Liputan6.com, Jakarta Penanganan obesitas khususnya pada anak dinilai lebih sulit ketimbang penanganan pada masalah gizi buruk. Hal ini disampaikan dokter spesialis anak subspesialis kesehatan anak, nutrisi, dan penyakit metabolik RS Pondok Indah - Puri Indah Novitria Dwinanda.
“Menurut saya, menatalaksana obesitas itu lebih susah loh dari gizi buruk,” kata Novitria, dalam temu media di Jakarta Selatan, Selasa (9/8/2023).
Advertisement
Pendapat Novitria bukan tanpa alasan, menurutnya, gizi buruk dapat diatasi dengan kerja sama dokter, pasien, dan keluarga.
Sementara, dalam penanganan obesitas khususnya pada anak, lingkungan memiliki pengaruh besar. Di sisi lain, lingkungan masyarakat tidak bisa dikendalikan begitu saja oleh dokter dan keluarga.
“Kalau gizi buruk itu (penanganannya) antara saya, pasien dan orangtua, selesai. Tapi kalau obesitas, oke kita atur makannya, saya dampingi, saya temani, ada komorbid kita obati, semuanya kita obati.”
“Tapi ada (faktor) lingkungan, di situ susahnya. Lingkungan di luar sana yang tidak bisa ditangani oleh dokter seorang diri. Harus ada kesadaran dari orangtua dan anaknya.”
Contoh Pengaruh Lingkungan pada Obesitas Anak
Novitria memberi contoh keterkaitan antara obesitas dan faktor lingkungan. Menurutnya, memang ada beberapa hal sederhana di lingkungan yang bisa berkontribusi pada kenaikan angka obesitas pada anak.
Salah satu hal sederhana itu adalah kembalian permen. Saat belanja, jika pemilik warung tidak memiliki uang receh atau uang kecil, maka opsi yang dipilih adalah memberi kembalian uang dalam bentuk permen.
"Kalau permen kan biasanya anak yang makan. Kembalian pakai permen adalah hal sepele yang sumbang permasalahan obesitas," ujar Novitria.
Obesitas Anak Juga Dipengaruhi Lingkungan Sekolah
Selain kebiasaan konsumsi permen dari kembalian uang di lingkungan masyarakat sekitar, kebiasaan tidak baik yang memicu obesitas juga terjadi di lingkungan sekolah.
Setiap sekolah biasanya memiliki kantin dengan berbagai jajanan yang mengandung gula dan dikemas sedemikian rupa sehingga menarik anak-anak untuk membelinya.
Makanan-makanan itu bisa berupa keripik, makanan ringan dalam kemasan, minuman manis, minuman berwarna, dan jenis makanan lain yang dijual dengan harga murah.
"Di lingkungan kantin itu makanannya chips (keripik), minuman berwarna, coklat. Karena kalau jual air putih aja enggak laku, kalau jual rujak pada anak-anak itu enggak laku," kata Novitria.
Konsumsi jajanan sehari-hari ini juga ikut berkontribusi dalam menaikkan angka obesitas pada anak.
Advertisement
Kebiasaan Makan Tak Baik di Lingkungan Keluarga Berkontribusi pada Angka Obesitas Anak
Beralih ke lingkungan yang lebih kecil yakni keluarga, anak-anak juga kerap dihadapkan dengan kebiasaan sepele yang memicu obesitas.
Anak-anak kerap diasuh dengan pola makan yang tidak teratur dan tidak tepat. Misalnya, anak dibiasakan makan sambil nonton TV.
"Supaya anak mau makan malah diberi tontonan, kalau itu berlanjut, jadinya obesitas karena kebiasaan," katanya.
Novitria pun memberi alasan anak tak disarankan makan sambil menonton, sambil digendong, dan sambil melakukan kegiatan lainnya.
"Makan enggak boleh sambil nonton, anak jadi enggak tahu apa yang dikasih. Dia enggak tahu itu benda apa, dia enggak tahu ayam goreng seperti apa dan enaknya tuh seperti apa," ujarnya.
"Ketika anak tidak tahu apa yang dimakan, dia menjadi pasif. Saat makan, anak hanya menjadi objek, hanya tahu mangap aja," Novitria menjelaskan.
Alih-alih nonton sambil makan, Novitria merekomendasikan para orangtua untuk mengajak anak berpartisipasi dalam kegiatan makan.
"Anak itu diajak partisipasi pada saat makan, biar dia tahu apa yang dia makan, apa yang diberikan, dan apa rasanya," katanya.
Reward Makanan Enak Berkontribusi pada Angka Obesitas Anak
Kebiasaan lain di lingkungan keluarga yang dianggap sepele tapi dapat berkontribusi pada angka obesitas anak adalah kebiasaan memberi reward atau hadiah makanan.
Yang dihadiahkan biasanya bukan jenis makanan sehat melainkan makanan yang digemari anak-anak, seperti es krim, makanan cepat saji, dan lain-lain.
Tak sedikit orangtua yang menjanjikan makanan enak jika anaknya berhasil mencapai sesuatu.
"Misalnya, kalau bisa ini nanti dikasih es krim, kalau bisa itu dikasih apa. Kebiasaan reward dengan makanan itu sepele tapi sebenarnya menyumbang angka obesitas," pungkas Novitria.
Advertisement