Pekerja Migran Tanpa Dokumen Jadi Kendala Utama Pemerintah Tangani Kasus TPPO

Banyak korban TPPO "menunggu dipulangkan" oleh pemerintah Indonesia, sementara sebagian lainnya kembali berangkat usai dipulangkan.

oleh Benedikta Miranti T.V diperbarui 03 Agu 2023, 18:00 WIB
"Kekurangan lapangan pekerjaan di dalam negeri, pemerintah seharusnya hadir membuka kesempatan kerja secara luas dan memberi pelayanan kemudahan, serta memperkuat pelindungan Pekerja Migran Indonesia (PMI), bukan menghambat, melarang atau mempersulit warga negara Indonesia atas hak bekerjanya," tuntut massa. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta - Para pekerja migran Indonesia (PMI) yang bekerja di luar negeri secara non-prosedural dan tanpa dokumen (undocumented) disebut sebagai kendala utama pemerintah dalam menangani kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). 

Sejauh ini, kasus TPPO yang paling banyak ditemukan pemerintah adalah terkait labour trafficking, di mana korban dijanjikan bekerja di luar negeri namun ternyata mengalami eksploitasi. Masalahnya menjadi semakin rumit karena kebanyakan korban TPPO merupakan pekerja tanpa dokumen. 

Sementara berdasarkan informasi yang diterima Liputan6.com, banyak Warga Negara Indonesia (WNI) yang bekerja di luar negeri tanpa persiapan sama sekali. Misalnya, awalnya mereka menjalani perjalanan ibadah ke Arab Saudi, namun ketika mendapat tawaran untuk bekerja di sana, mereka memutuskan untuk langsung bekerja sehingga tidak memiliki izin tinggal lebih lama lagi atau mengalami overstay

Parahnya lagi, mereka justru kemudian mengandalkan pemerintah untuk kepulangan ke Indonesia lewat proses deportasi, sehingga mereka tidak perlu mengeluarkan biaya lagi. 

Jika merujuk pada Peraturan Menteri Luar Negeri (Permenlu) No. 5 tahun 2018, pemerintah Indonesia memang wajib hadir untuk melindungi dan mendampingi WNI yang berada di luar negeri. Namun, banyak yang justru menyalahgunakannya hanya karena ingin dipulangkan. 

 


Solusinya Bukan Sekadar Pemulangan

Direktur Pelindungan WNI Kementerian Luar Negeri RI Judha Nugraha dalam pertemuan dengan awak media di Jakarta, Selasa (30/5/2023).

Melihat hal tersebut, badan pelindungan WNI di Kementerian Luar Negeri (Kemlu) RI pun menanggapi secara seksama.

"Karena status undocumented itu bukan hanya sebatas masalah keiimigrasian, dengan status itu maka posisi mereka rentan di negara tujuan dan rentan tereksploitasi," ujar Direktur PWNI dan BHI Judha Nugraha kepada Liputan6.com dan sejumlah media pada Kamis (3/8/2023). 

Maka dari itu, ia menyebut bahwa solusi dari masalah TPPO bukan sekadar pemulangan saja, namun harus ditemukan akar masalahnya. 

 "Oleh karena itu, perlu pendekatan yang komprehensif dari hulu ke hilir untuk mengatasi WNI undocumented. Kita tidak bisa hanya fokus memulangkan, memulangkan, memulangkan saja," imbuhnya. 

 


Langkah Konkret

Satgas Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) menggagalkan pengiriman sebanyak 123 calon Pekerja Migran Indonesia (PMI) ilegal Nunukan, Kalimantan Utara (Kaltara) ke Malaysia. Dari kasus itu, delapan tersangka telah ditangkap. (Liputan6.com/Nanda Perdana Putra)

Langkah konkret yang perlu dilakukan, sebut Judha, termasuk: perbaikan tata kelola proses pendekatan, mempermudah proses keberangkatan yang mudah, cepat dan aman, perlunya edukasi kepada masyarakat terkait masalah tersebut. 

"Kita juga perlu memberikan pemahaman kepada masyarakat bahwa mereka bertanggung jawab dalam proses keimigrasian, bahwa ketika yang bersangkutan melakukan pelanggaran hukum, tugas negara bukan imunitas atau membebaskan melainkan memberikan pendampingan hukum agar yang bersangkutan mendapat haknya secara adil di peradilan negara setempat," sambung Judha. 

Hal tersebut artinya jika seorang WNI melakukan pelanggaran hukum di luar negeri, maka hukum dan pengadilan negara setempat yang akan berlaku. 

"Jadi intinya mereka tetap akan mendapatkan konsekuensi hukum dari tindakan mereka. Pemahaman ini yang perlu diketahui," kata Judha lagi. 


Jumlah Kasus TPPO Melonjak

46 WNI Korban TPPO Myanmar Tiba di Bandara Soetta. (Liputan6.com/Pramita Tristiawati)

Pada kesempatan yang berbeda, Judha juga pernah mengungkap bahwa jumlah kasus TPPO, terutama di kawasan Asia Tenggara, mengalami lonjakan signifikan belakangan ini. 

Berdasarkan data statistik Portal Peduli WNI, jumlah kasus TPPO naik signifikan dari 361 kasus pada tahun 2021 menjadi 752 kasus pada tahun 2022.

"Jadi hampir delapan kali lipat peningkatan kasusnya. Itu hanya di Kamboja. Online scam ini bukan hanya jumlahnya saja yang meningkat, tapi juga profilerasi negara tujuannya. Yang tadinya hanya Kamboja, sekarang ada di Myanmar, Laos, Thailand, Vietnam, dan Filipina," katanya, Selasa (30/5). 

Judha menjelaskan bahwa salah satu penyebab utama penanganan TPPO lintas negara adalah karena para pelaku tidak diproses secara hukum. 

"Permasalahannya mereka bukan pelaku kriminal, jadi tidak bisa dicekal," kata Judha. 

Maka dari itu, Kemlu RI pun mendorong keterlibatan otoritas berwenang untuk menindaklanjuti para pelaku demi mencegah kasus serupa berulang. Para korban dan keluarga korban TPPO, sebut Judha, pun diminta untuk melaporkan kasus indikasi TPPO.

 

Aksi penganiayaan terus bertambah (liputan6.com/abdillah)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya