Liputan6.com, Jakarta - Selama lebih dari serempat abad, China identik dengan Pembangunan tanpa henti dan mobilitas. 1,4 miliar penduduk China semakin menyukai barang global yakni film Hollywood, barang elektronik Korea Selatan, dan bijih besi yang ditambang dari Australia.
Ekonomi global didorong oleh mesin pertumbuhan ekonomi yang tampaknya tidak ada habisnya. Saat ini, mesin itu tergagap-gagap menimbulkan risiko yang mengkhawatirkan bagi rumah tangga China dan ekonomi global. Demikian dikutip dari Yahoo Finance, ditulis Minggu (13/8/2023).
Advertisement
China lama menjadi inti globalisasi yang meningkatkan keuntungan, dan kini beralih ke kartu liar terakhir saat ketidakpastian luar biasa bagi ekonomi global.
Risiko ini telah diperkuat dalam beberapa minggu terakhir dengan sejumlah perkembangan. Ekonomi China melambat sehingga meredakan harapan ekspansi yang kuat setelah pencabutan COVID-19 yang ekstrem.
Pekan ini membawa data yang menunjukkan ekspor China telah menurun selama tiga bulan berturut-turut, sementara impor susut selama lima bulan berturut-turut, indikator lain dari prospek yang lesu.
Kemudian datang berita harga telah turun dari berbagai barang mulai dari makanan hingga apartemen meningkatkan momok China berada di ambang apa yang disebut deflasi atau penurunan harga yang berkelanjutan, pertanda aktivitas komersial yang lesu.
Sebagai tanda tekanan yang semakin mendalam di pasar properti China. Persimpangan antara keuangan, konstruksi dan kekayaan rumah tangga, pengembang real estate Country Garden melewatkan pembayaran obligasi dan perkirakan kerugian hingga USD 7,6 miliar pada semester I 2023.
Perlambatan China Berdampak terhadap Ekonomi Global
Bagi pekerja dan rumah tangga China, peristiwa ini menambah masalah. Di seluruh dunia, melemahnya ekonomi China menandakan menyusutnya permintaan barang-barang utama mulai dari kedelai dari Brasil hingga daging sapi Amerika Serikat, hingga barang mewah buatan Italia. Hal ini juga dapat pengaruhi permintaan untuk minyak, tambang mineral dan bahan bangunan industri lainnya.
“Perlambatan di China pasti akan membebani prospek ekonomi global. Karena China sekarang menjadi konsumen komoditas nomor pertama di dunia, dampaknya akan cukup besar,” ujar Ekonom Macquarie Larry Hu yang berbasis di Hong Kong, seperti dikutip dari Yahoo Finance, dari New York Times.
Kontribusi Ekonomi China
Selama dekade terakhir, China telah menjadi sumber lebih dari 40 persen pertumbuhan ekonomi global, dibandingkan Amerika Serikat sebesar 20 persen dan 9 persen dari 20 negara yang memakai euro, demikian analisis terbaru dari BCA Researh.
Yang menambah kekhawatiran adalah meluasnya pemahaman kalau otoritas China terbatas dalam pilihan mereka untuk kembali hidupkan ekonomi, mengingat utang yang menumpuk sekarang diperkirakan mencapai 282 persen dari output nasional, lebih banyak dari Amerika Serikat.
Advertisement
Program Pemerintah China
Pemerintah telah jabarkan program belanja yang bertujuan memacu konsumen untuk belanja dan bisnis untuk investasi. Namun, detilnya dinilai belum jelas. Sementara program itu meninggalkan kesan kalau pemerintah daerah akan terjebak dengan RUU tersebut.
Pemerintah daerah berada di pusat perhatian tentang krisis utang. Mereka telah meminjam secara agresif selama bertahun-tahun untuk membiayai Pembangunan jalan, jembatan dan kawasan industri.
Semua ini terjadi ketika Partai Komunis China yang berkuasa mencoba untuk beralih dari ekonomi yang didukung oleh investasi infrastruktur dan ekspor yang diarahkan pemerintah ke ekonomi yang dipimpin oleh pengeluaran konsumen domestic.
Model lama telah berjalan dengan sendirinya. Ini bekerja dengan sangat baik selama dua dekade, ketika pemerintah membiayai Pelabuhan, jaringan listrik dan pekerjaaan dasar lainnya untuk ekspansi pabrik yang didorong ekspor.
Pada saat yang sama, pengusaha swasta mulai hadirkan Perusahaan teknologi yang lebiih inovatif dan berharga di dunia. Dalam beberapa bulan terakhir, banyak yang terkendala oleh tindakan keras regulasi yang diawasi oleh Presiden China Xi Jinping.
Di dunia, dan terutama di Amerika Serikat, pertumbuhan ekspor China yang mengejutkan dikombinasikan dengan hilangnya pekerjaan pabrik dalam negeri telah memicu konflik perdagangan.
Presiden AS Joe Biden Sebut Ekonom China Rentan "Bom Waktu"
Pemerintahan Amerika Serikat saat dipimpin Presiden Donald Trump memberlakukan tarif menyeluruh pada impor China. Pemerintahan AS di bawah pimpinan Presiden Joe Biden melanjutkan kebijakan itu, menambahkan larangan investasi di sektor utama China seperti chip komputer canggih.
Presiden Joe Biden intensifkan kampanye itu dengan menandatangani perintah eksekutif pada Rabu pekan ini yang melarang investasi di industri yang dapat memperkuat militer China.
Ekonomi China “Bom Waktu”
Pada Kamis, 10 Agustus 2023, Presiden AS Joe Biden menuturkan, ekonomi China rentan sebagai bom waktu.
Xi sebelumnya tuding AS menjalankan kampanye yang bertujuan menekan Pembangunan China.
Dihadapkan dengan perseliihan antara Washington dan Beijing serta dihajar pandemi COVID-19 memindahkan produk dari pabrik China ke pengecer di Amerika Utara dan Eropa, Perusahaan multinasional telah alihkan pesanan pabrik ke Vietnam, India dan Meksiko.
Bagi pembuat kebijakan China, perubahan geografi perdagangan internasional telah menambah urgensi transisi menuju ekonomi yang berpusat pada daya beli domestic.
Namun, desain itu dihentikan oleh pandemi COVID-19. Pemerintah memberlakukan pembatasan pada bisnis dan kebebasan bergerak serta lockdown seluruh kota.
Pencabutan pembatasan COVID-19 pada Desember 2022, menyusul serangkaian protes publik yang luar biasa, diantisipasi secara luas sebagai katalis untuk belanja konsumen.
Namun, belanja konsumen lemah, sangat lemah sehingga Biro Statistik Nasional China baru-baru ini hentikan rilis data yang menarik perhatian pada masalah ekonomi.
Advertisement
Dibandingkan dengan Jepang
Di sisi lain, rumah tangga China menjadi salah satu penabung luar biasa di dunia. Ini seiring fakta, jaring pengaman sosial sangat sedikit. Selama semester I 2023, total simpanan rumah tangga dalam sistem perbankan China tumbuh 12 triliun yuan atau sekitar USD 1,7 triliun, ekspansi terbesar dalam satu dekade.
Namun, jumlah tabungan yang meningkat serta lemahnya investasi dan belanja konsumen tampaknya mencerminkan terpangkasnya kepercayaan publik secara umum.
Selama pandemi COVID-19, kebijakan berubah dari lockdown total menjadi tanpa kontrol, yang baru-baru ini disebut ekonom Adam Posen sebagai economic long covid-19.
Bagi konsumen China, beberapa semangat untuk menyimpan uang mencerminkan pengakuan luas kalau real estate adalah cerita yang penuh dengan akhir yang tidak menyenangkan. Investasi berlebihan oleh pengembang dalam dekade ini telah hasilkan seluruh kota dengan apartemen kosong.
Saat harga anjlok, pengembang hentikan proyek di tengah jalan, meninggalkan kerangka bangunan tingkat tinggi yang berfungsi sebagai monument.
Kondisi China telah memicu perbandingan dengan Jepang. Saat pecahnya gelembung real estate spekulatif pada awal 1990-an. Hal itu sebabkan penurunan selama tiga dekade. Inti dari penurunan Jepang adalah deflasi.
Upaya Meningkatkan Permintaan Domestik
Sebagian besar ekonom berpikir China akan hindari nasib itu. Harga yang jatuh mungkin akan segera berbalik. Pemerintah tampaknya telah berhasil memoderasi bisnis swasta.
Setelah menekan pengusaha swasta bertahun-tahun, pemerintah akhir-akhir ini isyaratkan poros pro pertumbuhan dan pola pikir pro bisnis. Demikian disampaikan Ekonom Greater China JLL, Bruce Pang.
"Prioritas kebijakan utama adalah bagaimana meningkatkan permintaan domestic,” ujar dia.
Dalam skenario yang paling optimistis, pemerintah akan merekayasa transisi bertahap menuju pertumbuhan yang lebih lambat. Namun, jika utang yang bebani ekonomi China Batasi potensi tanggapan pemerintah, hal itu dapat meningkatkan ketakutan terburuk, anjloknya harga rumah, diikuti penyelamatan mahal dari pemberi pinjaman dan eksodus uang yang sulit diatur.
Hasil itu paling membuat takut pejabat pemerintah mengingat dapat sebabkan pengangguran, kebangkrutan dan perselisihan sosial.
Hal itu mendasari asumsi pemerintah akan intensifkan upaya meransang ekonomi meski dapat perburuk ancaman mendasar terhadap ekonomi dan ciptakan utang baru.
Namun, bahkan jika pemerintah berhasil mengawasi perlambatan ekonomi bertahap, beberapa pihak melihat tantangan yang semakin meningkat yang mengancam akan memicu ketidakstabilan yang signifikan.
Pergeseran pekerjaan pabrik yang terus berlanjut dari China bersama dengan fokus untuk memusatkan ekonomi pada konsumsi domestik, kemungkinan besar akan menekan upah dan kekayaan rumah tangga.
Sementara itu, Ekonom MIT Sloan School of Management, Yasheng Huang menuturkan, ekspor dan impor China hasilkan 40 persen dari total output ekonominya.
“Banyak impor China adalah komponen untuk barang pabrik yang diekspor. Jadi semakin banyak ekspor China turun, semakin banyak pula impornya, sebuah lingkaran umpak balik dari kekayaan yang semakin berkurang. Itu menurunkan pekerjaan dan pendapatan, tidak mungkin itu cerita bahagia,” ujar Huang.
Advertisement