Keluhan Pengusaha Lokal akan Serbuan Produk China: Barang Ditiru dengan Harga Lebih Murah 30%

Harga yang dijual antara produk lokal dan produk impor China gap harganya sekitar 20 persen sampai 30 persen. Tentu saja hal ini menyulitkan pengusaha lokal untuk bersaing padahal produk China hanya mencontek produk lokal.

oleh Liputan6.com diperbarui 15 Agu 2023, 10:02 WIB
Launching Koleksi Terbaru JINISO di Super Brand Day dan Dapatkan Diskon Besar. foto: istimewa

Liputan6.com, Jakarta - Pengusaha lokal menyebutkan bahwa masih banyak produk-produk China yang meniru produk buatan Indonesia yang tersebar di sejumlah e-commerce. Harga produk China tersebut jauh lebih murah tetapi kualitasnya jauh di bawah produk asli dalam negeri.

Co Founder Jiniso Dian Fiona mengatakan, banyak produk China yang menyerupai produk-produk lokal brand Indonesia yang dijual di platform TikTok dengan harga dibawah Harga Pokok Penjualan (HPP). Jiniso merupakan brand fashion asli Indonesia yang memproduksi jeans.

"Orang yang nggak punya produksi dia akan impor dari China, karena segampang itu tiru produk dari sini, bisa aja, lokal brand yang bagus dan laris sejak pandemi, mereka kirim sampelnya ke China terus bawa ke Indonesia dengan harga jualnya itu di luar nalar," ujar Dian kepada media, Jakarta, seperti ditulis Selasa (15/8/2023).

Harga yang dijual antara produk lokal dan produk impor China gap harganya sekitar 20 persen sampai 30 persen.

"Gap harga bisa 20-30 persen di mana itu udah beban pajak, belum lagi kita belum sempurna yang pajak masukan banyak banget suplier yang kita ambil itu belum PKP (Pengusaha Kena Pajak) karena kita ambil bahan baku dari UMKM (Usaha Mikro Kecil Menengah) juga, otomatis kita yang menanggung pajaknya," katanya.

Kualitas produk UMKM di Indonesia, lanjut Dian, sudah paling bagus. Dirinya menjamin bahwa perbandingan antara produk lokal dan impor, produk lokal lah yang memiliki kualitas paling bagus.

Namun, Dian menilai masih banyak masyarakat yang lebih memilih harga lebih murah, karena mereka melihat foto atau video yang dijual oleh penjual produk impor tersebut.

"Dia (penjual produk impor) bisa aja ambil foto dari kita, atau bisa aja foto yang bagus dengan editan, tapi harganya jomplang otomatis masyarakat awam yang baru belanja kan pilih harga yang murah," pungkas CoFounder Jiniso itu.

Alih-alih pandemi berakhir, ia menyatakan bahwa produk lokal sulit bersaing dengan produk impor. Bahkan ia menduga bahwa ada pihak yang mengirimkan produk lokal ke China untuk diproduksi kembali supaya menyerupai lokal brand.

"Setelah pandemi, pas pandemi itu semua udah cinta lokal banget, tiba-tiba endemi ini masuk yang murah-murah jadinya buyar. Cina itu udah mulai canggih, misalkan dia beli produk dari Jiniso, terus dia kirim ke Cina supaya dari sana dia bisa buat sedemikian rupa sejenis mereka," tambahnya.

Reporter: Siti Ayu Rachma

Sumber: Merdeka.com


Ciduk Barang Dijual Terlalu Murah, Menteri Teten Bakal Panggil TikTok Lagi

Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Mikro (UKM), Teten Masduki mengakui masih ada produk impor yang dijual di bawah Harga Pokok Penjual (HPP) produk lokal atau predaroty pricing di platform TikTok.

Sebelumnya, Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Mikro (UKM), Teten Masduki mengakui masih ada produk impor yang dijual di bawah Harga Pokok Penjual (HPP) produk lokal atau predaroty pricing di platform TikTok.

Teten Masduki menyebut, misalnya, produk parfum dijual seharga Rp 100, celana pendek Rp 2.000. Ia menilai harga tersebut tak sesuai dengan HPP di dalam negeri.

"Coba lihat TikTok kan janji untuk tidak melakukan predatory pricing, tapi saya lihat tadi di online, parfum Rp 100, celana pendek Rp 2.000, itu HPP-nya aja ongkos produksinya diadakan negeri sudah pasti di atas Rp 15.000," ucap Teten kepada Media, Jakarta, Senin (14/8).

Ia menduga produk-produk impor yang di jual di bawah HPP merupakan produk yang masuk melalui crossborder atau bisnis lintas batas. Ia melihat ada kekeliruan dari bea masuk. Oleh karena itu pihaknya akan kembali memanggil TikTok.

"Nanti saya akan panggil lagi. Gini jadi misalnya masih ada harga masuk begitu murah dan ternyata kita juga itu bukan retail online dari sana. Pas begitu impor bisa masuk dulu barangnya ke dalam negeri baru jualan disini. Berarti saya melihat ini ada yang keliru dari Bea masuknya," terang dia.

Harga Tak Masuk Akal

Menurut Teten penjualan di e-commerse yang harganya tidak masuk akal dikarenakan dua hal, yakni adanya tarif neas masuk yang terlalu rendaj kebijakan pemasok Idonesia tarif bea masuk masih rendah, sehingga produk-produk dari luar bisa diluar bisa dijual kebih murah. Kemudian tidak ada batas minimum barang yang boleh masuk.

"Produk UMKM kita itu nggak bisa bersaing untuk level HPP aja nggak sanggup," pungkasnya.

Diberitakan sebelumnya, Tik Tok Indonesia membantah menjalankan bisnis lintas batas melalui Project S di tanah air dan akan mengusur produk Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM).

"Tidak benar bahwa kami akan meluncurkan inisiatif batas di Indonesia. Kami tidak ada niatan untuk menciptakan produk e-commerce sendiri atau menjadi wholesaler yang akan berkompetisi dengan penjual Indonesia," unar Head of Communications of Tik Tok Indonesia, Anggina Setiawan, beberapa waktu lalu.


Pedagang Lokal Masih Bisa Jualan Barang Impor Meski Permendag 50/2020 Direvisi

Ilustrasi e-commerce/Shutterstock-ESB Professional.

Pemerintah tengah mempercepat implementasi revisi  Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 50 Tahun 2020 tentang Ketentuan Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan dan Pengawasan Pelaku Usaha Dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik.

Upaya ini dilakukan sebagai bentuk perlindungan UMKM terhadap serangan barang-barang impor yang dijual di marketplace atau e-commerce.

Meski aturan tersebut direvisi, Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM) Teten Masduki menjamin pedagang lokal masih bisa menjual barang impor.

"Tidak masalah (pedagang lokal jual barang impor) karena barangnya sudah masuk dalam mekanisme impor biasa," kata Teten ditulis Kamis (10/8/2023).

Platform Berbeda

Teten menegaskan, dalam pelaksanaannya, pedagang lokal yang ingin jualan barang impor harus memiliki pplatform yang berbeda.

"Mesti dipisah sosial media dengan e-commerce, nggak boleh disatu tempatkan. ketiga, nggak boleh platform menjual White label mereka sendiri atau perusahaan afiliasi, karena persaingan tidak sehat," tegas Teten.


Revisi Permendag 50/2020: Platform Digital Tak Boleh Jadi Produsen

Menteri Perdagangan, Zulkifli Hasan dalam acara Indonesia Food Agri Insight On Location di Jakarta, Selasa (1/8/2023). (Foto: Biro Humas Kemendag)

Menteri Perdagangan (Mendag) Zulkifli Hasan berjanji revisi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 50 Tahun 2020 tentang Ketentuan Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik selesai awal Agustus ini.

Zulkifli Hasan menjelaskan, Kementerian Perdagangan sudah mengambil langkah awal soal itu. Sehingga, hanya tinggal diharmonisasikan saja dengan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham).

“Justru kita dari awal ambil inisiatif tapi kan pembahasannya antar kementerian, itu lama kalau kita sudah dari awal, Tapi ini sudah selesai, tinggal diharmonisasi Kemenkumham,” kata Zulkifli Hasan di Kantor Kemendag, pada Selasa (1/8/2023).

Menurutnya, harmonisasi ini perlu karena perdagangan online ini tidak hanya melibatkan satu instansi tetapi banyak lembaga. Contohnya soal lisensi dengan Kementerian Koperasi dan UKM dan pajak dengan Kementerian Keuangan (Kemenkeu).

Ia juga mengatakan dalam revisi ini platform digital tidak boleh jadi produsen.“ Yang kedua kita minta, itu kan platform digital. Dia tidak boleh berlaku sebagai produsen, TikTok Jualan baju merek TikTok”, jelasnya.

Infografis Larangan Aplikasi TikTok di 10 Negara Plus Uni Eropa. (Liputan6.com/Trieyasni)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya