Liputan6.com, Jakarta - Krisis perbankan kembali melanda Amerika Serikat. Kali ini, sebuah bank yang berbasis di Kansas, yaitu Heartland Tri-State Bank bangkrut pada 28 Juli lalu.
Melansir CNN Business, Senin (31/7/2023) Heartland Tri-State Bank kini diambil alih kendali oleh The Federal Deposit Insurance Corporation (FDIC) menyusul kebangkrutannya.
Advertisement
FDIC, lembaga yang bertanggung jawab pada pengelolaan asuransi penyimpanan bank di AS sepakat untuk menanggung semua simpanan nasabah di Heartland Tri-State Bank.
Selain itu, FDIC juga sepakat untuk memasuki perjanjian pembelian dan asumsi dengan Dream First Bank of Syracuse, Kansas. Langkah tersebut memungkinkan empat cabang Heartland Tri-State Bank untuk dibuka kembali sebagai cabang Dream First Bank.
FDIC pun menegaskan kepada nasabah Heartland Tri-State Bank bahwa mereka masih bisa mengakses uang simpanan dengan menulis cek atau menggunakan ATM dan kartu debit mereka.
Nasabah bank juga sebagian besar tidak akan terpengaruh, kata FDIC, karena FDIC dan Dream First Bank membuat perjanjian untuk berbagi kerugian dan potensi pemulihan pinjaman.
Selain itu, para nasabah juga tidak perlu pindah bank karena sudah otomatis menjadi nasabah Dream First Bank.
"Anda harus terus melakukan pembayaran, termasuk pembayaran escrow, seperti biasa; ketentuan pinjaman Anda tidak akan berubah," jelas pihak FDIC.
FDIC mengungkapkan, Heartland Tri-State Bank memiliki sekitar USD 139 juta total aset dan USD 130 juta total simpanan.
Kolapsnya Heartland Tri-State Bank pun memasuki daftar bank yang bangkrut di AS sejak First Republic, kebangkrutan bank terbesar kedua di negara itu pada awal bulan Mei.
Krisis Bank di Amerika, Pakar Ekonomi UGM: Peringatan Serius bagi Perbankan
Pengamat Ekonomi dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Eddy Junarsin, menilai krisis perbankan di Amerika Serikat seperti bangkrutnya Silicon Valley Bank (SVB), Signature Bank dan Silvergate Bank yang mendanai pinjaman ke perusahaan rintisan atau startup harus diwaspadai perbankan di Indonesia.
Menurutnya perbankan di dalam negeri harus selektif sekali dalam memberikan pinjaman baik ke perusahaan kecil maupun besar agar tidak terjadi gagal bayar.
“Nampaknya bank yang bangkrut ini ingin mendapatkan return besar sehingga berani meminjamkan dana ke startup dalam jumlah besar. Karenanya bank harus berhati-hati, risiko kredit bisa terjadi di manapun, baik perusahaan startup hingga perusahaan besar," kata Eddy Junarsin, Senin 8 Mei 2023.
Hingga saat ini, krisis perbankan di Amerika Serikat menurutnya tidak memberikan dampak langsung ke perbankan maupun kondisi ekonomi di Indonesia.
"Dampak langsung tidak ada, tetapi kita harus hati hati. Saya melihat belum ada dampak ke bank yang ada di Asia dan Indonesia, tetapi kita harus belajar dari peristiwa ini," imbuhnya.
Lebih lanjut Eddy mengatakan bahwa krisis di sebuah perbankan tidak hanya soal risiko gagal kredit namun juga bisa terkena dampak dari isu sentimen negatif di pasar keuangan. Selain itu dampak kenaikan suku bunga acuan juga bisa menyebabkan adanya risiko likuiditas.
"Dunia perbankan sebenarnya menghadapi banyak risiko dari risiko kredit yang mengalami gagal bayar dan isu yang buruk di pasar sehingga terjadi penarikan uang secara besar-besaran dan bank kekurangan likuiditas," jelasnya.
Soal dampak risiko kenaikan suku bunga, menurutnya mempengaruhi masuk dan keluarnya dana investasi di sebuah negara. Apalagi belakangan ini bank sentral Amerika kerap menaikkan suku bunga acuan bagi perbankan.
"Kenaikan suku bunga tentu tidak menarik bagi dunia bisnis. Akan tetapi naik dan turunnya suku bunga dari The Fed jadi acuan bank sentral negara lain di seluruh dunia," jelasnya.
Advertisement
Pentingnya Manajemen Risiko
Belajar dari kasus kebangkrutan bank di Amerika, Eddy menekankan pentingnya perbankan mempraktikkan manajemen risiko perbankan dengan benar, konsisten dan disiplin.
Menurutnya pengelola perbankan harus menerapkan manajemen risiko perbankan dengan baik dan benar.
"Apabila perbankan tidak melakukannya dengan disiplin, maka risiko kredit, risiko kenaikan suku bunga dan risiko likuiditas, serta risiko pasar bisa berdampak pada risiko kecukupan modal," paparnya.
Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) yang terdiri dari Bank Indonesia (BI), OJK, Kementerian Keuangan dan Lembaga Penjamin Simpanan menurutnya juga harus mampu mengawal stabilitas keuangan dan perekonomian nasional dari sisi perbankan dalam menjalankan manajemen risiko dengan baik.
Selain itu komite ini juga harus mengawal angka inflasi dan nilai suku bunga jangan sampai memberatkan perbankan dan pelaku usaha dan terjadi krisis perbankan.
"Saat kondisi misalnya inflasi dan suku bunga tinggi ibarat kondisi badan lagi demam maka kita tidak bisa lari tapi hanya bisa bertahan. Bila kondisi ekonomi kita sehat atau indikator keduanya turun, maka ekonomi kita bisa berlari kencang kembali," katanya.