Liputan6.com, Jakarta Peneliti temukan virus SARS-CoV-2 penyebab COVID-19 paling bermutasi di Indonesia. Varian Delta dengan mutasi terbanyak ini ditemukan berdasarkan hasil pengumpulan swab pasien COVID-19 di Jakarta.
Ditemukan 113 mutasi dari varian Delta yang ditemukan itu. Sebagai perbandingan, Omicron 'hanya' mengalami 50 mutasi. Sehingga peneliti menyebut strain yang belum diberi nama itu adalah strain virus COVID-19 yang paling ekstrem yang pernah diketahui seperti ditulis di Daily Mail.
Advertisement
Namun, hingga kini belum diketahui infektivitas strain tersebut yakni dalam menginfeksi ke orang-orang lain
Epidemiolog yang juga peneliti Global Health Security Griffith University Australia, Dicky Budiman mengatakan agar masyarakat tidak khawatir.
"Meski ada mutasi lebih dari 100 tapi tidak usah khawatir meski tidak bisa dianggap enteng," kata Dicky.
Dicky menilai hingga saat ini potensi serius dari temuan virus Delta dengan paling bermutasi itu amat kecil. Dicky tidak melihat strain tersebut tidak akan berdampak parah seperti saat varian Delta di 2021.
"Kalau bicara dampak ini serius, saya melihatnya tidak," kata Dicky.
Berbeda halnya, bila strain tersebut muncul pada 2021 atau awal 2022, mungkin saja bisa berbahaya. Namun, dalam kondisi saat ini, Dicky memprediksi tidak terlalu membahayakan.
Secara teoritis dan empiris, hanya kecil kemungkinan mengembalikan kondisi seperti di awal pandemi COVID-19.
"Tidak mudah bagi virus yang bukan baru untuk menimbulkan dampak lebih serius," terang Dicky.
Modal Imunitas
Sampai saat ini, Dicky melihat imunitas dari masyarakat Indonesia baik karena terkena COVID-19 secara alami maupun vaksinasi masih memadai.
"Dua hal yang dikhawatirkan yakni kematian dan keparahan masih bisa kita hindari dengan modal imunitas yang ada saat ini," kata Dicky lewat pesan suara pada Senin (31/7/2023).
Perlu Jadi Warning
Meski tidak melihat potensi serius, Dicky mengingatkan bahwa temuan varian Delta yang paling bermutasi ini jadi warning atau peringatan.
"Berarti dunia termasuk Indonesia memang masih memerlukan upaya mitigasi dengan cara memakai masker, melakukan perbaikan kualitas udara dalam dan luar ruangan dan vaksinasi primer serta booster untuk kelompok rawan," tuturnya.
Advertisement
Tanggapan Kemenkes
Juru Bicara Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI) Mohammad Syahril menanggapi, yang namanya COVID, apa pun variannya, baik varian Delta dan turunannya maupun Omicron beserta "anakannya" masih ada.
Selanjutnya, masyarakat juga tak perlu cemas dengan varian virus Corona yang muncul, terlebih lagi vaksinasi COVID sudah berjalan. Diharapkan masyarakat juga dapat melengkapi status vaksinasi demi perlindungan.
"Sepanjang vaksin berjalan dengan baik, saya rasa tidak perlu dicemaskan varian COVID apa pun yang muncul. Kecuali perbedaan dengan varian juga vaksin sudah besar, misalnya lebih dari 50 persen (perbedaan efektivitasnya)," terang Syahril.
Kemenkes Belum Miliki Data soal 113 Mutasi pada Delta
Menyoal laporan ilmuwan yang mengatakan, turunan versi varian Delta memiliki 113 mutasi unik dibandingkan Omicron, bagaimana data di Indonesia sendiri?
Mohammad Syahril menjawab, sampai sejauh ini data Kemenkes belum merinci lebih lanjut soal seberapa banyak jumlah turunan varian Delta. Ia juga belum bisa menjawab, apakah turunan Delta lebih banyak ketimbang Omicron.
"Belum ada data seperti itu," lanjutnya.
Advertisement