Liputan6.com, Jakarta - Hampir sepertiga dari apotek rumah sakit Amerika Serikat mengatakan terpaksa menjatah, menunda atau membatalkan perawatan akibat kekurangan obat yang saat ini terjadi di AS mendekati titik tertinggi sepanjang masa, demikian menurut sebuah survei yang dirilis pada Kamis (10/8).
Kekurangan ini khususnya sangat kritis untuk obat kemoterapi yang digunakan dalam rejimen pengobatan kanker, dengan lebih dari separuh dari 1.123 apotek yang disurvei mengatakan mereka harus membatasi penggunaan pengobatan tersebut.
Advertisement
Survei dilakukan antara 23 Juni dan 14 Juli oleh American Society of Health-System Pharmacists (ASHP), sebuah asosiasi yang mewakili lebih dari 60.000 apotek dan teknisi di bidang kesehatan.
Kondisi kekurangan obat tersebut mencakup terapi vital seperti steroid, perawatan kanker dan antibiotik, dikutip dari VOA Indonesia, Sabtu (12/8/2023).
Menurut survei, meskipun lonjakan permintaan menyebabkan kelangkaan jangka pendek seperti obat untuk diabetes, Ozempic, kekurangan yang paling parah dan terus-menerus didorong oleh faktor ekonomi termasuk persaingan harga yang ekstrem di antara pembuat obat generik.
"Menjual dengan harga termurah telah menyebabkan perlombaan ke arah bawah, yang pada dasarnya melemahkan investasi apa pun dalam kualitas dan manufaktur," kata Michael Ganio, direktur senior praktik dan kualitas farmasi di ASHP.
Jumlah obat-obatan AS yang mengalami kekurangan - 309 pada akhir kuartal kedua - sudah mendekati puncak dalam periode 10 tahun, menurut asosiasi, dibandingkan dengan jumlah tertinggi sepanjang masa yang mencapai 320 obat.
Krisis Narkoba Fentanyl di Amerika Serikat
Sementara itu, pada Januari 2023 Amerika Serikat menghadapi krisis narkoba jenis fentanyl. Berdasarkan data CDC, ada 150 orang meninggal setiap harinya akibat overdosis fentanyl.
Pejabat pemerintah AS pun meminta pemerintah Indonesia dan Badan Narkotika Nasional (BNN) untuk waspada. Pasalnya, korban kematian akibat fentanyl bukan hanya orang dewasa, anak-anak AS juga jadi korban tewas.
Fakta mengerikan itu diungkap oleh pejabat Biro Narkotika Internasional dan Penegakan Hukum AS, Lisa Johnson, yang sedang berkunjung ke Indonesia.
"Anak-anak mungkin mencobanya agar mereka begadang saat belajar, mereka mencoba satu, kemudian mereka meninggal. Anak-anak itu meninggal di meja mereka," ujar Lisa Johnson di Kedutaan Besar AS, Jakarta, Kamis (26/1/2023).
Johnson berkata anak-anak kemungkinan tidak tahu apa itu fentanyl dan mengiranya hanya sebagai obat biasa.
National Institute on Drug Abuse (NIDA) menyebut fentanyl adalah sejenis opioid analgesic sintesik yang mirip dengan morfin, tetapi bisa 100 kali lebih kuat. Biasanya, fentanyl digunakan untuk meredakan nyeri, tetapi disalahgunakan.
Advertisement
Masalah Fentanyl di Indonesia
Saat ini, Lisa Johnson berkata belum ada masalah narkoba jenis fentanyl di Indonesia, tetapi pemerintah dan BNN diminta hati-hati agar obat tersebut tidak masuk ke Indonesia.
"Kalian beruntung karena saya pikir fentanyl belum ada di Indonesia sekarang, tetapi hati-hati," ucap Lisa Johnson.
"Ini amat mematikan, amat berbahaya, 10 kali lebih mematikan dari heroin. Itu yang kami hadapi saat ini. Jadi penting bahwa pemerintah Indonesia juga memahami ancaman opioid sintetik dan terutama fentanyl dan memastikan agar bahan-bahan kimia itu tidak masuk negara ini," ujarnya.
Selain itu, Lisa Johnson mengaku sudah berbicara dengan orang-orang BNN ketika mengunjungi lokasi rehabilitasi.
"Saya sudah membahas tentang bahaya opioid sintetik dan fentanyl," ujarnya.