Liputan6.com, Bangkok - Militer Myanmar dan milisi yang berafiliasi dengannya semakin sering melakukan kejahatan perang, termasuk pengeboman udara yang menargetkan warga sipil. Demikian laporan kelompok penyelidik PBB, Mekanisme Investigasi Independen untuk Myanmar (IIMM), yang dipublikasikan pada Selasa (8/8/2023).
IIMM menyatakan telah menemukan bukti kuat selama 12 bulan -yang berakhir pada Juni 2023- bahwa tentara dan milisi tanpa pandang bulu dan secara tidak proporsional menargetkan warga sipil dengan bom, eksekusi massal orang-orang yang ditahan selama operasi, dan melakukan pembakaran besar-besaran rumah warga sipil.
Advertisement
Kelompok, yang didirikan oleh Dewan HAM PBB pada tahun 2018 untuk memantau pelanggaran hukum internasional di Myanmar, itu menuturkan pula bahwa mereka sedang mengumpulkan bukti yang dapat digunakan dalam penuntutan di masa depan terhadap mereka yang bertanggung jawab.
"Setiap korban jiwa di Myanmar menyedihkan, namun kehancuran yang dialami seluruh masyarakat melalui pengeboman udara dan pembakaran desa sangat mengejutkan," ujar ketua kelompok tersebut Nicholas Koumjian seperti dilansir AP, Rabu (9/8).
"Bukti kami menunjukkan peningkatan dramatis dalam kejahatan perang dan kejahatan kemanusiaan di negara ini, dengan serangan yang meluas dan sistematis terhadap warga sipil, dan kami sedang menyusun berkas kasus yang dapat digunakan oleh pengadilan untuk meminta pertanggungjawaban pelaku individu."
Myanmar berada dalam kekacauan sejak kudeta militer atas pemerintahan pimpinan Aung San Suu Kyi pada Februari 2021, memicu protes massal. Penentang pemerintahan militer kemudian mengangkat senjata dan sebagian besar negara sekarang terlibat dalam konflik, yang oleh ahli PBB dicirikan sebagai perang saudara.
Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik, sebuah organisasi pemantau hak, mengatakan bahwa pasukan keamanan Myanmar telah membunuh sedikitnya 3.900 warga sipil dan menangkap 24.236 lainnya sejak kudeta militer.
Penyelidikan Kejahatan Seksual dan Berbasis Gender terhadap Rohingya
Laporan IIMM menyebutkan, tidak ada informasi bahwa pihak berwenang Myanmar telah menyelidiki pejabat militer atau sipil mana pun atas kejahatan perang atau kejahatan kemanusiaan, dan mengabaikan kejahatan semacam itu dapat mengindikasikan bahwa otoritas yang lebih tinggi bermaksud agar hal itu dilakukan.
IIMM mengatakan terus aktif menyelidiki kekerasan, termasuk kejahatan seksual dan berbasis gender, yang dilakukan oleh militer terhadap minoritas muslim Rohingya pada tahun 2017.
Lebih dari 700.000 Rohingya telah melarikan diri dari Myanmar ke negara tetangga Bangladesh sejak Agustus 2017 untuk menghindari kampanye kontra-pemberontakan militer yang brutal menyusul serangan oleh kelompok pemberontak di Negara Bagian Rakhine.
Pemerintah Myanmar telah menolak tuduhan bahwa pasukan keamanan melakukan pemerkosaan dan pembunuhan massal serta membakar ribuan rumah dalam serangan tersebut.
"Kejahatan seksual dan berbasis gender adalah salah satu kejahatan paling keji yang sedang kami selidiki," kata Koumjian. "Ini sangat meluas selama operasi pembersihan Rohingya, sehingga sebagian besar saksi yang kami wawancarai memiliki bukti yang relevan tentang ini."
Pemerintah Amerika Serikat (AS) telah menyebut tindakan militer terhadap minoritas Rohingya sebagai genosida.
Advertisement