Liputan6.com, Jakarta Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengatakan kondisi perekonomian global hingga Juli 2023 masih menunjukkan pelemahan. Hal itu dilihat dari Purchasing Managers Index atau PMI manufaktur global yang dalam posisi kontraktif.
Dilihat dari total negara yang disurvei untuk PMI manufaktur, tercatat 72,7 persen negara-negara di dunia aktivitas PMI manufakturnya dalam kondisi kontraktif yakni dibawah angka 50. Menurutnya, persentase tersebut sangat besar.
Advertisement
"Artinya, perekonomian dunia dicirikan dengan mayoritas negara kondisi kegiatan manufakturnya melambat," kata Menkeu dalam konferensi pers, Jumat (11/8/2023).
Negara yang termasuk kondisi PMI Manufakturnya terkontraksi diantaranya Amerika Serikat, Kanada, Brazil, Eropa, Jerman, Perancis, Inggris, Jepang, Korea Selatan, Tiongkok, Malaysia, Vietnam, Afrika Selatan, Turki.
"Dilihat dari PMI manufaktur Global yang dalam posisi kontraktif, yaitu di bawah 50 dan ini terutama dari negara-negara seperti Eropa dan Tiongkok yang merupakan dua negara besar atau area yang besar di mana mereka PMI-nya melemah," jelas Menkeu.
Sementara, untuk negara yang PMI Manufakturnya di atas 50 hanya ada 9,1 persen. Artinya, negara-negara tersebut PMI manufakturnya mengalami ekspansi namun trennya melambat, seperti Thailand dan Rusia.
Sedangkan, negara-negarayang PMI Manufakturnya ekspansi dan akselerartif sebanyak 18,2 persen, diantaranya India, Filipina, Meksiko, termasuk Indonesia.
"Di Indonesia sendiri masih dalam posisi PMI yang ekspansif dan bahkan cenderung menguat yaitu 53,3. Kita lihat di sini kalau di Eropa sangat turun, kemudian Tiongkok dalam hal ini juga masih 49,2, Amerika Serikat juga negatif, Jepang juga negatif," pungkas Sri Mulyani.
APBN Cetak Surplus Rp 153,5 Triliun hingga Juli 2023
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menjelaskan, realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) hingga Juli 2023 mencatatkan surplus sebesar Rp 153,5 triliun.
Artinya, pemerintah selama 7 bulan terakhir sukses menjaga realisasi pendapatan lebih besar dibanding pengeluaran atau belanja pemerintah sehingga APBN surplus.
"Posisi APBN secara keseluruhan masih dalam posisi surplus, besarnya surplus Rp 153,5 triliun atau kalau diukur dengan produk domestik bruto atau nilai ekonomi kita adalah 0,72 persen dari total produk domestik bruto national kita," kata Sri Mulyani dalam konferensi pers, Jumat (11/8/2023).
Sedangkan dari sisi keseimbangan primer juga mengalami surplus sebesar Rp 394,5 trliun.
Kinerja APBNMenkeu juga melaporkan, kinerja APBN sampai dengan akhir Juli masih tetap terjaga positif. Negara sukses mengantongi pendapatan mencapai Rp 1.614,8 triliun.
"Ini artinya kita sudah mengumpulkan 65,6 persen dari target APBN tahun ini, cukup baik sangat kuat sebetulnya dan ini pertumbuhan 4,1 persen dibandingkan penerimaan akhir Juli tahun lalu yaitu 2022," jelasnya.
Sementara dari sisi pengeluaran, belanja negara pada Juli 2033 telah mencapai Rp 1.461,2 triliun atau mengalami kenaikan 1,2 persen (yoy) dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Namun jumlahnya masih lebih kecil dibanding pendapatan negara.
"Belanja Negara di satu sisi sudah terlaksana Rp 1.461,2 triliun. Ini artinya 47,7 persen dari pagu anggaran 2022 sudah dibelanjakan dan ini tumbuh 1,2 persen dari belanja tahun lalu," pungkasnya.
Advertisement
Kemenkeu: APBN Jangan Dipakai Beli Barang Impor
Kementerian Keuangan menyerukan penggunaan produk dalam negeri, khususnya dalam pemanfaatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Staf Ahli Bidang Organisasi, birokrasi dan Teknologi Informasi Kementerian Keuangan, Sudarto mengatakan bahwa APBN yang salah satunya didapat dari pungutan pajak kepada perusahaan dan masyarakat sebaiknya tidak digunakan untuk produk dalam negeri.
"Realisasi APBN kita tahun 2023 pagunya untuk belanja negara adalah Rp 3.061 triliun. Penyerapan realisasi hingga saat ini adalah Rp 1.225 triliun. Itu semua dibiayain dari pajak," kata Sudarto dalam acara Road Temu Bisnis Tahap VI yang disiarkan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) pada Jumat (28/7/2023).
"Pajak itu kan dari kita semua, dipungut dari perusahaan kita, penghasilan kita, transaksi jual beli kita. Lho kok diberikan ke produk impor luar negeri, aneh kan?," ucapnya.
"Ya harusnya kita beli produk kita sendiri, yang diproduksi oleh rakyat kita sendiri. Menurut saya logikanya ga masuk akal, saya sendiri dipungut pajak dan tiba tiba oleh pejabat pejabat kita dibelikan produk luar negeri (padahal) harusnya dipakai untuk membeli barang dari tetangga kita yang sudah produksi barang," ujar Sudarto.