Sempat Hadapi Kendala Komunikasi, Begini Komunitas Tuli di Desa Bengkala Hadapi COVID-19

Sebagian besar penduduk Desa Bengkala yang dikenal dengan nama komunitas Kolok adalah penyandang disabilitas Tuli.

oleh Ade Nasihudin Al Ansori diperbarui 10 Agu 2023, 18:00 WIB
Sempat Hadapi Kendala Komunikasi, Begini Komunitas Tuli di Desa Bengkala Hadapi COVID-19. Foto: AIHSP.

Liputan6.com, Jakarta Kesuksesan Desa Bengkala, Bali dalam memerangi COVID-19 tak luput dari peran warga disabilitas. Desa yang terletak di Kabupaten Buleleng kini menjadi wilayah percontohan karena berhasil melakukan vaksinasi kepada 75 persen warganya.

Desa ini memang terkenal unik karena sebagian besar penduduknya, yang dikenal dengan nama komunitas Kolok, adalah penyandang disabilitas Tuli.

Meski mengalami kendala komunikasi, Desa Bengkala berhasil menunjukkan kemajuan baik dalam proses vaksinasi COVID-19.

Saat pandemi, tiga tahun lalu, desa ini cukup tertantang dalam mengatasi penyebaran virus COVID-19. Kendala komunikasi menyebabkan kelompok Tuli kesulitan dalam mengakses informasi tentang COVID-19.

Komunitas Kolok yang tinggal di sana terbiasa menggunakan bahasa isyarat lokal (kata Kolok) yang berbeda dengan bahasa isyarat Indonesia (BISINDO). Hal ini menyebabkan kesenjangan komunikasi antara tenaga kesehatan dan kelompok disabilitas penerima vaksinasi.

Akibatnya, informasi tentang vaksin COVID-19 tidak selalu diterima secara utuh dan valid. Di sisi lain, terdapat kecenderungan sikap komunitas Kolok, terutama para remaja, yang tidak mengikuti aturan penggunaan masker dan menjaga jarak.

Sebagai komunitas bisu dan Tuli, penggunaan masker akan menyulitkan mereka untuk membaca gerak bibir lawan bicara. Karenanya, diperlukan pendekatan komunikasi risiko untuk memberikan pemahaman tentang pentingnya menjaga jarak dan menggunakan masker untuk menahan laju penyebaran virus COVID-19 saat itu.


Jalin Kerja Sama Tangani Kendala Komunikasi

Sempat Hadapi Kendala Komunikasi, Begini Komunitas Tuli di Desa Bengkala Hadapi COVID-19. (SONNY TUMBELAKA / AFP)

Desa Bengkala melalui Pemprov Bali kemudian bekerja sama dengan Kemitraan Australia Indonesia untuk Ketahanan Kesehatan (AIHSP).

Kemitraan dilakukan sejak 2021 dengan mengutamakan pendekatan komunikasi risiko untuk mengatasi pandemi di komunitas Kolok.

Berbagai upaya komunikasi risiko pun dilakukan dengan kolaborasi lintas sektor (pentahelix) dengan melibatkan pemerintah desa, mitra pembangunan, dan tokoh masyarakat. Dengan upaya ini, Desa Bengkala berhasil menemukan pendekatan yang efektif untuk memberikan informasi seputar pandemi.


Pelibatan Tokoh Masyarakat

Sempat Hadapi Kendala Komunikasi, Begini Komunitas Tuli di Desa Bengkala Hadapi COVID-19. (SONNY TUMBELAKA / AFP)

Pendekatan yang dinilai efektif dalam memberikan informasi seputar COVID-19 kepada komunitas Kolok adalah dengan pelibatan tokoh masyarakat. Ini sangat memengaruhi keputusan komunitas Kolok untuk melakukan vaksinasi.

Sebagai kelompok berisiko tinggi, mereka bergantung pada informasi yang disampaikan oleh keluarga, Kelian Banjar (Ketua RW) atau Perbekel (Kepala Desa).

Pada praktiknya, komunitas Kolok sangat percaya pada informasi yang disampaikan oleh Perbekel dan Kelian Banjar sehingga mereka mengikuti saran untuk melakukan vaksinasi.

Akhirnya, pada Maret 2022, desa ini berhasil melakukan vaksinasi terhadap 30 dari 42 penyandang disabilitas di komunitas tersebut.

Bahkan di antara mereka sudah menerima vaksinasi COVID-19 hingga booster.


Keberhasilan Komunikasi Risiko Diadopsi dalam Program Pencegahan Rabies

Ilustrasi Keberhasilan Komunikasi Risiko di Desa Bengkala Diadopsi dalam Program Pencegahan Rabies. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Keberhasilan komunikasi risiko untuk meningkatkan cakupan vaksinasi COVID-19 di Desa Bengkala kemudian diadopsi lebih luas dalam program kesehatan masyarakat. Salah satunya dalam penanggulangan rabies.

Tokoh masyarakat di Desa Bengkala, I Gede Suarta mengatakan, dalam penanggulangan rabies, aparatur desa melibatkan penyandang disabilitas sebagai anggota Tim Siaga Rabies (Tisira).

Dari 12 orang anggota Tisira, dua orang di antaranya adalah penyandang disabilitas. Mereka adalah Putu Suara dan Juliana.

Upaya menggandeng penyandang disabilitas dilakukan karena langkah serupa pernah dilakukan saat penanggulangan COVID-19 lalu. Langkah itu terbukti berhasil untuk memberikan informasi kepada sesama penyandang disabilitas.

“Kalau ada vaksinasi atau tindakan lebih lanjut untuk penanganan HPR liar, mereka juga masuk tim. Itu pun sudah seizin desa, dinas, dan desa adat. Pergerakan mereka jauh lebih lincah dari kami. Makanya selalu kami libatkan,” kata Suarta, mengutip keterangan pers, Kamis (10/8/2023).

Infografis Akses dan Fasilitas Umum Ramah Penyandang Disabilitas. (Liputan6.com/Triyasni)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya