Liputan6.com, Jakarta Rencana karantina tuberkulosis yang tengah disusun oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI) dinilai sebagai kemunduran penanganan TB di Indonesia.
Pasalnya, menurut Center for Indonesia's Strategic Development Initiatives (CISDI), jika benar-benar diterapkan, maka karantina tuberkulosis dapat memicu berbagai hal. Salah satunya dampak negatif pada kesehatan mental pasien.
Advertisement
Menurut CISDI, selama karantina tuberkulosis, bukan cuma dampak fisik yang harus dipertimbangkan, tapi juga dampak non fisik.
“Nah, pemerintah harus tahu dampak non fisiknya. Misalnya, kondisi kesehatan mental pasien karantina,” mengutip unggahan CISDI di Twitter resminya, Kamis (3/8/2023).
Karantina pasien tuberkulosis dapat memicu terjadinya:
Masalah Kesehatan Mental
Gedung karantina yang tidak layak dan tidak didukung pendamping psikologis yang memadai juga dapat berdampak pada kondisi kesehatan mental pasien ketika dikarantina.
"Rumit kan, jadi bicara karantina itu enggak cuman gedung dan obat. Tapi ada risiko sosial yang bakal muncul."
Stigma Buruk
Stigma buruk dapat timbul akibat karantina tuberkulosis. Seperti pada kasus karantina paksa di Afrika Selatan yang meningkatkan keengganan pasien mencari layanan kesehatan untuk deteksi dini awal dan pengobatan karena takut dikarantina.
"Ini jalan mundur penanganan tuberkulosis. Rencana pemerintah ingin membuat tempat karantina pasien TB terdengar bagus. Tapi, ide ini malah bisa memunculkan sejumlah masalah. Selain anggaran, ada juga stigma."
Jika Benar-Benar Diterapkan
Jika rencana karantina tuberkulosis benar-benar diterapkan, maka berbagai hal perlu disiapkan termasuk:
- Gedung atau fasilitas yang memadai dan merata di seluruh negeri.
- Kondisi gedung yang bersih dan nyaman dengan ventilasi udara yang cukup.
- Alat-alat kesehatan di gedung baru.
- Tambahan tenaga kesehatan untuk mengawasi dan memastikan pasien rutin minum obat.
- Ruang terbuka atau ruang aktivitas bagi pasien untuk berolahraga.
- Ruangan khusus bagi pasien yang ingin bertemu keluarganya.
- Biaya pengganti penghasilan selama pasien dikarantina.
- Pengasuh atau wali bagi anak tanggungan pasien selama dikarantina.
- Akses pendidikan dan sarana bermain pasien anak.
“Itu aja cukup? ENGGAK!”
Advertisement
Usul CISDI
Mengingat karantina tuberkulosis dapat memicu dampak fisik maupun mental, maka CISDI memberi usul. Alih-alih menggunakan anggaran untuk membangun gedung dan lain-lain, maka sebaiknya gunakan anggaran tersebut untuk:
- Upgrade alat deteksi TB di fasilitas kesehatan sehingga lebih cepat menemukan pasien TB bergejala ringan yang menular.
- Menambah stok obat TB di fasilitas kesehatan yang mudah dijangkau.
- Meningkatkan anggara integrasi upaya pengendalian TB dengan diabetes, HIV/AIDS, kesehatan jiwa, dan konseling adiksi merokok.
Alokasi Lainnya
Anggaran itu juga dianggap lebih baik jika digunakan untuk:
- Memberikan insentif lebih kepada tenaga dan kader kesehatan yang berhubungan langsung dengan pasien TB.
- Menambah jumlah dan memberikan pelatihan pada kader kesehatan tentang pencegahan dan penanganan TB.
- Memperbaiki rumah pasien yang membutuhkan, supaya tidak tertular lagi di kemudian hari.
- Memberikan bantuan sosial bagi pasien TB yang tidak sanggup memenuhi makanan dan minuman bergizi.
- Memperbaiki ruang isolasi khusus di puskesmas/RSUD supaya pasien dengan kasus yang parah bisa diterapi dengan baik.
"Pemerintah mesti ingat, hal buruk yang muncul dari stigma adalah potensi munculnya gesekan antar masyarakat dengan masyarakat. Jadi, lebih baik pemerintah menghapus ide karantina ini. Bisa kok kalau bareng-bareng menekan angka TB ini tanpa karantina," tutup CISDI.
Advertisement