Kronologi Kerusuhan di Dago Elos Bandung dan Duduk Perkara Warga Terancam Penggusuran

Aksi unjuk rasa mengatasnamakan warga Dago Elos dan Aliansi yang diikuti ratusan orang berujung tindakan represif dari aparat keamanan.

oleh Dikdik RipaldiAhmad ApriyonoArie Nugraha diperbarui 15 Agu 2023, 07:58 WIB
Aksi unjuk rasa mengatasnamakan warga Dago Elos dan Aliansi yang diikuti ratusan orang berujung tindakan represif dari aparat keamanan. (Liputan6.com/ Dok @BandungBergerakID)

 

Liputan6.com, Bandung - Aksi unjuk rasa mengatasnamakan warga Dago Elos dan Aliansi yang diikuti ratusan orang berujung tindakan represif dari aparat keamanan. Awalnya Senin (14/8/2023) pukul 10.15 WIB, warga menggelar aksi unjuk rasa di Depan Polrestabes Bandung Jalan Merdeka Kota Bandung

Maksud dan tujuan demonstrasi tersbeur adalah dalam rangka pembuatan Laporan Polisi terkait Pemalsuan Ahli Waris dari Warga Dago Elos yang sedang bersengketa dengan Keluarga Muller dan PT Dago Inti Graha.

Menurut keterangan tertulis dari perwakilan warga Dago, mereka ingin memperjuangan antara lain, hak-hak asasi dan melawan segala bentuk perampasan terhadap ruang hidup, hak atas tempat tinggal dan sumber penghidupan, dan melawan penggusuran dan segala kebijakan yang menindas dan merugikan warga.

Warga pun berdatangan dengan menggunakan spanduk bertuliskan "Kita Belum Merdeka", "Dago Melawan", dan "Tanah untuk Rakyat". 

Namun hingga malam hari Satreskrim Polrestabes Bandung belum bisa membuatkan Laporan Polisi, lantaran pihak warga Dago dianggap belum memenuhi syarat laporan yang dibutuhkan atau belum cukup bukti.

Sekitar pukul 20.00 WIB aparat mulai melakan tindakan represif membubarkan para pendemo. Video-video tindakan represif aparat keamanan pun menyebar di media sosial.

"Situasi Dago Elos semakin memanas. Aparat dengan persenjataan lengkap memaksa warga untuk mundur," tulis akun BandungBergerakID.

 


Duduk Perkara

Sengketa tanah di Dago Elos menemukan babak baru usai putusan Peninjauan Kembali (PK) Mahkamah Agung (MA) yang terbit tahun ini ternyata menguntungkan keluarga Muller dan PT Dago Inti Graha. Mereka diprioritaskan memperoleh hak milik tanah, sedangkan warga Elos terancam digusur.

MA dalam putusan PK nomor 109/PK/Pdt/2022, dirujuk Liputan6.com melalui Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia, menyatakan para tergugat atau lebih dari 300 warga dianggap melakukan perbuatan melawan hukum.

Warga Elos diminta pergi dari kampung yang kini mereka tinggali. Jika menolak, maka sangat mungkin alat berat dan beserta aparat negara itu dikerahkan. Secara paksa, dan dan tak jarang secara brutal.

“Menghukum para tergugat (Tergugat I sampai dengan Tergugat CCCXXXV) atau siapa saja yang memperoleh hak dari padanya untuk mengosongkan dan membongkar bangunan yang berdiri di atasnya serta menyerahkan tanah objek sengketa tanpa syarat apapun kepada PT Dago Inti Graha selaku Penggugat IV, bilamana perlu melalui upaya paksa dengan menggunakan bantuan alat keamanan negara,” demikian penggalan putusan tersebut.

Warga Elos dipaksa meruntuhkan rumah dan menyerahkan tanah kepada PT Dago Inti Graha, tanpa syarat. Namun, warga enggan menyerah, kini mereka memilih menjaga kampung untuk melawan penggusuran, sambil mengintip celah hukum lain yang mungkin masih bisa ditempuh.

Antara Bandung - Mahkamah Agung

Sengketa di dekat apartemen mewah The Maj Dago, Kecamatan Coblong, Kota Bandung, itu bermula sekitar November 2016 lalu. Warga tiba-tiba digugat generasi ke empat keluarga Muller yang mengaku ahli waris lahan seluas 6,3 hektare melingkup permukiman Dago Elos-Cirapuhan.

Saat itu, warga digugat ke Pengadilan Negeri (PN) Bandung oleh empat pihak atas nama Heri Hermawan Muller, Dodi Rustendi Muller, Pipin Sandepi Muller, dan PT Dago Inti Graha.

Mereka mengklaim memiliki Eigendom Verponding, bukti kepemilikan lahan di era Hindia Belanda, diwariskan kakek mereka, George Henrik Muller. Haknya lalu dioper kepada PT Dago Inti Graha, 1 Agustus 2016, lewat direktur utama Orie August Chandra.

Tanggal 24 Agustus 2017, majelis hakim PN Bandung, memenangkan gugatan keluarga Muller. Sejumlah bukti dari warga dimentahkan, dianggap tak cukup kuat untuk jadi alas hak.

“Para Penggugat telah berhasil membuktikan riwayat asal usul kepemilikan tanah objek gugatan a quo menurut hukum pertanahan, Para Penggugat berhak untuk mengajukan permohonan hak kepada Kantor Pertanahan Nasional,” dikutip dari salinan putusan Nomor 454/PDT.G/2016/PN.Bdg.

Bersama Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung, warga naik banding ke Pengadilan Tinggi Bandung. Majelis hakim saat itu, terdiri dari hakim ketua Arwan Byrin, hakim anggota Achmad Sobari dan Ridwan Ramli, pun merilis putusannya pada 5 Februari 2018. Hasilnya, warga tetap kalah.

Selepas itu, warga mengajukan Kasasi ke MA. Warga memohon agar pengadilan bisa membatalkan dua putusan awal dari PN Bandung dan Pengadilan Tinggi Bandung.

29 Oktober 2019, jadi titik sejarah bagi warga Elos. Majelis hakim MA saat itu, terdiri dari hakim ketua Yakup Ginting, serta hakim anggota Ibrahim dan Yunus Wahab mengabulkan permohonan warga. Dua putusan sebelumnya digugurkan. Warga Elos bernapas lega dan merasakan kemenangan, meski untuk sesaat.


Klaim Bapuk

Menurut klaim pihak keluarga Muller, tanah sengketa itu dulunya milik sebuah pabrik semen tempo dulu, PT Tegel Semen Handeel “Simoengan”.  Singkat cerita, kepemilikannya diserahkan pada Goerge Hendrikus Wilhelmus Muller.

Selanjutnya, diwariskan lagi kepada George Hendrik Muller. Bukti kepemilikan tanah itu, katanya, diterbitkan oleh Kerajaan Belanda pada 1930-an silam.

Barulah pada 23 Januari 2014, waris itu menitis ke Heri Hermawan Muller, Dodi Rustendi Muller, Pipin Sandepi Muller, melalui Pengadilan Agama Kelas I Cimahi. Perkembangan berikutnya, mereka mengklaim telah mengoper hak milik kepada Direktur Utama PT Dago Inti Graha, Orie August Chandra, 1 Agustus 2016.

Klaim tanah itu didasarkan pada Eigendom Verponding, bukti kepemilikan tanah yang berlaku pada era Hindia Belanda. Namun, aturan pertanahan peninggalan kolonial itu sudah lapuk atau kadaluwarsa. Di antaranya, ditandai terbitnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA).

Tanah bekas Eigendom yang tidak dikonversi ulang otomatis dinasionalisasi menjadi tanah yang dikuasai negara. Dalam hal ini, termasuk tanah sengketa di Dago Elos-Cirapuhan.


Tanah Dago Elos Milik Warga

Dalam putusan Kasasi pada 2019, majelis hakim menilai, klaim Eigendom Verponding keluarga Muller tidak berkekuatan hukum karena sudah berakhir dan tidak dikonversikan paling lambat 24 September 1980.

Majelis hakim mendasarkan putusannya sesuai Kepres Nomor 32 Tahun 1979 tentang Pokok-Pokok Kebijaksanaan dalam Rangka Pemberian Hak Baru Atas Tanah Asal Konversi Hak-Hak Barat, serta Permendagri Nomor 3 Tahun 1979 tentang Ketentuan-Ketentuan Mengenai Permohonan Dan Pemberian Hak Baru Atas Tanah Asal Konversi Hak-Hak Barat.

Dengan demikian, tanah Elos dinyatakan tanah yang dikuasai negara. Keluarga Muller atau PT Dago Inti Graha dinilai tidak berhak mengklaim, selain alas hak Eigendom Verponding kadaluwarsa, mereka pun tidak menempati atau menguasainya secara langsung.

Sebaliknya, yang lebih berhak atas tanah Elos adalah warga, sebab terbukti menguasai atau menempati tanah sejak lama.

“Telah terbukti Para Tergugat sudah menguasai objek sengketa dalam kurun lama, terus menerus dan sebagian sudah diberikan sertifikat hak milik, penguasaan mana patut dan adil untuk diberikan hak milik atau diberikan hak prioritas untuk memohon hak atas tanah,” dikutip dari salinan putusan Mahkamah Agung.

Disampaikan LBH Bandung dalam pernyataan tertulis, pasca putusan Kasasi, terhitung sejak 21 Januari 2021, warga mengajukan permohonan sertifikasi pendaftaran tanah kepada Kantor Agraria dan Pertanahan (ATR/BPN) Kota Bandung, tapi tak kunjung ditanggapi.

Hingga akhirnya, putusan PK pun kadung terbit, menjungkirbalikkan kemenangan singkat yang sebelumnya sempat diraih warga.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya