Liputan6.com, Jakarta - Ada kebingungan di masyarakat, mengenai memandikan jenazah, yaitu bolehkan suami yang meninggal jenazahnya dimandikan oleh sang istri.
Alhasil ini menjadi keraguan bagi kaum perempuan saat mendapati suaminya meninggal.
Karena umumnya ulama berpendapat jika jenazah laki-laki diurus dan dimandikan oleh laki-laki. Demikian pula jika jenazahnya perempuan, akan dibersihkan dan dimandikan oleh perempuan pula.
Memang, praktik mandi mayat atau jenazah umumnya dilakukan oleh orang yang memiliki keahlian khusus dalam tata cara pemulasaraan jenazah, seperti petugas dari rumah sakit atau orang yang berpengalaman dalam urusan pemakaman.
Lalu, bagaimana jika suami meninggal jenazahnya dibersihkan dan dimandikan oleh istrinya?
Baca Juga
Advertisement
Simak Video Pilihan Ini:
Paling Praktis Melibatkan Petugas yang Ahli Memandikan Jenazah
Dalam konteks Islam, yang merupakan agama mayoritas di Indonesia, pemandian dan pemulasaraan jenazah memiliki tata cara yang diatur berdasarkan ajaran agama. Pandangan mengenai apakah istri boleh memandikan jenazah suaminya bervariasi di antara berbagai mazhab (pendekatan hukum) dalam Islam.
Mayoritas mazhab, termasuk mazhab Sunni seperti Hanafi, Maliki, dan Hanbali, berpendapat bahwa pemandian dan pemulasaraan jenazah suaminya diperbolehkan oleh istri, asalkan ada keberanian dan kesediaan untuk melakukannya.
Namun, ada pandangan lain dalam mazhab Syafi'i yang lebih konservatif, yang mengatakan bahwa istri tidak boleh memandikan jenazah suaminya.
Namun, dalam situasi praktis, tata cara pemulasaraan jenazah sering kali melibatkan petugas pemakaman atau orang yang memiliki keahlian khusus dalam hal ini.
Jika istri ingin melakukan pemandian jenazah suaminya, beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan meliputi keyakinan dan kemampuan fisik serta mental istri, serta adat istiadat dan norma yang berlaku dalam keluarga atau masyarakat.
Advertisement
Ini Hadis tentang Suami yang Memandikan Jenazah Istrinya
Mengutip muslim.or.id, dari ibunda ‘Aisyah RA, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan,
مَا ضَرَّكِ لَوْ مِتِّ قَبْلِي، فَقُمْتُ عَلَيْكِ، فَغَسَّلْتُكِ، وَكَفَّنْتُكِ، وَصَلَّيْتُ عَلَيْكِ، وَدَفَنْتُكِ
“Tidak ada bahaya sekiranya kamu meninggal sebelumku. Aku akan mengurusimu, memandikan, mengafani, mensalatkan, dan menguburkanmu.” (HR. Ibnu Majah no. 14 dan Ahmad 43: 81. Dinilai hasan oleh Syekh Albani dan Syekh Syu’aib Al-Arnauth)
Hadis ini merupakan dalil bolehnya seorang suami memandikan jenazah istrinya. Pendapat ini merupakan pendapat jumhur (mayoritas) ulama, di antaranya adalah Imam Malik, Asy-Syafi’i, dan Ahmad (pendapat yang masyhur dari beliau). Sebagaimana mereka juga berdalil dengan qiyas bolehnya seorang istri memandikan jenazah sang suami.
Sedangkan sejumlah ulama yang lain berpendapat tidak boleh seorang suami memandikan jenazah istrinya, di antara adalah pendapat Abu Hanifah, Ats-Tsauri, dan satu riwayat dari Imam Ahmad.
Mereka berargumentasi bahwa kematian itu telah membatalkan pernikahan di antara keduanya, sehingga tidak boleh lagi melihat dan memegang jenazahnya. Sehingga konsekuensinya, seorang suami tidak boleh memandikan jenazah istrinya.
Riwayat Istri yang Memandikan Suaminya
Pendapat yang paling kuat dalam masalah ini adalah pendapat jumhur ulama, karena dalilnya yang kuat.
Adapun bolehnya seorang istri memandikan jenazah suami, hal ini sebagaimana diriwayatkan dari ibunda ‘Aisyah RA,
لَمَّا أَرَادُوا غَسْلَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالُوا: وَاللَّهِ مَا نَدْرِي أَنُجَرِّدُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ ثِيَابِهِ كَمَا نُجَرِّدُ مَوْتَانَا، أَمْ نَغْسِلُهُ وَعَلَيْهِ ثِيَابُهُ؟ فَلَمَّا اخْتَلَفُوا أَلْقَى اللَّهُ عَلَيْهِمُ النَّوْمَ حَتَّى مَا مِنْهُمْ رَجُلٌ إِلَّا وَذَقْنُهُ فِي صَدْرِهِ، ثُمَّ كَلَّمَهُمْ مُكَلِّمٌ مِنْ نَاحِيَةِ الْبَيْتِ لَا يَدْرُونَ مَنْ هُوَ: أَنْ اغْسِلُوا النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَلَيْهِ ثِيَابُهُ، فَقَامُوا إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَغَسَلُوهُ وَعَلَيْهِ قَمِيصُهُ، يَصُبُّونَ الْمَاءَ فَوْقَ الْقَمِيصِ وَيُدَلِّكُونَهُ بِالْقَمِيصِ دُونَ أَيْدِيهِمْ ، وَكَانَتْ عَائِشَةُ تَقُولُ: لَوْ اسْتَقْبَلْتُ مِنْ أَمْرِي مَا اسْتَدْبَرْتُ، مَا غَسَلَهُ إِلَّا نِسَاؤُهُ
Tatkala mereka hendak memandikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, mereka mengatakan, “Demi Allah, kami tidak tahu apakah kita akan menelanjangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dari pakaiannya sebagaimana kita menelanjangi orang-orang yang meninggal di antara kita atau kita memandikannya dalam keadaan beliau memakai pakaiannya?” Tatkala mereka berselisih, Allah menidurkan mereka hingga tidak ada seorang pun melainkan dagunya menempel pada dadanya. Kemudian mereka diajak bicara seseorang yang berbicara dari sisi rumah. Mereka tidak mengetahui siapakah dia. Orang tersebut berkata, “Mandikan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam keadaan memakai pakaiannya.”
Kemudian mereka bangkit menuju kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan memandikan beliau dalam keadaan beliau memakai jubahnya. Mereka menuangkan air dari atas jubah dan memijat-mijatnya dengan jubah bukan dengan tangan mereka. Aisyah berkata, “Seandainya nampak bagiku dahulu seperti apa yang nampak sekarang ini, maka tidak ada yang memandikan beliau, kecuali para istrinya.” (HR. Abu Dawud no. 3141, dinilai hasan oleh Syekh Al-Albani)
Al-Baihaqi rahimahullah berkata, “Aisyah berkeinginan untuk memandikan jenazah Nabi. Dan tidaklah beliau berkeinginan, kecuali atas sesuatu yang hukumnya boleh.” (As-Sunan Al-Kubra, 3: 398)
Juga terdapat riwayat yang sangat banyak yang menunjukkan bahwa istri Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu adalah yang memandikan jenazah Abu Bakr sesuai dengan wasiat beliau. (Lihat Al-Ghusl wal Kafn, hal. 40 karya Syekh Musthafa Al-‘Adawi)
Selain itu, terdapat riwayat yang menunjukkan bahwa Fathimah radhiyallahu ‘anha dimandikan jenazahnya oleh ‘Ali bin Abu Thalib radhiyallahu ‘anhu. (Lihat Al-Irwa’, 3: 162 karya Syekh Al-Albani)
Demikian pula Ibnul Munzir dan Ibnu Abdil Barr rahimahumallah mengutip adanya ijma’ bolehnya seorang istri memandikan jenazah suaminya. (Al-Ijma’, hal. 46 dan Al-Istidzkar, 8: 198). Wallahu A’lam.
Penulis: Nugroho Purbo
Advertisement