Liputan6.com, Jakarta Seorang wanita diduga nekat memalsukan cap imigrasi agar bisa pergi ke Amerika Serikat (AS). Ia kini terancam penjara hingga 15 tahun. Kasusnya pun masuk ke ranah penyelundupan manusia dan akan diadili.
Cap itu dibubuhkan di paspor supaya seakan-akan pemilik paspor sudah sering ke luar negeri, sehingga lebih mudah mendapat visa AS.
Advertisement
Kasus pemalsuan cap keimigrasian itu terendus sebab dilakukan ketika ada pembatasan COVID-19, akan tetapi ada sejumlah paspor yang mendapatkan cap dari Imigrasi agar bisa mendapat visa AS.
Berdasarkan rilis resmi Ditjen Imigrasi, Rabu (2/8/2023), pihak Kedutaan Besar Amerika segera melakukan koordinasi dengan Direktorat Jenderal Imigrasi yang menindaklanjuti dengan melakukan tahap pra-penyidikan.
Ketika dimintai keterangan, secara terpisah mereka mengaku bahwa mereka direkrut oleh wanita berinisial ODG. Mereka kenal ODG melalui Facebook dan mengatasnamakan PT. MCP.
“ODG sempat menghilang jadi pemeriksaan tidak bisa kami lakukan. Akhirnya ODG dicegah ke luar negeri melalui Surat Keputusan Nomor IMI.5-1307.GR.03.02 TAHUN 2022 tanggal 3 November 2022,” jelas Direktur Jenderal Imigrasi Silmy Karim.
Silmy berkata langkah itu terbukti efektif karena pada tanggal 22 April 2023 ODG berhasil ditemukan oleh Petugas Imigrasi di Bandara Soekarno-Hatta saat hendak berangkat ke Malaysia.
Akibat perbuatannya, pelaku berusia 37 tahun itu terjerat kasus dugaan percobaan penyelundupan manusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 120 ayat (2) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian Jo. Pasal 53 ayat (1) KUHP atau Pasal 121 huruf a Undang - Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian.
ODG terancam penjara paling singkat lima tahun dan paling lama 15 tahun serta pidana denda paling sedikit Rp500 juta dan paling banyak Rp1,5 miliar.
Taktik Pemalsuan Cap Keimigrasian
Berdasarkan informasi resmi dari pihak Ditjen Imigrasi, ODG beroperasi dengan cara menawarkan jasa pengurusan Visa Amerika Serikatmelalui WhatsApp/Facebook/Grup Pencari Kerja.
Para korban diminta mengirim sejumlah uang dengan jumlah bervariasi antara Rp11,5 juta hingga Rp22 juta ke rekening atas nama ODG atau PT. MCP. Mereka juga diminta mengirimkan paspor kepada ODG.
Paspor tersebut lantas dibubuhkan cap keimigrasian berbagai negara seperti Indonesia, Singapura, Thailand, dan Malaysia. Tujuan pembubuhan cap adalah meningkatkan kualifikasi WNI pemegang paspor agar lebih mudah memperoleh visa Amerika Serikat.
Setelah didapatkan, visa tersebut dapat digunakan untuk masuk dan bekerja di Amerika Serikat secara non-prosedural.
Penyidik telah mengamankan beberapa barang bukti, yakni lima paspor RI milik calon korban, satu paspor milik tersangka, satu buah flashdisk milik tersangka, serta Rekening Koran BCA atas nama ODG dan PT. MCP, dan satu berkas Profil PT. MCP.
“Kemarin (24 Juli 2023) Kejati DKI Jakarta sudah menerbitkan Surat P-21 Artinyaberkas perkara sudah lengkap, jadi tersangka dan barang bukti akan segera kamiserahkan untuk proses hukum lebih lanjut,” tutup Silmy.
Advertisement
Sudah Diselamatkan Kemlu, WNI Korban TPPO Malah Kembali ke Kamboja
Beralih ke isu perdagangan orang, Kementerian Luar Negeri RI kembali menyorot tindakan WNI korban tindana perdagangan orang (TPPO) di luar negeri. Pasalnya, ada orang-orang yang sudah diselamatkan tapi kembali ke negara asing tersebut.
Berdasarkan data dari Direktur Perlindungan WNI Judha Nugraha, ada belasan WNI korban TPPO yang kembali lagi ke negara-negara seperti Kamboja dan Laos.
Dalam beberapa tahun terakhir, perdagangan orang melalui online scam memang sedang marak di Asia Tenggara. Kemlu RI mencatat sudah membantu lebih dari 2.400 korban TPPO.
Pemulangan para korban TPPO difasilitasi dengan uang negara, para TPPO yang "overstay" juga tidak perlu membayar denda di negara tempat mereka bekerja. Tetapi ternyata ada yang malah berangkat lagi usai ditolong.
"Kita fasilitasi kepulangannya. Beberapa di antaranya tercatat kembali lagi berangkat keluar dan kemudian bekerja di jenis perusahaan yang sama," ujar Direktur Perlindungan WNI Judha Nugraha di Kemlu RI, Selasa (1/8).
Judha mencontohkan ia mendapat informasi dari otoritas di Kamboja bahwa ada WNI yang kembali lagi, meski sudah diberi fasilitas kepulangan dan mendapat keringanan agar tak bayar denda.
Pada Juni lalu, belasan WNI korban TPPO juga dipulangkan dari Myanmar. Saat paspornya diperiksa, mereka ternyata ketahuan sering bolak-balik ke negara tersebut.
"Tentu negara wajib hadir untuk korban-korban online scam yang terindikasi sebagai anggota TPPO," ujar Judha. "Namun tentu bagi warga negara kita yang dengan kesadaran sendiri sudah paham dengan pekerjaan di sana dan kemudian berangkat, ini yang perlu kita tingkatkan kesadaran bahwa tentu ada risiko bagi mereka yang bekerja di bisnis-bisnis seperti itu."
Pihak yang berwenang pun dilaporkan sedang berdiskusi cara pencegahan agar para WNI yang sudah dibantu kepulangannya untuk tidak lagi pergi bekerja di perusahaan scam di luar negeri.
Salah satu wacana upaya preventifnya adalah melihat data perjalanan WNI tersebut, yakni apakah setelah ditolong oleh pemerintah orang tersebut malah kembali mengulangi perbuatannya lagi atau tidak.