Liputan6.com, Surabaya - Pakar Hukum Administrasi Fakultas Hukum Universitas Airlangga (Unair) Surabaya Bagus Oktafian Abrianto menanggapi wacana pemberlakuan Surat Izin Mengemudi (SIM) seumur hidup yang diusulkan oleh DPR.
Advertisement
Menurutnya ada dua hal yang harus dibedakan antara kepentingan politis dan legal atau hukum. Dalam perspektif legal atau hukum sudah jelas jika izin atau SIM ada persyaratan, kriteria dan jangka waktunya.
"Saya sepakat jika SIM ini harus ada jangka waktu. Kenapa? yang pertama karena orang yang mendapatkan SIM pada saat awal belum tentu sama keadaannya pada saat tahun-tahun berikutnya. Misalnya si A mendapatkan SIM pada 2023, pada 2024 keadaanya si A sakit," ujarnya, Kamis (3/8/2023).
"Pertanyaannya, apakah sama perlakuan orang yang sakit yang tidak bisa mengendarai sepeda motor dengan orang yang tidak sakit, ini kan hal yang berbeda," imbuhnya.
Sedangkan hal yang kedua, menurut Bagus, ada batasan tertentu dalam izin misalnya seseorang yang di berikan SIM itu ketika patuh pada ketentuan peraturan lalu lintas, dalam perjalanan waktu, orang yang memiliki SIM ini banyak melanggar ketentuan dan peraturan lalu lintas.
Apakah orang ini akan di berikan SIM selamanya? menurutnya hal ini tidak etis dan tidak sesuai hukum yang berlaku, karena hukum itu juga harus berlandaskan moral dan etis.
"Jika ada orang yang melanggar dan kemudian SIM nya dicabut sebelum masa berlakunya ya ndak papa karena sebagai salah satu aplikasi pengawasan dan menjadi kewenangan Polri sesuai dengan pasal 16 ayat 2 Undang Undang Polri dan Undang Undang pelayanan publik," ujarnya.
Sementara itu, pengamat transportasi dari Unesa, Dadang Supriyanto mengatakan, terkat SIM ini merupakan sertifikasi dari pengemudi, sehingga melalui prosedur dan tahapan yang berlaku.
"Seorang pengemudi itu harus dibekali kompetensi keahlian sesuai amanah UU Bo 22 tahun 2004, karena seorang pengemudi membawa orang, penumpang atau barang. Sehingga seorang pengemudi harus di bekali dengan uji kompetensi," ujarnya.
Ia menambahkan, sebelum diterbitkan sertifikasi atau SIM ada uji tes secara fisik, pengetahuan, tentang rambu dan aturan. Hal ini dikarenakan di dalam fundamental angkutan jalan ada empat pilar yaitu manusia, sarana, prasarana dan regulasi.
"Dengan SIM yang mempunyai batasan waktu, diharapkan mekanisme evaluasi, pengawasan dan edukasi bisa berkesinambungan, karena SIM mencakup masalah kompetensi dalam mengemudi," katanya.
Menurutnya, seorang pengemudi kemampuannya harus dievaluasi, sehingga bisa di ketahui kemampuannya naik atau turun. Indikasi kemampuan itu bisa dilihat dari prosentase pelanggaran yang dilakukan seperti melanggar batas kecepatan, marka, rambu-rambu yang dilakukan oleh pengemudi.
"Jika SIM berlaku seumur hidup, dikuatirkan berkurangnya faktor pengawasan karena si pemilik sertifikasi atau SIM ini secara subjektif juga akan mengalami dinamisasi misalkan bertambahnya usia, faktor kesehatan dan lain lain," ujarnya.
Viral Kasus Emak-Emak
Sebelumnya, Emak-emak yang mengaku bernama Marita mengamuk lantaran sang anak sudah 13 kali tak lulus ujian surat ijin mengemudi (SIM) di Satuan Lalu Lintas Polres Gresik. Aksi yang terekam dalam video berdurasi 4 menit 57 detik ini ramai di media sosial (Medsos).
Bahkan Marita mengaku mendukung wacana anggota DPR RI terkait perubahan masa berlaku SIM (Surat Izin Mengemudi) dari lima tahun menjadi berlaku seumur hidup.
"Untuk anggota dewan di Senayan sana, saya mendukung bapak dan ibu anggota dewan terkait SIM seumur hidup, supaya masyarakat tidak dipermainkan dengan aturan seperti ini yang merugikan," ujarnya dalam video tersebut, ditulis Kamis (3/8/2023).
Diketahui wacana perubahan masa berlaku SIM dari lima tahun menjadi berlaku seumur hidup muncul kembali saat DPR RI melakukan rapat dengar pendapat (RDP) dengan Korlantas Polri beberapa,waktu yang lalu.
Advertisement