Soal Rencana Karantina Khusus Pasien Tuberkulosis, CISDI: Bisa Picu Stigma

Menurut CISDI rencana karantina tuberkulosis adalah sebuah kemunduran dalam penanganan tuberkulosis atau TB di Indonesia.

oleh Ade Nasihudin Al Ansori diperbarui 03 Agu 2023, 14:00 WIB
Presiden Jokowi meminta Menkes Budi Gunadi Sadikin menyiapkan karantina khusus pasien tuberkulosis. Ini kata CISDI. Sumber: Freepik

Liputan6.com, Jakarta Rencana Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI) soal karantina tuberkulosis tidak sepenuhnya dianggap baik.

Salah satu yang berpendapat demikian adalah Center for Indonesia's Strategic Development Initiatives (CISDI). Menurut CISDI ide ini adalah sebuah kemunduran dalam penanganan tuberkulosis atau TB di Indonesia.

"Jalan mundur penanganan tuberkulosis. Rencana pemerintah ingin membuat tempat karantina pasien TB terdengar bagus. Tapi, ide ini malah bisa memunculkan sejumlah masalah. Selain anggaran, ada juga stigma," mengutip unggahan CISDI di Twitter resminya.

Unggahan berupa gambar itu bahkan memberi perumpamaan bahwa karantina tuberkulosis layaknya penghalang dalam penanganan TB.

Di gambar tersebut ada seseorang yang mengendarai sepeda sambil membawa tongkat. Orang yang mengendarai sepeda diumpamakan sebagai pemerintah dan tongkat diumpamakan sebagai penanganan tuberkulosis.

Sementara, ide karantina tuberkulosis digambarkan sebagai tindakan pengendara sepeda yang memasukkan tongkat ke dalam jari-jari roda yang mengakibatkan pengendara sepeda itu jatuh. Dengan kata lain, ide karantina tuberkulosis dianggap dapat menimbulkan bahaya yang lebih besar.

Menurut CISDI, jika rencana ini benar-benar diterapkan, maka banyak hal yang perlu dipersiapkan oleh pemerintah.

“Kita berandai-andai ya. Kalau pemerintah beneran mau bikin fasilitas karantina TB, maka di bawah ini cuman sekelumit hal yang mesti mereka siapkan. Mulai dari gedung sampai tenaga khusus. Jangan lupa juga memastikan keluarga pasien terpenuhi kewajibannya,” tulis CISDI.


Hal-Hal yang Perlu Disiapkan

Soal Rencana Karantina Tuberkulosis, CISDI: Bisa Picu Stigma. Sumber: Freepik

Berbagai hal yang perlu disiapkan jika rencana karantina tuberkulosis benar-benar diterapkan menurut CISDI yakni:

  • Gedung atau fasilitas yang memadai dan merata di seluruh negeri.
  • Kondisi gedung yang bersih dan nyaman dengan ventilasi udara yang cukup.
  • Alat-alat kesehatan di gedung baru.
  • Tambahan tenaga kesehatan untuk mengawasi dan memastikan pasien rutin minum obat.
  • Ruang terbuka atau ruang aktivitas bagi pasien untuk berolahraga.
  • Ruangan khusus bagi pasien yang ingin bertemu keluarganya.
  • Biaya pengganti penghasilan selama pasien dikarantina.
  • Pengasuh atau wali bagi anak tanggungan pasien selama dikarantina.
  • Akses pendidikan dan sarana bermain pasien anak.

“Itu aja cukup? Enggak”


Dampak Non Fisik Karantina Tuberkulosis

Soal Rencana Karantina Tuberkulosis, CISDI: Bisa Picu Stigma/unsplash

CISDI menambahkan, selama karantina tuberkulosis bukan cuma dampak fisik yang harus dipertimbangkan, tapi juga dampak non fisik.

“Itu tadi yang fisik ya. Nah, pemerintah juga harus tahu dampak non fisiknya. Misalnya, kondisi kesehatan mental pasien karantina.”

Karantina pasien tuberkulosis dapat memicu terjadinya:

Stigma Buruk

Stigma buruk dapat timbul akibat karantina tuberkulosis. Seperti pada kasus karantina paksa di Afrika Selatan yang meningkatkan keengganan pasien mencari layanan kesehatan untuk deteksi dini awal dan pengobatan karena takut dikarantina.

Masalah Kesehatan Mental

Gedung karantina yang tidak layak dan tidak didukung pendamping psikologis yang memadai juga dapat berdampak pada kondisi kesehatan mental pasien ketika dikarantina.

"Rumit kan, jadi bicara karantina itu enggak cuman gedung dan obat. Tapi ada risiko sosial yang bakal muncul."


Saran CISDI

Warga melakukan tes HIV saat kegiatan skrining penyakit tuberkulosis (TBC) di Kantor Kecamatan Cipayung, Depok, Jawa Barat, Rabu (4/1/2023). Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI melakukan skrining besar-besaran untuk menemukan 500 ribuan orang yang belum diobati dan berisiko menjadi sumber penularan penyakit TBC. (merdeka.com/Arie Basuki)

Maka dari itu, CISDI mengusulkan, ketimbang merekrut tenaga kesehatan baru, lebih baik memberikan insentif lebih dan layak untuk kader kesehatan yang di daerahnya ada pasien TB.

Di samping itu, alih-alih menggunakan anggaran untuk membangun gedung dan lain-lain, maka sebaiknya gunakan anggaran tersebut untuk:

  • Upgrade alat deteksi TB di fasilitas kesehatan sehingga lebih cepat menemukan pasien TB bergejala ringan yang menular.
  • Menambah stok obat TB di fasilitas kesehatan yang mudah dijangkau.
  • Meningkatkan anggara integrasi upaya pengendalian TB dengan diabetes, HIV/AIDS, kesehatan jiwa, dan konseling adiksi merokok.
  • Memberikan insentif lebih kepada tenaga dan kader kesehatan yang berhubungan langsung dengan pasien TB.
  • Menambah jumlah dan memberikan pelatihan pada kader kesehatan tentang pencegahan dan penanganan TB.
  • Memperbaiki rumah pasien yang membutuhkan, supaya tidak tertular lagi di kemudian hari.
  • Memberikan bantuan sosial bagi pasien TB yang tidak sanggup memenuhi makanan dan minuman bergizi.
  • Memperbaiki ruang isolasi khusus di puskesmas/RSUD supaya pasien dengan kasus yang parah bisa diterapi dengan baik.

"Pemerintah mesti ingat, hal buruk yang muncul dari stigma adalah potensi munculnya gesekan antar masyarakat dengan masyarakat. Jadi, lebih baik pemerintah menghapus ide karantina ini. Bisa kok kalau bareng-bareng menekan angka TB ini tanpa karantina," pungkas CISDI.

Infografis Cuci Tangan Pakai Sabun Bunuh Virus Penyebab Covid-19. (Liputan6.com/Niman)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya