Kisah Kain Kafan Sayyidina Abu Bakar Ash-Shiddiq

Kisah ini memberi pesan bahwasanya dunia hanyalah persinggahan sementara. Mereka yang masih hidup dengan gemerlap duniawi tak lagi relevan ketika jasad sudah tertimbun di dalam tanah.

oleh Putry Damayanty diperbarui 31 Jul 2023, 18:30 WIB
Kisah Kain Kafan Sayyidina Abu Bakar Ash-Shiddiq.

Liputan6.com, Jakarta - Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah dalam sebuah khutbah, “Sesungguhnya Allah memberikan tawaran kepada seorang hamba antara dunia dan apa yang ada di sisi-Nya. Ternyata hamba itu lebih memilih apa yang ada di sisi Allah.”

Abu Bakar Ash-Shiddiq menangis. Para sahabat yang lainnya pun heran. Hingga akhirnya diketahui bahwa hamba yang dimaksud Nabi itu tak lain adalah Abu Bakar. Mereka memang mengakui keutamaan pribadi sahabat yang juga mertua Rasulullah itu.

Dalam kesempatan lain, Nabi menyebut orang yang paling besar jasanya dalam persahabatan dan kerelaan mengeluarkan hartanya adalah Abu Bakar. "Andai saja aku diperbolehkan memilih kekasih selain Rabbku, pasti aku akan menjadikan Abu Bakar sebagai kekasih. Tapi cukuplah antara aku dengan Abu Bakar ikatan persaudaraan dan saling mencintai karena Islam," kata Rasulullah.

Sayyidina Abu Bakar termasuk kelompok orang yang paling awal masuk Islam "as-sabiqunal awwalun". Selain loyalitasnya yang sangat tinggi terhadap Rasulullah, ia juga dikenal sebagai sosok yang amat zuhud dan punya keistimewaan lebih dari para sahabat lain.

Reputasi di mata Nabi dan sahabat-sahabat inilah yang membuatnya dipercaya mengemban amanat sebagai khalifah pertama selepas Rasulullah wafat.

 

Saksikan Video Pilihan Ini:


Kain Kafan Lusuh Abu Bakar

Banyak pelajaran yang dapat dipetik dari kehidupan Sayyidina Abu Bakar, baik melalui keteladanannya atau petuah-petuah yang disampaikannya. Salah satu yang bisa ditimba adalah cerita tentang saat-saat beliau menjelang wafat. 

Seperti ditulis dalam kitab Anîsul Mu'minîn karya Shafuk al-Mukhtar, suatu kali Sayyidah 'Aisyah, putri beliau yang juga istri Rasulullah, datang kepada Abu Bakar yang kala itu sedang sakit.

"Wahai Ayah, bagaimana bila aku panggilkan dokter?" tanya 'Aisyah.

"Ayah sudah ditangani dokter."

"Lalu apa kata dokter?" tanya 'Aisyah penasaran.

"Ayah boleh melakukan apa yang Ayah inginkan." Pernyataan dokter semacam ini menunjukkan bahwa sakit Abu Bakar cukup parah dan mendekati kematian. 

"Dengan kain mana aku nanti mengafani jenazah Ayah?"

"Dengan baju yang biasa aku pakai saat makmum sholat bersama Rasulullah."

"Baju itu sudah usang. Apa tidak sebaiknya aku belikan kain kafan yang baru?" tanya 'Aisyah.

Jawab Abu Bakar, "Orang hidup lebih berhak atas sesuatu yang baru ketimbang orang mati."

Dialog 'Aisyah dan Abu Bakar tersebut membuktikan kematangan psikologi mereka dalam menyikapi fenomena kematian. Kematian bukan hal yang menyeramkan. Mati pasti terjadi sebagai jembatan berjumpa seorang hamba kepada Rabb-Nya, lalu mempertanggungjawabkan apa yang manusia perbuat selama di dunia.

Pilihan Abu Bakar agar dikafani menggunakan baju lusuh yang biasa dikenakan saat sholat berjamaah dengan Nabi mengesankan setidaknya dua hal. Pertama, kecintaan beliau yang begitu mendalam terhadap Rasulullah. Kedua, bukti kebersahajaan Abu Bakar yang istiqamah, saat hidup hingga maut menjemput.

Yang paling menarik adalah saat ia menjawab tawaran 'Aisyah yang hendak membelikan kain kafan baru. Ia menampiknya dengan alasan bahwa barang baru hanya layak untuk orang hidup, bukan orang mati. Pernyataan yang terakhir ini sejatinya bukan sekadar penolakan, melainkan pula pesan untuk mereka yang masih hidup dengan gemerlap duniawi tak lagi relevan ketika jasad seseorang sudah tertimbun di dalam tanah. Wallahu a'lam. 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya