, Jakarta - Laporan PBB pada Kamis 27 Juli 2023 menyebutkan bahwa jumlah pengadilan terkait dampak perubahan iklim meningkat lebih dari dua kali lipat dalam lima tahun. Kasusnya mulai dari penyusutan sumber air hingga gelombang panas berbahaya.
Berdasarkan laporan Program Lingkungan PBB UNEP dan Universitas Columbia yang dirilis di New York Kamis 27 Juli, seperti dikutip DW Indonesia, Kamis (3/8/2023), diketahui ada sekitar 2.180 tuntutan hukum terkait dampak perubahan iklim yang telah diajukan di 65 yurisdiksi selama lima tahun terakhir.
Advertisement
Laporan itu melacak kasus-kasus pengadilan terkait iklim yang sedang berlangsung di seluruh dunia. Sampai 2017, hanya ada 884 kasus yang didokumentasikan di 24 yurisdiksi, kata laporan itu.
"Kami melihat peningkatan besar dalam jumlah kasus," kata Maria Antonia Tigre, peneliti senior dalam litigasi iklim global di Sabin Center Columbia, yang mengatakan bahwa jumlah kasus yang diajukan per tahun meningkat dua kali lipat dalam lima tahun terakhir.
Menurut laporan tersebut, negara lain juga dilaporkan mengalami peningkatan. Di mana Amerika Serikat masih mendominasi dengan lebih dari 1.500 kasus.
Sekitar 17 persen kasus telah diajukan ke pengadilan di negara-negara berkembang. Brasil dan Indonesia di antara negara-negara berkembang dengan kasus gugatan dampak perubahan iklim paling banyak.
"Saat publik meminta pemerintah dan perusahaan untuk mengerem laju emisi gas rumah kaca – dan menanggung akibatnya jika tidak melakukannya, warga semakin beralih ke pengadilan untuk mendapatkan jawaban," kata Andrew Raine, kepala unit hukum lingkungan internasional UNEP.
Warga Semakin Beralih ke Pengadilan
Dalam keputusan penting tahun 2021, pengadilan Belanda memerintahkan Shell untuk mengurangi emisi karbon dioksida sebesar 45 persen dari tingkat tahun 2019 pada tahun 2030. Di Swiss, ribuan wanita lanjut usia Swiss mengajukan kasus ke Pengadilan Hak Asasi Manusia Eropa, menuduh bahwa upaya iklim pemerintah mereka "sangat tidak memadai" dan telah melanggar hak asasi mereka.
Banyak kasus yang melibatkan klaim terkait tuduhan greenwashing perusahaan atau proses produksi yang merusak iklim. Beberapa gugatan berusaha meminta pertanggungjawaban pemerintah karena tidak menegakkan hukum dan kebijakan terkait iklim.
Para ahli memperkirakan, di masa depan akan ada lebih banyak lagi gugatan, karena perusahaan-perusahaan berusaha melindungi operasi dan aset bahan bakar fosil mereka. Sementara juga akan ada lebih banyak gugatan yang diajukan oleh kelompok rentan, yang menderita dampak cuaca ekstrem akibat perubahan iklim.
Aktivis iklim muda telah memainkan peran sentral, dengan mengajukan 34 kasus ke pengadilan, atas nama anak-anak, remaja, dan dewasa muda. "Litigasi yang menargetkan aksi-aksi aktivis iklim yang dianggap mengganggu juga meningkat", kata Maria Antonia Tigre.
Advertisement
WMO: Dampak Perubahan Iklim Sedang Meningkat di Asia
Peristiwa cuaca ekstrem mulai dari kekeringan hingga banjir skala besar dan efek lain dari perubahan iklim sedang meningkat di Asia, dan pasti akan memengaruhi ketahanan pangan dan ekosistem benua itu, kata Organisasi Meteorologi Dunia WMO.
Dalam sebuah laporan yang diterbitkan Kamis 27 Juli, WMO mengatakan Asia adalah wilayah yang paling banyak terkena dampak bencana di dunia, dengan 81 bencana yang berhubungan dengan cuaca, iklim dan air tercatat tahun lalu, yang sebagian besar adalah banjir dan badai.
Bencana ini secara langsung mempengaruhi lebih dari 50 juta orang dan menyebabkan lebih dari 5.000 kematian. Ini termasuk banjir dari rekor hujan monsun di Pakistan dan pencairan glasial yang menewaskan lebih dari 1.500 orang, menggenangi sebagian besar negara dan menghanyutkan rumah serta infrastruktur transportasi.
China, pada gilirannya, mengalami kekeringan yang berdampak pada pasokan listrik dan ketersediaan air.
Gletser Kehilangan Massa Akibat Kondisi Hangat dan Kering
Laporan WMO juga menyoroti bahwa sebagian besar gletser di wilayah Pegunungan Tinggi Asia telah kehilangan massa yang signifikan akibat kondisi hangat dan kering pada tahun 2022.
"Ini akan memiliki implikasi besar bagi ketahanan pangan dan air serta ekosistem di masa depan,” kata Sekretaris Jenderal WMO, Petteri Taalas.
Advertisement