dugaan korupsi berupa suap pengadaan barang dan jasa di Basarnas tahun 2021 sampai 2023.
OTT KPK berujung pada penetapan lima orang tersangka. Salah seorang di antaranya merupakan mantan Kepala Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (Basarnas) Marsekal Madya TNI (Purn) Henri Alfiandi.
Advertisement