Kisah Fatmawati, Sosok Aktivis Aisyiyah Penjahit Bendera Pusaka

Proklamasi kemerdekaan dan pengibaran bendera merah putih berkaitan dengan banyak tokoh. Salah satunya adalah Fatmawati, istri Soekarno

oleh Liputan6.com diperbarui 16 Agu 2023, 08:30 WIB
Hasil jepretan Khouw Goan Seng atau Ganda Sularko yang menunjukkan Fatmawati di dalam mobil. Foto ini juga ditandatangani oleh Fatmawati khusus untuk Khouw Goan Seng. (Foto: Dok. Pribadi Khouw Goan Seng).

Liputan6.com, Jakarta - Proklamasi kemerdekaan dan pengibaran bendera merah putih berkaitan dengan banyak tokoh. Salah satunya adalah Fatmawati, istri Soekarno.

Fatmawati dikenal sebagai sosok yang santun namun teguh pendirian. Pendidikan dan aktivitasnya semasa muda di Aisyiyah, sebuah organisasi perempuan dalam naungan Muhammadiyah memembuatnya berpandangan luas.

Tokoh tak lahir begitu saja. Begitu pula dengan Fatmawati.

Riwayat panjang didikan keluarga, sekolah dan organisasi Aisyiyah membuat Fatmawati menjadi wanita berkarakter.

Fatmawati adalah putri dari pasangan Hasan Din dan Siti Chadijah. Keduanya merupakan tokoh Muhammadiyah dan Aisyiyah di Bengkulu.

Fatmawati lahir di kampong Pasar Malabero Bengkulu pada 5 Februari 1923. Dia dibesarkan dalam lingkungan yang taat beragama. Hasan Din adalah seorang Konsul Muhammadiyah Bengkulu.

Dia juga seorang pegawai perusahaan milik Belanda di Bengkulu (Borneo Sumatera Maatschappij). Perusahaan ini merupakan salah satu perusahaan terbesar milik Belanda di Indonesia saat itu. Sedangkan Ibu Siti Chadijah adalah aktivis ‘Aisyiyah Cabang Bengkulu.

Sejak kecil, Fatmawati telah belajar agama Islam antara lain membaca dan menulis Al-Qur'an pada sore hari kepada datuknya dan kepada seorang guru agama Islam. Sejak kecil sudah kelihatan bakat seninya terutama seni membaca Al-Qur'an dan sangat supel dalam bergaul.

Kepintarannya membaca Al-Qur'an pernah ditunjukkan pada pembukaan Kongres Muhammadiyah di Palembang tahun 1936. Di bidang lainnya, Fatmawati tertarik pada filsafat Islam dan gender dalam Islam. Terlebih setelah Fatmawati menjadi aktivis Aisyiyah, sebuah organisasi dalam naungan Muhammadiyah.

 

Simak Video Pilihan Ini:


Pertemuan dengan Soekarno dan Menjahit Bendera Merah Putih

Ibu Fatmawati Penjahit Bendera Merah Putih

Dalam pembuangan di Bengkulu, Soekarno bertemu Fatmawati. Pada 1 Juni 1943, Sukarno dan Fatmawati menikah. Sukarno berusia 42 tahun dan Fatma 20 tahun. Setelah Indonesia merdeka, Fatma menjadi ibu negara pertama dan juga yang menjahit bendera pusaka merah putih.

Dari Fatmawati, Sukarno dikaruniai lima orang buah hati, yakni Guntur Soekarnoputra, Megawati Soekarnoputri, Rachmawati Soekarnoputri, Sukmawati Soekarnoputri, dan Guruh Soekarnoputra

Dikutip dari laman resmi Kebudayaan Kemdikbud via kanal Lifestyle Liputan6.com, Fatmawati menjahit Bendera Merah Putih setelah dirinya dan keluarga kembali ke Jakarta dari pengasingan di Bengkulu.

Atas permintaan Sukarno kepada Shimizu, kepala barisan propaganda Jepang (Sendenbu), Chaerul Basri diperintahkan mengambil kain dari gudang di Jalan Pintu Air untuk diantarkan ke Jalan Pegangsaan Nomor 56 Jakarta.

Fakta Bendera Merah Putih

Kelahiran Sang Saka Merah Putih dilatarbelakangi izin kemerdekaan dari Jepang pada 7 September 1944.Kala itu, Jepang berjanji memberi kemerdekaan pada para pejuang untuk memproklamasikan kemerdekaan.

Dalam sidang yang dilakukan pada 12 September 1944, dibahas soal pengaturan pemakaian bendera dan lagu kebangsaan yang sama di seluruh Indonesia.

Hasil dari sidang ini adalah pembentukan panitia bendera kebangsaan merah putih dan panitia lagu kebangsaan Indonesia Raya. Bendera berbahan katun halus (setara dengan jenis primissima untuk batik tulis halus), berwarna merah putih, dengan panjang 300cm dan lebar 200cm.

Pada 13 November 2014 bendera diukur ulang dengan ukuran panjangnya adalah 276 cm dan lebarnya 199 cm. Bendera dikibarkan pada Proklamasi Kemerdekaan Bangsa Indonesia pada 17 Agustus 1945 di Jalan Pegangsaan Timur 56 (kini Jalan Proklamasi), Jakarta oleh Latief Hendraningrat dan Suhud.

Panitia bendera kebangsaan merah putih menggunakan warna merah dan warna putih sebagai simbol. Merah berarti berani dan putih berarti suci.


Warna hingga Dipisah Jadi Dua

Bendera pusaka adalah bendera yang dikibarkan saat proklamasi kemerdekaan Indonesia

Kedua warna ini hingga kini menjadi jati diri bangsa. Ukuran bendera ditetapkan sama dengan ukuran bendera Nippon, yakni perbandingan antara panjang dan lebar tiga banding dua.

Bendera Merah Putih bermakna berani dan suci, kombinasi warna merah dan putih telah digunakan dalam sejarah kebudayaan dan tradisi di Indonesia pada masa lalu. Kombinasi merah dan putih digunakan pada desain sembilan garis merah putih bendera Majapahit.

Pada 4 Januari 1946, Presiden, Wakil Presiden, dan para Menteri pindah ke Yogyakarta karena keamanan para pemimpin Republik Indonesia tidak terjamin di Jakarta. Bersamaan dengan perpindahan itu, Bendera Pusaka turut dibawa dan dikibarkan di Gedung Agung.

Ketika Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda pada 19 Desember 1948, bendera pusaka sempat diselamatkan oleh Presiden Sukarno dan dipercayakan kepada ajudan Presiden yang bernama Husein Mutahar untuk menyelamatkan bendera itu.

Husein Mutahar mengungsi dengan membawa bendera dan untuk alasan keamanan dari penyitaan Belanda, ia melepaskan benang jahitan bendera sehingga bagian merah dan putihnya terpisah, dan membawanya dalam dua tas terpisah.

Pada pertengahan Juni 1949, Presiden Sukarno saat berada dalam pengasingan di Bangka, meminta kembali Bendera Merah Putih kepada Husein Mutahar. Ia kemudian menjahit dan menyatukan kembali bendera pusaka dengan mengikuti lubang jahitannya satu persatu.


Jadi Bendera Pusaka dan Disimpan

Presiden Joko Widodo menyerahkan duplikat bendera pusaka kepada Paskibraka Salma El Mutafaqqiha dalam Upacara Peringatan Detik-Detik Proklamasi Kemerdekaan Indonesia ke-74 Tahun 2019 di Istana Merdeka, Jakarta, Sabtu (17/8/2019). (Liputan6.com/HO/Kentung)

Pada 28 Desember 1949, sehari setelah penandatanganan pengakuan kedaulatan Republik Indonesia oleh Belanda di Den Haag, bendera pusaka disimpan di dalam sebuah peti berukir dan diterbangkan dari Yogyakarta ke Jakarta dengan pesawat Garuda Indonesia Airways.

Sejak 1958, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 40 tentang Bendera Kebangsaan Republik Indonesia, bendera tersebut ditetapkan sebagai Bendera Pusaka dan selalu dikibarkan setiap tahun pada 17 Agustus untuk memperingati hari kemerdekaan di depan Istana Merdeka.

Pada 1967, setelah Presiden Sukarno digantikan oleh Presiden Soeharto, bendera pusaka masih dikibarkan. Namun kondisi bendera sudah sangat rapuh. Bendera pusaka terakhir dikibarkan di depan Istana Merdeka pada 17 Agustus 1968. Sejak saat itu, bendera pusaka tidak lagi dikibarkan dan digantikan dengan duplikatnya.

Kondisi warnanya sudah pudar karena usia dan kualitas kain bendera rapuh. Bendera Pusaka disimpan dalam vitrin yang terbuat dari flexi glass berbentuk trapesium di Ruang Bendera Pusaka, Istana Merdeka.

Bendera diletakkan dalam posisi tergulung dengan bagian atas bendera dilapisi dengan kertas bebas asam. Suhu ruangan 22,7 derajat Celcius dengan kelembapan ruang penyimpanan 62 persen. Bendera digulung dengan pipa plastik dilapisi kain putih yang pada bagian luarnya dilapisi semacam kertas singkong (abklatsch) berkualitas tinggi dan diikat dengan pita merah putih.

Tim Rembulan

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya