Setelah Korea Selatan, Zona Bebas Anak yang Sarat Kontroversi Juga Meluas di Inggris?

Seperti di Korea Selatan, pendapat ini masih menuai pro-kontra di Inggris. Sebagian berpendapat bahwa "zona bebas anak" tercipta karena "orangtua yang kurang bertanggung jawab dalam menjaga mereka di tempat umum." Beberapa tempat mengambil jalan tengah dengan melarang masuk "anak di bawah 10 tahun."

oleh Asnida Riani diperbarui 03 Agu 2023, 16:00 WIB
Gambar yang diambil pada 19 Juli 2023 ini menunjukkan papan 'No Kids Zone' dipasang di depan sebuah kafe di Gimpo. Dilaporkan bahwa semakin banyak fasilitas umum di Korea Selatan, seperti kafe, perpustakaan, dan galeri seni yang jadi "Zona Larangan Anak." (Jung Yeon-je/AFP)

Liputan6.com, Jakarta - Zona bebas anak yang sarat kontroversi kembali jadi topik hangat perbincangan publik. Setelah Korea Selatan, narasi serupa juga muncul di Inggris. Martin Bridge (52), pemilik Whippet Inn, sebuah butik, restoran bebas anak di York, berbagi pendapatnya.

Melansir Guardian, Rabu, 2 Agustus 2023, ia mengatakan, "Berada di industri ini selama 30 tahun,  bagaimana orangtua memandang tanggung jawab anak-anak mereka, dan bagaimana hal itu berubah, cukup mencengangkan. Rasanya seolah-olah anak-anak sekarang jadi tanggung jawab semua orang, sepanjang waktu."

Whippet sebenarnya sudah jadi "zona bebas anak" sejak dibuka 10 tahun lalu. Bridge mengingat respons awal keputusannya, berbagi, "Kami mendapat begitu banyak ulasan negatif. Orang-orang memaki dan meneriaki kami di restoran. Itu cukup menakutkan, tentu saja untuk beberapa staf. Orangtua baru adalah yang terburuk."

Seperti di negara lain, pendapat ini masih menuai pro-kontra di Inggris. Sebagian berpendapat bahwa "zona bebas anak" tercipta karena "orangtua yang kurang bertanggung jawab dalam menjaga mereka di tempat umum." Beberapa tempat mengambil jalan tengah dengan melarang masuk "anak di bawah 10 tahun."

Di belahan dunia berbeda, Korea Selatan memiliki 451 zona bebas anak, yang tersebar di seluruh Seoul dan telah menyebar ke kawasan wisata, seperti Busan dan Pulau Jeju. Ini diperkirakan lepas landas setelah insiden seorang ibu mengeluh bahwa anaknya tersiram air panas oleh seorang pelayan yang membawa sup panas.

Kemarahan berikutnya mendorong restoran merilis rekaman CCTV, yang menunjukkan anak itu berperilaku "tidak baik." Pada 2013, pengadilan memutuskan bahwa anak tersebut ikut bertanggung jawab atas insiden yang dimaksud.

 


Persulit Liburan Keluarga?

Gambar yang diambil pada 19 Juli 2023 ini menunjukkan papan 'No Kids Zone' dipasang di depan sebuah kafe di Gimpo. Dilaporkan bahwa semakin banyak fasilitas umum di Korea Selatan, seperti kafe, perpustakaan, dan galeri seni yang jadi "Zona Larangan Anak." (Jung Yeon-je/AFP)

Zona bebas anak disebut telah membuat para orangtua di Negeri Ginseng frustasi. Di jagat maya, situasi ini dianggap akan memengaruhi tingkat keramahan wilayah itu sebagai tujuan liburan keluarga, kendati sampai sekarang belum ada dampak signifikan yang dilaporkan.

Di antara yang menentang zona bebas anak adalah anggota parlemen Korea Selatan, Yong Hye In. Dilansir dari Japan Today, 29 Juli 2023, Yong bercerita meninggalkan rumah setelah melahirkan dan menangis ketika ditolak masuk ke kafe karena bayinya.

Pengalaman itu memberi Yong sebuah misi baru: memberantas "zona bebas anak" yang sedang berkembang di Korea Selatan. Di negara dengan tingkat kelahiran terendah di dunia, munculnya semakin banyak fasilitas yang melarang anak-anak membuat marah para orangtua seperti Yong.

Katanya, aturan ini juga secara tidak sengaja menggagalkan kebijakan pemerintah negara itu yang berupaya meningkatkan angka kelahiran bayi selama beberapa dekade. Seoul telah menggelontorkan ratusan miliar dolar untuk mendorong warga Korea Selatan memiliki lebih banyak anak.


Bentuk Diskriminasi?

Foto yang diambil pada 20 Juli 2023 ini menunjukkan tanda 'No Kids Zone' di pintu masuk sebuah kafe di Seoul. Di negara dengan tingkat kelahiran terendah di dunia, munculnya semakin banyak fasilitas yang melarang anak-anak, seperti kafe, perpustakaan, dan galeri seni, membuat marah para orangtua, seperti anggota parlemen Korea Selatan Yong Hye In. (Yelim LEE/AFP)

Otoritas Seoul telah menawarkan subsidi tunai, layanan pengasuhan anak, dan dukungan perawatan infertilitas, tapi tidak berhasil. Data terbaru mencatat hanya 0,78 kelahiran per wanita, yang mana angka itu jauh di bawah tingkat penggantian yang diperlukan untuk menjaga ukuran populasi tetap stabil.

Banyak ahli mengatakan bahwa faktor sosial, bukan semata-mata faktor ekonomi, kemungkinan mendorong penurunan tingkat kelahiran bayi di Korea Selatan. Yong mengatakan, zona bebas anak murni diskriminasi dan berdampak, khususnya pada ibu muda.

"Saya merasa seperti telah diusir dari komunitas saya sendiri," kata Yong pada AFP ketika ia mengingat pengalamannya ditolak masuk kafe setelah akhirnya mengumpulkan energi untuk keluar rumah bersama bayinya.

Ia mengatakan, ia telah berjuang melawan depresi pascapersalinan dan "menangis setiap hari saat menyusui." Yong semula berharap kunjungannya ke kafe akan jadi langkah untuk kembali "hidup normal." Sayang, pengalamannya justru getir.

"Saya sekarang telah jadi orang yang dapat dengan mudah ditolak di tempat-tempat, seperti restoran, kafe, bar, dan bioskop. Saya ingat banyak menangis dalam perjalanan pulang," curhatnya.


Usulkan Undang-Undang

Foto yang diambil pada 2 Juni 2023 ini memperlihatkan anggota parlemen Yong Hye In dan putranya yang berusia dua tahun, Bak Dan, berpose untuk foto setelah wawancara dengan AFP di kantornya di Majelis Nasional di Seoul. Saat itu, ia berbicara tentang meluaskan Zona Larangan Anak di Korea Selatan. (Jung Yeon-je/AFP)

Majelis Nasional Korea Selatan sendiri "secara efektif" merupakan zona bebas anak, karena hanya anggota parlemen dan staf berwenang yang diizinkan masuk. Badan itu juga tidak memiliki kebijakan tentang cuti hamil untuk anggota parlemen. Yong merupakan anggota parlemen ketiga dalam sejarah Korea Selatan yang melahirkan saat bekerja.

Ketika kembali bekerja, Yong mengusulkan undang-undang yang mengizinkan bayi di bawah 24 bulan menemani ibunya bekerja. Itu masih tertunda, yang menurutnya tidak mengejutkan.

"Karena Majelis Nasional (Korea Selatan) didominasi laki-laki berusia 50-an dan lebih tua, ada sedikit minat pada sistem yang dapat menggabungkan kegiatan mengasuh anak dan parlementer," kata Yong. "Ini bukan masalah mendesak bagi mereka karena tidak memengaruhi kehidupan mereka."

Kecuali pemerintah mengalihkan perhatian ke isu-isu sosial, seperti ketidaksetaraan dan kesenjangan upah gender, ia menilai negara itu tidak akan mampu memperbaiki krisis demografis yang dihadapi. Bagi banyak anak muda, "bahkan sulit memprediksi apa yang akan Anda lakukan untuk mencari nafkah tahun depan," katanya.

INFOGRAFIS JOURNAL_ Beberapa Gejala Permasalahan Kesehatan Mental pada Anak (Liputan6.com/Abdillah)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya