Liputan6.com, Jakarta - Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif buka opsi memperluas sektor industri penerima harga gas murah USD 6 per MMBtu.
Saat ini, ada 7 sektor industri penerima program harga gas bumi tertentu (HGBT), yakni industri pupuk, petrokimia, oleochemical, baja, keramik, kaca, dan sarung tangan karet.
Advertisement
Namun, alokasi penyaluran gas untuk ketujuh sektor industri tersebut belum optimal. Pasalnya, dari 1.241,00 BBTUD yang disediakan, penyerapannya baru 85 persen.
"Jadi dari seluruh volume yang dialokasikan ini yang akan kita optimalkan dulu. Ya mungkin kita extend ke industri sejenis yang belum bisa mendapatkan sehingga bisa mentok tuh alokasinya yang 100 persen," ujar Arifin di Kantor Kementerian ESDM, Jakarta, Jumat (4/8/2023).
Untuk memperluas sektor industri penerima gas murah, Arifin bakal mencolek Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Pasalnya, penambahan itu akan turut berdampak terhadap keuangan negara.
"Perluasannya pertama penuhin dulu nih semua yang dialokasikan. Nah, yang tambahannya nanti kan kita evaluasi berapa kebutuhannya. Ini harus ngomong nanti sama Menteri Keuangan, ini bagian negara yang kira-kira bisa dinaikan," ungkapnya.
Di samping itu, kita juga evaluasi, cost kita udah efisien, efektif apa enggak. Jadi nanti transmisi kita lihat. Mudah-mudahan bisa kita perluas, bisa kita penuhi kebutuhan gas yang kompetitif untuk industri kita.
Arifin mengaku pihaknya sudah mengantongi daftar tambahan calon sektor industri penerima HGBT. Namun, ia belum mau merinci lebih lanjut. Menurut dia, perluasan ini harus mengedepankan sektor industri produktif yang menaungi kebutuhan masyarakat.
"Misal kalau makanan minuman, kita akan lihat juga jenis pangan yang mana yang marginnya gede. Pangan yang mencakup konsumsi rakyat yang utama, hari-hari, kita akan salurkan HGBT ke situ," tutur Arifin Tasrif.
Jokowi Minta Harga Gas Bumi Turun, Pengamat: Tak Otomatis Turunkan Biaya Produksi
Direktur Eksekutif ReforMiner Komaidi Notonegoro menyoroti rencana pemerintah untuk menurunkan harga gas bumi yang dijual ke sektor industri. Dia menilai langkah itu tak serta merta menurunkan biaya produksi.
Rencana penyesuaian harga gas bumi murah ini keluar usai rapat terbatas (ratas) yang digelar Presiden Joko Widodo (Jokowi) beberapa waktu lalu. Tujuannya agar harga gas bumi bagi industri di Tanah Air bisa bersaing dengan negara lain, utamanya di Asia Tenggara.
"ReforMiner menilai, rencana perluasan kebijakan harga gas bumi murah perlu dilakukan secara hati-hati. Selain memberikan manfaat ekonomi terhadap industri pengguna gas, biaya implementasi untuk kebijakan harga gas bumi murah cukup besar," ujar Komaidi dalam keterangannya, Rabu (2/8/2023).
Dia menyebut, atas studi yang dilakukan, ada temuan sampai saat ini biaya untuk implementasi kebijakan harga gas bumi murah tercatat masih lebih besar dibandingkan dengan manfaat ekonomi yang telah diperoleh.
"Studi ReforMiner juga menemukan bahwa kebijakan harga gas bumi murah belum tentu dapat secara otomatis menurunkan biaya produksi dan meningkatkan daya saing industri pengguna gas. Hal itu karena biaya produksi dan daya saing industri pengguna gas tidak hanya ditentukan oleh harga gas, tetapi ditentukan oleh sejumlah faktor," jelasnya.
Dia menuturkan, level harga atau tinggi-rendahnya harga gas di Indonesia akan terkait dengan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari pengusahaan gas bumi. Semakin besar PNBP gas bumi yang diterima, maka harga gas bumi akan semakin mahal. Sebaliknya, semakin kecil PNBP gas bumi yang diterima, maka harga gas bumi dapat semakin murah.
"Tinggi-rendahnya harga gas akan ditentukan oleh keekonomian lapangan. Semakin kecil skala gas yang diproduksikan, maka biaya produksi dan harga gas akan semakin mahal," urainya.
"Lokasi lapangan juga menentukan besaran biaya produksi gas. Produksi gas di wilayah remot atau di laut dalam akan memerlukan biaya yang lebih tinggi dibandingkan produksi gas di onshore dan pada wilayah yang lebih terjangkau," sambungnya.
Advertisement
Kondisi Pasar
Lebih lanjut, Komaidi menyoroti juga soal kondisi pasar dan ketersediaan dari infrastruktur gas. Aspek ini juga yang diyakini bakal menentukan harga jual gas.
Logika sederhananya, kondisi pasar gas dengan pembeli yang terbatas dan volume pembelian yang kecil, akan menyebabkan harga gas menjadi lebih mahal. Keterbatasan ketersediaan infrastruktur gas juga dapat menyebabkan keekonomian proyek dan harga gas menjadi lebih mahal.
"Tinggi-rendahnya harga gas akan memberikan sinyal mengenai keberpihakan pemerintah terhadap iklim investasi hulu gas. Harga gas yang ditekan terlalu rendah dapat menyebabkan kegiatan usaha hulu gas tidak cukup menarik bagi produsen dan dapat menghambat pengembangan lapangan gas seperti yang telah terjadi pada pengembangan proyek Blok Natuna, IDD, dan Blok Masela," kata dia.
Belum lagi, lanjut Komaidi, harga gas pada konsumen akhir yang ditekan cukup rendah dapat memberikan sinyal negatif dan disinsentif untuk pengembangan infrastruktur gas di dalam negeri. Harga gas yang rendah dapat menyebabkan insentif untuk usaha penyediaan infrastruktur gas di dalam negeri menjadi tidak cukup menarik.
"Pengembangan proyek infrastruktur pipa gas CISEM Tahap 1 dan 2 yang pada akhirnya harus dilaksanakan sendiri oleh pemerintah melalui APBN dengan menggunakan skema multi years contract (MYC), mengindikasikan bahwa usaha penyediaan infrastruktur gas belum cukup menarik bagi para pelaku usaha," tuturnya.
Banyak Faktor
Mengacu pada studi tadi, Komaidi mengambil kesimpulan kalau harga gas dipengaruhi oleh berbagai faktor. Karena itu, tidak hanya terkait dengan rencana perluasannya, tetapi implementasi kebijakan harga gas murah yang telah dilakukan sejak 2016 kiranya perlu ditinjau ulang.
"Definisi mengenai harga gas bumi murah tidak dapat hanya sekedar menggunakan acuan harga nominal yang ditetapkan 6 USD/MMBTU di plant gate karena penetapan harga gas bumi pada dasarnya harus mempertimbangkan kepentingan industri hulu gas, usaha penyediaan infrastruktur gas, usaha niaga gas, dan kepentingan industri pengguna gas," pungkas Komaidi Notonegoro.
Advertisement