Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Luar Negeri RI mengumumkan bahwa enam warga negara Indonesia (WNI) yang menjadi korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO) berhasil dipulangkan dari Thailand. Mereka menjadi korban TPPO di Provinsi Chiang Rai.
KBRI Bangkok memfasilitasi pemulangan pada Rabu (9/8). Bantuan pembiayaan juga diberikan oleh International Organization for Migration (IOM) Bangkok.
Advertisement
Keenam WNI tersebut sebelumnya ditangkap pada Mei 2022 atas tuduhan illegal entry, penyebaran penyakit COVID-19, dan pelanggaran protokol kesehatan di Chiang Rai, Thailand.
Mereka kemudian dipindahkan oleh sindikat perdagangan manusia ke berbagai lokasi di perbatasan Myanmar dan Thailand, mengakibatkan absensi mereka dalam persidangan. Pengadilan Chiang Rai pun akhirnya mengeluarkan perintah penangkapan.
Keenam WNI ini kemudian ditetapkan sebagai korban TPPO oleh otoritas terkait Thailand pasca dilepas di Maesot. Namun, mereka tidak dapat langsung dipulangkan ke Indonesia karena perintah penangkapan pengadilan masih berstatus aktif. Selama menunggu proses itu, keenam WNI ditampung di shelter korban TPPO Pemerintah Chiang Rai di Thailand.
Mereka bisa dipulangkan setelah tanggal 25 Juli 2023 pengadilan mencabut perintah penangkapan. Setelah tiba di Indonesia, keenam WNI tersebut diserahkan kepada keluarga mereka. Kementerian Luar Negeri dan Bareskrim Polri bekerja sama untuk memberikan perlindungan hukum dan pemeriksaan lanjutan sesuai hukum yang berlaku.
Kriminolog UI Ungkap 'Varian Baru' Kasus TPPO, Korban Bisa Berubah Jadi Pelaku Perdagangan Orang
Kriminolog Universitas Indonesia (UI) Adrianus Eliasta Sembiring Meliala mengatakan korban bisa menjadi pelaku baru dari tindak pidana perdagangan orang (TPPO).
Adrianus Meliala memberikan contoh kasus Patty Hearst yang fenomenal di Amerika Serikat pada 1974. Patty Hearts adalah seorang anak konglomerat yang menjadi korban penculikan. Namun pada akhirnya justru bergabung dengan kelompok penculik untuk melakukan tindakan kriminal.
"Saya pakai analogi tersebut untuk menjelaskan kasus yang terjadi saat ini ketika seseorang tak merasa lagi dijual. Malah merasa mendapat pemasukan yang besar," ujar Adrianus seperti dilansir Antara.
Perilaku perubahan korban menjadi pelaku TPPO tercermin pada kasus sindikat jual beli ginjal internasional yang terungkap belum lama ini. Dari 15 tersangka, sembilan di antaranya pernah menjadi pendonor atau korban yang berubah menjadi pelaku TPPO.
Dari kasus tersebut, Adrianus kemudian menyimpulkan bahwa dalam perkembangan kasus TPPO terdapat "varian baru" yakni korban yang berubah menjadi pelaku.
"Ada variasi dalam konteks perdagangan orang berdasarkan perkembangan dari waktu ke waktu," ujar Adrianus.
Advertisement
Pembentukan Satgas
Dalam varian baru TPPO, pelaku dan korban terlibat kontak dengan adanya perpindahan tempat, ketika mengurus dokumen, atau saat berada di lokasi tertentu yang menjadi lokasi penampungan.
"Dari kacamata aparat penegak hukum yang agak konservatif, korban juga dapat dikatakan sebagai penyerta. Jadi bukan hanya menjadi korban, tetapi dia sudah ikut serta dalam satu skema yang mengorbankan dirinya. Dia bekerja sama dengan orang lain agar dia menjadi korban," kata Adrianus.
Menurut Adrianus pemerintah saat ini telah melakukan langkah tepat dengan membentuk Satuan Tugas (Satgas) TPPO yang dibentuk Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo.
"Satgas ini melakukan dua hal yakni pendataan dan mengkoordinasi peran-peran seperti Kemlu, Polri, BPMI, dan lainnya. Sehingga tidak ada kepentingan lain," kata Adrianus.
Satgas TPPO dalam periode 5 Juni-2 Agustus telah menangkap 882 tersangka dan menyelamatkan 2.233 orang dari tindak pidana perdagangan orang, termasuk kasus jual beli ginjal jaringan internasional Indonesia-Kamboja.
Tak hanya penguatan di dalam negeri, Indonesia juga terus berupaya bersinergi dengan negara lainnya seperti Kamboja agar pemberantasan kasus TPPO bisa dilakukan secara komprehensif.