Makna Tumpeng, Wujud Rasa Syukur kepada Sang Pencipta

Dalam tradisi Jawa, tumpeng digunakan dalam ragam acara, salah satunya syukuran yang mengundang beberapa orang tetangga dan kerabat dan kemudian dimakan bersama.

oleh Putu Elmira diperbarui 15 Agu 2023, 14:00 WIB
Ilustrasi tumpeng, cara bikin. (Image by Mufid Majnun from Pixabay)

Liputan6.com, Jakarta - Kehadiran tumpeng biasa disertakan dalam sebuat perayaan tertentu. Tumpeng bermakna menunjukkan rasa syukur kepada Sang Pencipta.

Dikutip dari laman Kemdikbud, Selasa (15/8/2023), dalam tradisi Jawa, tumpeng digunakan dalam ragam acara, salah satunya syukuran yang mengundang beberapa orang tetangga dan kerabat dan kemudian dimakan bersama. Tumpeng adalah cara penyajian nasi beserta lauk-pauknya dalam bentuk kerucut.

Karena itu pula, sajian ini disebut nasi tumpeng. Olahan nasi yang dipakai umumnya berupa nasi kuning, meski kerap juga digunakan nasi putih biasa atau nasi uduk.

Tumpeng adalah warisan tradisi nenek moyang yang sangat tinggi nilai dan maknanya karena simbolisasi yang bersifat sakral. Sajian olahan nasi ini sangat identik dengan budaya tradisi selamatan khas suku bangsa di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa (Jawa, Sunda, dan Madura) dan Bali.

Sebagian tumpeng berbentuk kerucut yang mengandung makna 'mengarah kepada Tuhan Yang Maha Esa sebagai pusat dari ungkapan syukur. Maka, tumpeng yang digunakan untuk acara tasyakuran, cenderung berbentuk kerucut menyerupai kemuncak gunung yang menyimbolkan keselamatan, kesuburan dan kesejahteraan.

Tumpeng yang menyerupai gunung menggambarkan kemakmuran sejati. Air yang mengalir dari gunung akan menghidupi tumbuh-tumbuhan.

Tumbuhan yang dibentuk ribyong disebut semi atau semen, yang berarti hidup dan tumbuh berkembang. Semua unsur tersebut adalah wujud perwakilan semua hal yang dimiliki manusia untuk dipersembahkan kepada Sang Pencipta.

 

Nasi Tumpeng

Resep nasi tumpeng mini untuk meriahkan perayaan HUT ke-78 RI. (dok. Cookpad @yenizha90)

Dikutip dari laman Warisan Budaya Takbenda Kemdikbud, masyarakat Tengger di Provinsi Jawa Timur, dalam aktivitas kehidupannya masih syarat akan berbagai upacara adat, salah satunya adalah upacara karo, yaitu hari raya orang Tengger. Dalam upacara ini setiap rumah diwajibkan mengirimkan makanan nasi tumpeng bandungan untuk dikirim ke Balai Desa atau rumah petinggi (ketua adat) untuk didoakan atau dimantrai oleh seorang dukun dan selanjutnya dimakan bersama warga yang hadir.

Telah menjadi tradisi bagi masyarakat Tengger dalam upacara karo dibuatkan beberapa nasi tumpeng untuk diperangkan desa. Bila nasi tumpeng telah dimantrai oleh istri dukun, dan upacara memandikan jimat Klonthongan selesai, maka nasi tumpeng itu diberikan kepada perangkat desa yang bersangkutan.

Disebut nasi tumpeng bandungan, karena dulu nasi tumpeng dibuat oleh istri seorang dukun, dalam membuat nasi tumpeng tersebut dibantu oleh beberapa orang yang disebut bature atau bandung. Nasi Tumpeng merupakan makanan khusus untuk pesta atau kenduri bagi masyarakat Tengger.

 

Bahan-Bahan dan Pembuatannya

Ilustrasi bahan membuat tumpeng. (Photo Copyright by Freepik)

Bahan-bahan yang digunakan untuk membuat nasi tumpeng adalah beras dan daun pisang. Pada umumnya, bahan tersebut dapat diperoleh dengan cara membeli di warung atau di pasar.

Proses pembuatan nasi tumpeng tidak jauh berbeda dengan cara menanak nasi pada umumnya. Beras dicuci dengan air lalu ditiriskan. Siapkan sebuah panci alumunium yang diberi air secukupnya dan direbus sampai mendidih.

Setelah itu, beras tadi dimasukkan hingga beras dalam keadaan setengah matang. Kemudian dikukus dengan kukusan hingga matang. Kemudian nasi tersebut diangkat kemudian dicetak seperti golong (setengah bola) dan dibungkus dengan daun pisang yang telah dilayukan dengan air panas.

Cara menghidangkan adalah nasi yang sudah dibungkus dengan daun pisang tersebut diletakan diatas tampah atau penampan dan dirangkai dengan kue seperti jadah, wajik, pasung (apem), nogosari, madumongso, ayam panggang, satu sisir pisang ambon, dan perlengkapan nyirih yang masing-masing dibungkus daun pisang, seperti jambe, enjet, gambir, dan daun sirih.

 


Tumpeng Sewu

Pecel Titik Jadi Menu Santap Khas Kemiren di Tradisi Tumpeng Sewu/Istimewa.

Selain itu disertakan pula dengan dua buah takir (wadah dari anyaman janur kuning) yang masing-masing diisi telur ayam matang, nasi jagung (arum), sate kelapa, sambal goreng kentang ata sambal goreng tempe. Masing-masing makanan yang dirangkai tersebut memiliki makna, seperti jantung ayam diharapkan sebagai sarana menghantarkan roh leluhur ke surga.

Pisang melambangkan kerukunan hidup antar-warga. Beberapa kue melambangkan kemandirian, sedangkan perlengkapan menyirih seperti jambe melambangkan Dewa Brahma, enjet melambangkan Dewa Iswara, Gambir melambangkan Dewa Siwa, dan sirih melambangkan Dewa Wisnu.

Di Jawa Timur juga ada Tumpeng Sewu, upacara adat selamatan yang pada dasarnya adalah selamatan yang dilakukan oleh warga Desa Kemiren yang diselenggarakan setahun sekali pada Kamis atau Minggu di minggu pertama bulan Besar.

Upacara itu sebagai bentuk ucap syukur kepada penjaga desa yang telah menjaga Desa Kemiren dari segala mara bahaya dan lebih tinggi lagi sebagai ucap syukur kepada Yang Maha Kuasa. Upacara ini berlangsung selama sehari meliputi tahap persiapan (memasak, menyiapkan barong), mepe atau menjemur kasur, ziarah makam Buyut Cili (ngaturi Buyut Cili), arak-arakan Barong, selamatan tumpeng pecel pitik, dan mocoan lontar.

Elemen upacara meliputi sesaji di makam, sesaji barong, tumpeng pecel pithik. Arena yang digunakan adalah rumah, makam Buyut Cili, sepanjang jalan utama Kemiren. Serangkaian ritual Tumpeng Sewu saat ini sudah banyak mendapat sentuhan pariwisata.

 
Infografis Tradisi Makan Bersama dari Berbagai Daerah di Indonesia. (Liputan6.com/Triyasni)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya