Liputan6.com, Jakarta - Lazimnya, pemakaman dilakukan satu liang satu jenazah. Namun, dalam beberapa kejadian, seperti perang, wabah, kecelakaan, korban yang meninggal lebih dari satu sering digabungkan menjadi satu liang saat pemakamannya.
Dalam situasi perang atau bencana besar, ketika jumlah korban sangat banyak dan waktu serta sumber daya terbatas, ada kasus dimana beberapa jenazah dimakamkan dalam satu lubang atau kuburan massal.
Hal ini sering kali merupakan langkah darurat untuk menangani jumlah jenazah yang besar dalam waktu yang singkat.
Praktik pemakaman massal semacam itu biasanya dilakukan dalam konteks darurat dan bukan merupakan bentuk pemakaman yang biasa dilakukan dalam kondisi normal.
Baca Juga
Advertisement
Bagaimana pandangan Islam soal ini?
Simak Video Pilihan Ini:
Dua Jenazah Perang Uhud Dimakamkan Bersama
Mengutip muslim.or.id, dari sahabat Jabir radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan,
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَجْمَعُ بَيْنَ الرَّجُلَيْنِ مِنْ قَتْلَى أُحُدٍ فِي ثَوْبٍ وَاحِدٍ، ثُمَّ يَقُولُ: أَيُّهُمْ أَكْثَرُ أَخْذًا لِلْقُرْآنِ ، فَإِذَا أُشِيرَ لَهُ إِلَى أَحَدِهِمَا قَدَّمَهُ فِي اللَّحْدِ، وَقَالَ: أَنَا شَهِيدٌ عَلَى هَؤُلاَءِ يَوْمَ القِيَامَةِ ، وَأَمَرَ بِدَفْنِهِمْ فِي دِمَائِهِمْ، وَلَمْ يُغَسَّلُوا، وَلَمْ يُصَلَّ عَلَيْهِمْ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah menggabungkan dalam satu kubur dua orang laki-laki yang gugur dalam perang Uhud dan dalam satu kain, lalu bersabda, ‘Siapakah di antara mereka yang lebih banyak mempunyai hafalan Al-Qur’an?’
Ketika beliau telah diberi tahu kepada salah satu di antara keduanya, beliau pun mendahulukannya di dalam lahat, lalu bersabda, ‘Aku akan menjadi saksi atas mereka pada hari kiamat.’ Maka, beliau memerintahkan agar menguburkan mereka dengan darah-darah mereka, tidak dimandikan dan juga tidak disholatkan.” (HR. Bukhari no. 1343)
Dalam hadis tersebut terkandung dalil bolehnya memakamkan dua orang di satu liang lahat ketika terdapat hajat (kebutuhan) untuk melakukannya. Misalnya, banyaknya jenazah yang perlu dimakamkan dan sedikitnya jumlah orang yang memakamkannya. Atau bisa jadi karena keterbatasan fisik orang yang memakamkan, misalnya karena sedang sakit, atau terluka (karena peperangan), atau semacamnya. Adapun jika tidak terdapat hajat, maka hukum asalnya adakah memakamkan setiap jenazah di satu liang lahat tersendiri. Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menyebutkan makruhnya memakamkan dua orang atau lebih di satu liang lahat. Pendapat ini juga merupakan salah satu riwayat dari pendapat Imam Ahmad rahimahullah. (Lihat Al-Ikhtiyarat, hal. 89)
Advertisement
Bolehkah Menggunakan Satu Kain Kafan untuk Dua Jenazah?
Pada saat perang Uhud, gugurlah 70 orang sahabat dalam satu hari, ini merupakan jumlah yang besar. Para sahabat pun mengadu kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan beliau memerintahkan untuk menggabungkan dua atau tiga jenazah dalam satu liang kubur, karena adanya kesulitan (kesusahan) tersebut.
Sehingga dalam kondisi darurat yang sangat menyusahkan jika setiap jenazah dimakamkan di satu liang kubur tersendiri, diperbolehkan memakamkan dua jenazah di satu liang kubur, misalnya karena adanya peperangan, wabah (epidemi), atau karena bencana alam yang menghilangkan nyawa banyak orang sekaligus dalam waktu singkat. Dalam kondisi tersebut, diperbolehkan membuat kuburan massal untuk menghilangkan kesulitan dan kesusahan tersebut. (Lihat Tashilul Ilmam, 3: 34)
Hadis ini adalah dalil bolehnya menggabungkan dua jenazah dalam satu kain kafan jika ada hajat (kebutuhan). Ini merupakan salah satu kemungkinan makna hadis tersebut di atas. Hal ini ditunjukkan oleh perkataan sahabat Jabir radhiyallahu ‘anhu,
فَكُفِّنَ أَبِي وَعَمِّي فِي نَمِرَةٍ وَاحِدَةٍ
“Maka, bapakku dan pamanku dikafankan dalam satu kain namirah (kain selimut bergaris terbuat dari wol).” (HR. Bukhari no. 1348)
Jika kain kafan yang tersedia sedikit, diperbolehkan menggunakan satu kain kafan untuk dua orang jenazah. Syekh Dr. Shalih Al-Fauzan hafizahullah berkata, “Dalam hadis tersebut terdapat dalil bolehnya menggabungkan dua jenazah di satu kain (kafan) yang sama, ketika memang terdapat kebutuhan untuk melakukannya.” (Tashilul Ilmam, 3: 34)
Adapun kemungkinan makna yang kedua adalah kain tersebut dipotong (dibagi) menjadi dua bagian, kemudian masing-masing bagian dipakai untuk mengkafani jenazah. Hal ini dinilai lebih bisa menutup aurat dan juga tidak menyebabkan saling menempelnya kulit dua jenazah.
Hadis tersebut merupakan dalil dianjurkannya mendahulukan jenazah yang memiliki keutamaan (keistimewaan) dibandingkan dengan jenazah yang lainnya ketika dimakamkan di satu liang lahat yang sama. Jenazah yang didahulukan ini diletakkan di arah kiblat. Dalam hadis di atas, penghafal Al-Qur’an itu lebih didahulukan atas jenazah yang lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa Al-Qur’an tersebut meninggikan derajat dan kedudukan seseorang ketika dia menghafal dan mempelajari Al-Qur’an dilandasi rasa ikhlas karena Allah Ta’ala. Akan tetapi, hal itu tidaklah berarti bahwa keutamaan tersebut juga berlaku di alam akhirat. Karena bisa jadi yang dinomorduakan tersebut lebih utama di sisi Allah Ta’ala dibandingkan dengan yang pertama. Urutan ini hanyalah berdasarkan kedudukan di dunia.
Syekh Dr. Shalih Al-Fauzan hafizahullah berkata, “Dalam hadis tersebut terdapat dalil untuk mengutamakan para penghafal Al-Qur’an dan mendahulukannya di sisi arah kiblat. Hal ini untuk menampakkan keutamaan dan kemuliaannya. Inilah di antara keutamaan para penghafal Al-Qur’an.” (Tashilul Ilmam, 3: 34). Wallahu A'lam.
Penulis: Nugroho Purbo