Liputan6.com, Jakarta - Belakangan ini, artificial intelligence (AI) berhasil memikat publik karena bisa membuat "karya" mereka sendiri, baik itu tulisan, musik, gambar hingga patung. Yang perlu dipahami adalah sistem AI tersebut perlu mengambil data-data dari karya yang sudah ada untuk "melatih" AI membuat karya baru.
Hal itu telah menuai kontroversi di berbagai sektor, terutama industri kreatif. Terkini, media AS New York Times melarang perusahaan AI untuk mempelajari algoritma dari arsip-arsip berita mereka.
Advertisement
Dilaporkan Gizmodo, Rabu (16/8/2023), NYT menegaskan bahwa program software seperti machine learning atau AI dilarang untuk menggunakan arsip media NYT untuk melatih program software tersebut.
Aturan dari NYT itu disebut berpotensi membuka jalur hukum apabila berita-berita mereka dicuri oleh software AI.
Gizmodo menjelaskan bahwa memang diperlukan jumlah data yang besar untuk melatih AI. Perusahaan AI seperti Open AI akhirnya kena masalah hukum karena dituduh mencuri saat melakukan panen data.
Sejumlah perusahaan AI dilaporkan sudah berusaha "mendekati" perusahaan berita. Google sempat menawarkan sistem AI mereka yang bernama Genesis kepada sejumlah media seperti NYT dan Washington Post karena dianggap bisa membantu jurnalis.
Associated Press juga telah sepakat dengan OpenAI untuk mengizinkan startup Ai tersebut untuk mengakses arsip AP. Namun, OpenAI harus memberikan akses ke AP terkait teknologi dan keahlian produk mereka.
Seniman vs. AI
Para ilustrator telah lebih dahulu menyampaikan kemarahan mereka. Akhir tahun lalu, ilustrator di situs ArtStation menyampaikan protes "Ban AI Art" agar karya yang dibuat dari AI tidak tampil di situs tersebut.
ArtStation lantas mengambil jalan tengah dengan memberikan tag "NoAI" bagi para seniman supaya karya mereka tidak dipanen oleh AI.
Dunia kepenulisan juga kini harus berhadapan dengan AI. Baru-baru ini, novelis Jane Friedman mengaku menemukan buku yang mencatut namanya dijual di Amazon dan ditampilkan di situs review buku Goodreads.
Buku-buku itu ternyata ditulis AI. Jane Friedman berusaha meminta Amazon untuk menyetop penjualan buku yang mencatut namanya, tapi kemudian ditolak.
"Ketika saya melihat buku-buku tersebut, melihat halaman-halaman pembukanya, melihat bionya, sudah jelas bagi saya bahwa itu sebagian besar atau keseluruhan dibuat oleh AI," ujar Jane Friedman kepada CNN.
Friedman menduga bahwa AI itu mempelajari tulisannya dari konten-konten yang ia rilis secara gratis di internet. Setelah kasus ini viral, Friedman mengumumkan bahwa Amazon setuju untuk menyetop penjualan buku-buku itu.
Advertisement
Wamenkominfo: Perlu Regulasi untuk Dukung Adopsi AI di Masyarakat
Di dalam negeri, Wakil Menteri Komunikasi dan Informatika (Wamenkominfo) Nezar Patria, menegaskan pentingya regulasi terkait kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI).
Meski begitu, Nezar sendiri juga mendorong demokratisasi AI agar dapat menyebar ke pengguna dan kalangan masyarakat yang lebih luas.
Hal ini dinyatakan Wamenkominfo Nezar Patria di Artificial Intelligence Innovation Summit 2023 yang diselenggarakan di JIExpo Kemayoran Jakarta Pusat, pada Kamis (10/8) lalu.
Menurut Wamenkominfo Nezar Patria, demokratisasi akan memberikan akses penggunaan, pemanfaatan, pengembangan, dan pengaturan AI, yang membuka peluang inovasi dan penyelesaian berbagai isu kontemporer AI secara kolaboratif.
Dia mengatakan, seperti dikutip dari siaran pers di laman Kominfo, oleh karena itu, selain keberadaan infrastruktur internet, juga diperlukan regulasi dan sumber daya manusia (SDM) yang memadai.
"Saya kira itu yang menjadi tupoksi di Kementerian Kominfo nantinya, agar AI bisa bermanfaat dan lebih tepat guna sesuai kebutuhan lintas pemangku kepentingan, bukan hanya pihak tertentu," ujarnya.
Enam Isu AI
Nezar menyebut, ada enam isu yang terkait dengan pemanfaatan kecerdasan buatan dalam keseharian.
Enam isu ini adalah kesalahan atau misinformasi, privasi atau kerahasiaan, toxicity atau ancaman berbasis siber, perlindungan hak cipta, bias implementasi AI, dan pemahaman nilai kemanusiaan.
Sehingga, untuk mengatasi isu-isu ini, diperlukan regulasi agar pemanfaatan AI sebagai teknologi, juga memungkinkan keberagaman dan menciptakan fair level playing field.
"Saya kira antisipasi-antisipasi dalam bentuk regulasi mungkin sudah bisa melibatkan semua stakeholder untuk bisa berbicara bersama di sini," kata Wamenkominfo. "Kita akan memanfaatkan AI secara mudah dan pendekatan ini berarti AI akan lebih mudah, lebih murah, lebih ramah bagi pengguna."
Nezar juga mengklaim, Kementerian Kominfo telah melakukan pendekatan democratization of governance, melalui penerapan tata kelola ekosistem digital dengan melibatkan beragam stakeholders.
"Termasuk juga mendukung perencanaan atau desain yang dibuat Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) terkait Strategi Nasional Kecerdasan Artifisial (Stranas KA) di tahun 2020," ujarnya.
Menurut Nezar, Kementerian Kominfo juga menyiapkan Penyusunan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia Bidang AI, Penyusunan Peta okupasi Bidang AI, serta pelatihan untuk pengembangan sumber daya manusia.
"Ada literasi digital yang sudah diselenggarakan di berbagai daerah. Dan melalui program Digital Talent Scholarship melatih 2.220 peserta untuk beragam keterampilan AI," pungkas Wamenkominfo.
Advertisement