Liputan6.com, Jakarta - Istilah pendidihan global atau global boiling sempat ramai beberapa pekan terakhir. Istilah itu mencuat usai pernyataan Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) António Guterres yang menyebut saat ini dunia berada pada masa pendidihan global, bukan lagi pemanasan global.
"Perubahan iklim sudah ada di sini. Itu menakutkan. Dan ini baru permulaan. Masih mungkin membatasi kenaikan suhu global hingga 1,5 derajat Celsius dan menghindari perubahan iklim yang paling buruk. Tapi hanya dengan aksi iklim yang dramatis dan langsung," kata Guterres yang dikutip dari laman PBB.
Advertisement
Pernyataan Guterres tersebut sebagai bentuk respons laporan para ilmuwan yang menyebut Juli 2023 menjadi bulan terpanas sepanjang sejarah. Hal ini berdasar data terbaru dari Organisasi Meteorologi Dunia/World Meteorological Organization (WMO) dan Layanan Perubahan Iklim Copernicus Komisi Eropa/European Commission's Copernicus Climate Change Service (C3S).
Guterres meminta dunia dapat lepas dari sektor bahan bakar fosil sebagai penghasil emisi gas rumah kaca terbesar. Selain itu dia juga mendesak perusahaan-perusahaan, kota-kota, hingga lembaga-lembaga keuangan dapat menghadiri Konferensi Ambisi Iklim dengan membawa rencana perubahan yang kredibel.
"Tak ada lagi greenwashing. Tak ada lagi penipuan. Dan tak ada lagi distorsi terang-terangan terhadap hukum antimonopoli untuk menyabotase aliansi nol emisi," jelas Guterres.
Memprihatinkan
Pengamat iklim Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Dodo Gunawan menyebut pernyataan António Guterres merupakan penegasan terkait pemanasan global yang sudah tahap memprihatinkan. Sebab berdasarkan Perjanjian Iklim Paris (Paris Climate Agreement) yang disetujui pada 2015 berusaha membatasi pemanasan global hingga jauh di bawah 2 celcius, tapi lebih baik pada 1,5 celcius sampai akhir abad ini untuk memerangi perubahan iklim.
"Itu perumpaan yang sudah sangat mengkhawatirkan terkait dengan pemanasan global, kondisinya sudah bisa dilihat kondisi yang ada saat ini. Saya catat sampai bulan Mei itu semua sudah terjadi pada rapor tertinggi," kata Dodo kepada Liputan6.com.
Dia menjelasakan, pada tahun 2023 digambarkan pemanasan global terjadi saat memasuki El Nino. Hal tersebut seperti halnya yang terjadi pada saat 2019 yang mencapai tertinggi bersamaan dengan El Nino.
Kondisi saat ini, kata dia, merupakan salah satu dampak dari adanya peningkatan suhu panas. Atau selisih anomali suhu udara rata-rata tahunan terus mengalami peningkatan.
"Termasuk wilayah Indonesia analisa suhu ada tren kecenderungan yang terus meningkat dari waktu ke waktu seperti halnya peningkatan global. Di samping itu tentu selain ada tren kenaikan suhu meningkat ada fluktuasi dari waktu ke waktu musim ke musim," jelas dia.
Amerika Selatan Alami Musim Dingin yang Panas
Amerika Serikat seharusnya tengah mengalami Musim Dingin, namun sejumlah bagian di kawasan itu mengalami gelombang panas luar biasa. Fenomena tersebut diyakini para ilmuwan merupakan dampak dari perubahan iklim, yang diperparah oleh El Nino.
Ibu kota Argentina, Buenos Aires, mencatat rekor 1 Agustus terpanas dalam 117 tahun.
"Suhu pada Musim Dingin jauh dari skala - tidak hanya di wilayah tengah di mana Buenos Aires berada, namun juga di wilayah utara yang berbatasan dengan Bolivia dan Paraguay, di mana suhu mencapai antara 37 derajat Celcius dan 39 derajat Celcius pekan ini," ujar Cindy seperti dilansir The Guardian, Jumat (4/8/2023).
Di Chile, suhu panas pun menuju 40 derajat Celcius.
"Juli adalah bulan terpanas di planet ini sejak pencatatan dimulai ... Meski kita ada di Musim Dingin, Chile mengalami neraka kecilnya sendiri," tulis surat kabar La Tercera yang berbasis di Santiago.
Ahli iklim dari Universitas Santiago Raul Cordero mengatakan kepada surat kabar La Tercera, "Tidak mengherankan jika rekor suhu panas tercipta di seluruh dunia. Perubahan iklim memastikan rekor ini semakin sering dipecahkan."
Sejumlah wilayah di Paraguay, Bolivia, dan Brasil selatan juga mencatat cuaca panas ekstrem, peristiwa yang oleh pengamat cuaca Maximiliano Herrera disebut sebagai suhu brutal, di mana suhu hampir 39 derajat Celcius.
"Setidaknya selama lima hari lagi kita belum bisa lega dan kita tidak bisa mengesampingkan (kemungkinan suhu mencapai) sekitar 40-an," ungkap Herrera.
Seorang warga Paraguay bernama Ariel Mendoza pada Kamis (3/8), saat suhu tercatat 33 derajat Celcius mengatakan, "Kami di Paraguay terbiasa dengan panas, namun cuaca sekarang lebih panas sehingga kami tidak keluar rumah."
Lima tahun lalu, sebut Mendoza, Musim Dingin di Paraguay benar-benar dingin.
"Tapi sekarang suhunya 30-35 derajat Celcius akibat perubahan iklim," ujarnya.
Di Universitas Katolik yang teduh di tepi Sungai Paraguay, direktur administrasi kampus Oscar Lopez Grutter, setuju bahwa Musim Dingin kali ini di Paraguay telah berubah karena dunia semakin panas.
"Musim Dingin ini tidak terlalu dingin dan jauh lebih pendek," katanya. "Alam semakin kurang bersahabat – ada gangguan iklim, lebih banyak mobil, lebih banyak industri, lebih banyak polusi. Deforestasi, lebih sedikit pohon dan, sayangnya, hujan makin tidak menentu."
Advertisement