70 Persen Anak Indonesia Memiliki Tingkat Literasi di Bawah Standar Minimum Berdasarkan Tes PISA

Berdasarkan hasil tes PISA, masih ada sekitar 70 persen siswa Indonesia yang memiliki tingkat literasi di bawah standar minimum yang ditetapkan.

oleh Farel Gerald diperbarui 01 Agu 2023, 09:56 WIB
Sesi Ngobrol Publik #2 "Belajar Tak Hanya di Sekolah" di Pos Bloc, Jakarta Pusat pada Sabtu, 29 Juli 2023 yang mendatangkan banyak tokoh-tokoh penting pendidikan Indonesia. (dok. Liputan6.com/Farel Gerald)

Liputan6.com, Jakarta - Pentingnya peningkatan pendidikan di Indonesia kini menjadi isu yang semakin mendesak. Nisa Felicia, Direktur Eksekutif Pusat Studi Pendidikan dan Kebijakan (PSPK), berpendapat bahwa keinginan seseorang untuk belajar sangat dipengaruhi oleh dua faktor utama, yaitu kemampuan dan kemauan.

Nisa juga membahas tentang Program for International Student Assessment (PISA), yang merupakan tes internasional yang diikuti oleh siswa berusia 15 tahun dari berbagai negara, termasuk Indonesia. Tes ini menilai kemampuan siswa dalam membaca, matematika, dan sains, dan hasilnya sering digunakan untuk membandingkan kualitas pendidikan antar negara.

"Anak-anak 15 tahun dinilai kemampuan literasi, numerasi, literasi science, dan beberapa kemampuan lain. Belajar di luar sekolah atau setelah lulus, maka kita bicara tentang dua konsep. Satu, self regulated learning dan keduanya, lifelong learning," ucapnya saat sesi Ngobrol Publik #2 "Belajar Tak Hanya di Sekolah" di Pos Bloc, Jakarta Pusat, Sabtu, 29 Juli 2023.

Self-regulated learning, atau belajar mandiri, memiliki kaitan erat dengan kemandirian seorang siswa. Salah satu aspek penting dari belajar mandiri adalah literasi. Literasi bukan hanya tentang kemampuan membaca dan menulis, tetapi juga mencakup pemahaman dan interpretasi informasi, penyelesaian masalah, dan keterampilan berpikir kritis.

Nisa mengungkapkan bahwa berdasarkan hasil tes PISA, masih ada sekitar 70 persen siswa Indonesia yang memiliki tingkat literasi di bawah standar minimum yang ditetapkan. Hal ini menunjukkan bahwa banyak siswa yang menghadapi kesulitan dalam memahami, menganalisis, dan menggunakan informasi secara efektif, yang bisa mempengaruhi kemampuan mereka untuk belajar secara mandiri.

"Literasi itu berbicara tentang kemampuan dan kemauan. Karena keduanya itu rendah, anak-anak cenderung melihat 'Ah aku gak pinter matematika, ngapain aku belajar matematika?' Akhirnya mereka gak melatih kecerdasan itu padahal kecerdasan bisa dilatih," jelas Nisa.


Guru Galak Tujuannya Baik

Nisa Felicia (ketiga dari kiri) sebagai Direktur Eksekutif Pusat Studi Pendidikan dan Kebijakan (PSPK) dan Ahmad Fuadi (ketiga dari kanan) yang merupakan seorang novelis membagikan pengalaman belajarnya di luar lingkungan sekolah. (dok. Liputan6.com/Farel Gerald)

Dalam penjelasannya, Nisa memberi penekanan pada konsep 'growth mindset', atau pola pikir pertumbuhan. Konsep ini, yang pertama kali diperkenalkan oleh psikolog Carol Dweck, merujuk pada keyakinan bahwa kemampuan dan kecerdasan bisa berkembang dan ditingkatkan melalui usaha dan belajar, bukan hanya merupakan bakat atau sesuatu yang ditentukan sejak lahir.

Sayangnya, menurut Nisa, kurang dari 30 persen anak Indonesia memahami konsep ini. Banyak anak yang masih percaya bahwa kecerdasan adalah bakat, dan bahwa kemampuan mereka sudah ditentukan sejak lahir. Pandangan ini bisa menghambat motivasi mereka untuk belajar dan berkembang, karena mereka mungkin merasa bahwa tidak ada gunanya berusaha jika mereka merasa tidak 'pintar'.

"Guru-guru yang galak itu sebenarnya sedang mengasah growth mindset kita untuk percaya bahwa kita bisa. Namun, kurang dari 30 persen yang percaya bahwa kecerdasan bisa dikembangkan," kata Nisa.

Menurut hasil tes PISA, anak-anak Indonesia cenderung memiliki 'self-efficacy' yang rendah dibandingkan dengan anak-anak dari 61 negara lain yang ikut serta dalam tes tersebut. 'Self-efficacy' adalah keyakinan seseorang tentang kemampuannya untuk mencapai hasil tertentu atau melakukan tugas tertentu. Dalam konteks ini, anak-anak Indonesia tampak kurang percaya bahwa mereka dapat berkontribusi terhadap perubahan.

"Pertanyaannya adalah bagaimana sekolah bisa menyiapkan fasilitas untuk anak-anak mau belajar di luar sekolah, karena dorongan belajar di luar sekolah membawa impact yang besar untuk pendidikan anak," ucap Nisa.


Belajar dari Merantau

Ngobrol Publik #2 "Belajar Tak Hanya di Sekolah". (dok. Liputan6.com/Farel Gerald)

Ahmad Fuadi, penulis novel populer trilogi "Negeri 5 Menara", membagikan wawasan uniknya tentang belajar di luar lingkungan sekolah. Dia percaya bahwa setiap aspek kehidupan, dari hal-hal sepele hingga peristiwa besar, dapat menjadi sumber pembelajaran yang berharga.

Sebagai penulis, Ahmad memandang dunia melalui lensa yang berbeda. Dia berpendapat bahwa sensitivitas terhadap lingkungan sekitar dan pengalaman pribadi sangat penting untuk menulis. Sensitivitas ini memungkinkannya untuk menangkap dan menyimpan memori, merasakan emosi, dan menarik pelajaran dari setiap pengalaman. Kemudian, dia menggunakan semua ini sebagai bahan untuk tulisannya.

"Salah satu sekolah hidup adalah merantau. Merantau itu keluar dari zona nyaman. Kita struggle di sana, tapi itu jadi bahan untuk menulis. Jadi, seumur hidup sih belajar itu," kata Ahmad saat sesi Ngobrol Publik #2 "Belajar Tak Hanya di Sekolah" Belajaraya 2023 di Pos Bloc, Jakarta Pusat pada Sabtu, 29 Juli 2023. Dia percaya salah satu pengalaman yang memberi pengaruh besar dalam hidup dan karirnya adalah dengan merantau.

Ahmad menunjukkan keprihatinannya terhadap pemahaman banyak anak Indonesia yang menganggap belajar sebagai proses yang hanya bertujuan untuk lulus ujian sekolah. Menurutnya, perspektif ini membatasi ruang dan potensi belajar, karena belajar seharusnya bukan hanya tentang menghafal informasi untuk ujian, tetapi lebih pada pemahaman mendalam, penemuan baru, dan pengembangan keterampilan dan wawasan.

"Ujian itu untuk belajar, bukan sebaliknya," pungkas Ahmad.

Selanjutnya, Ahmad menegaskan bahwa perubahan dalam pendidikan tidak harus datang dari pemangku kepentingan dengan wewenang atau kekuasaan. Sebaliknya, setiap individu, baik guru, siswa, atau orang tua, dapat memainkan peran dalam mendorong perubahan, contoh kecilnya, bisa dimulai dari ruang kelas.


Upaya Peningkatan PISA Indonesia

Abhay Saboo, co-founder dari startup teknologi pendidikan (edutech), CoLearn (Dok. CoLearn)

Sementara itu, dilansir dari kanal Tekno Liputan6.com pada 16 Mei 2022, Abhay Saboo, co-founder dari startup teknologi pendidikan (edutech), CoLearn, mengungkapkan ia dan para pendiri perusahaan ingin meningkatkan ranking PISA Indonesia.

Menurut Abhay, dalam keterangan resminya, dikutip Senin (16/5/2022), sebagai negara dengan populasi terbanyak ke empat di dunia, Indonesia memiliki potensi yang menjanjikan untuk menjadi "hub" inovasi teknologi di masa depan.

Namun, potensi ini sangat tergantung pada kualitas sumber daya manusia (SDM) di dalam negeri. Peningkatan kapabilitas SDM dinilai masih harus jadi agenda prioritas pemerintah.

Dalam laporan UNICEF Indonesia tentang Situasi Anak di Indonesia tahun 2020, tes PISA OECD 2018 menemukan, hanya 30 persen anak usia 15 tahun yang mencapai atau melampaui tingkat kompetensi minimal untuk membaca dan 29 persen untuk matematika. Secara ranking, Indonesia pun berada di peringkat terbelakang, yakni di peringkat ke-6, ke-7, dan ke-9 dari bawah, dari total 79 negara.

Dari situ, Abhay membangun program pendidikan anak usia dini dan mengajak Marc Irawan untuk ikut serta. Misi para founder Co-Learn adalah untuk membawa Indonesia ke top 50 persen ranking PISA.

 

kurikulum tiap era pemerintahan (liputan6.com/Triyasni)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya