Liputan6.com, Jakarta Mental emotional disorder atau gangguan mental emosional menjadi salah satu tantangan yang dihadapi Indonesia dalam menjalankan strategi pembangunan penduduk.
Hal ini disampaikan oleh Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo. Menurutnya, peningkatan gangguan mental emosional berujung pada perpecahan keluarga.
Advertisement
“Saat ini, kejadian-kejadian mental emotional disorder relatif meningkat, ada toxic people, toxic relationship, toxic friendship yang akhirnya menimbulkan konflik di dalam keluarga. Dan ujung-ujungnya memicu kejadian broken home yang juga meningkat,” kata Hasto mengutip keterangan pers, Sabtu (5/8/2023).
Ini semua harus menjadi satu bahasan yang komprehensif, lanjutnya, agar profil penduduk tidak dilihat dari sisi demografi secara kuantitas saja, tapi juga dari sisi kualitas.
Menurut Hasto, mental emotional disorder meningkat dari 6,1 persen pada 2021 menjadi 9,8 persen di 2022.
"Ada yang meningkat yaitu dari sisi mental emotional disorder, peningkatan ini related dengan kejadian-kejadian dari narkotika/napza. itu yang tadi juga menjadi bagian penting untuk kita perhatikan bersama.”
“Kemudian gangguan jiwa berat juga tampak meningkat menjadi 7/1.000. Di mana sebelumnya di tahun 2013, survei demografi dan kesehatan Indonesia (SDKI) menunjukkan jumlahnya masih di atas 1,7/1000 orang dengan gangguan jiwa (ODGJ).”
“Sekarang menjadi 7/1000, jadi hampir tiga kali lipat, dan penghuni-penghuni rutan hampir 60 persen itu orang-orang dengan narkotika karena napzanya mencapai 5,1 persen," ujar Hasto.
Perbanyak Rumah Sakit yang Sediakan Layanan Kejiwaan
Melihat data tersebut, Hasto Wardoyo berpesan untuk para Kepala Badan Perencana Pembangunan Daerah (Bappeda) di seluruh Indonesia untuk berdiskusi.
Hal yang perlu didiskusikan adalah soal kuantitas, properti, demografi, dan perencanaan tentang pembangunan rumah sakit.
Terutama rumah sakit dengan mengadakan dan mengedepankan bangsal jiwa. Serta berharap bisa mengacu kepada sesuatu yang betul-betul kontekstual pada kebutuhan terkini.
Advertisement
Tentang Gangguan Mental Emosional
Gangguan mental emosional atau disregulasi emosi adalah suatu kondisi yang memengaruhi cara seseorang mengalami dan menangani emosinya.
Kondisi mental ini sangat umum pada anak-anak serta remaja dan dapat bertahan hingga dewasa.
Ketika seseorang mengalami disregulasi emosional, mereka mungkin mengalami kesulitan mengatur emosinya dan mengalami ledakan amarah, kecemasan, depresi, atau menampilkan perilaku yang merusak diri sendiri.
Orang dengan disregulasi emosi tidak memiliki respons emosional yang tepat terhadap situasi yang mereka hadapi. Pada akhirnya, kondisi tersebut dapat memengaruhi kualitas hidup, interaksi sosial, kehidupan pribadi, kehidupan kerja, dan hubungan asmara termasuk rumah tangga, seperti mengutip Medical News Today.
Emosi Tak Terkendali
Disregulasi emosional juga bisa menjadi ciri dari kondisi lain, seperti gangguan disregulasi mood yang mengganggu, gangguan kepribadian borderline, gangguan hiperaktif defisit perhatian (ADHD), dan lain-lain.
Dokter juga dapat menyebutnya sebagai disregulasi, fluktuasi suasana hati yang nyata, perubahan suasana hati, atau suasana hati yang labil.
Ada banyak jenis disregulasi emosional dan pengalaman setiap orang berbeda-beda. Biasanya, disregulasi emosional berarti seseorang memiliki emosi yang sangat kuat sebagai respons terhadap pemicu. Oleh karena itu, seseorang mungkin merasa emosinya tidak terkendali. Mereka juga mengalami kesulitan mengenali emosi mereka dan merasa bingung, bersalah, atau stres tentang perilaku mereka.
Dalam beberapa kasus, penyebab disregulasi tidak mudah ditemukan. Ada banyak faktor yang dapat menyebabkan disregulasi emosi pada seseorang.
Trauma psikologis awal akibat pelecehan atau penelantaran dari pengasuh, tampaknya menjadi salah satu alasan yang memungkinkan.
Trauma ini bisa berarti anak tidak membentuk ikatan dengan pengasuhnya dan dapat mengembangkan gangguan keterikatan reaktif. Selain itu, jika pengasuh sendiri hidup dengan disregulasi emosional, maka anak-anak yang diasuh memiliki kemungkinan untuk mencontohnya.
Kadang-kadang, disregulasi emosional masih terjadi bahkan tanpa penyebab atau penyebab psikologis yang dapat diidentifikasi terkait dengan pengasuhan mereka. Itu bisa saja hanya sifat anak, atau susunan neurologis mereka.
Advertisement