Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah saat ini tengah merampungkan Rancangan Peraturan Presiden (Ranperpres) tentang Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama (PKUB) yang dikoordinatori oleh Kementerian Agama.
Substansi pengaturan dalam Ranperpres PKUB tersebut dimaksudkan sebagai pemajuan, namun dalam kajian SETARA Intitute bersama INFID, Ranperpres tersebut ternyata masih memuat berbagai norma yang berpotensi menimbulkan diskriminasi, terutama bagi kelompok minoritas agama dan kepercayaan.
Advertisement
Dalam merespons masih banyaknya permasalahan dalam substansi Ranperpres Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama (PKUB), SETARA Institute bersama INFID menginisiasi seri diskusi dengan majelis-majelis agama dan kepercayaan serta masyarakat sipil, dengan maksud untuk memfasilitasi ruang dialog dalam membahas Ranperpres PKUB yang tengah disusun oleh pemerintah.
Dari 36 Pasal yang dimuat dalam Ranperpres PKUB, SETARA dan INFID mengusulkan 21 perubahan redaksi maupun perubahan substansi yang berimplikasi pada penikmatan hak-hak konstitusional masyarakat, terutama dalam penikmatan atas KBB. Secara garis besar, 21 usulan perubahan tersebut pada pokoknya dapat diringkas ke dalam empat poin utama sebagai berikut:
1. inklusi penghayat kepercayaan dalam pengaturan PKUB. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 97/PUU-XIV/2016 telah mengafirmasi kesetaraan antara agama dengan kepercayaan. Namun demikian, diskriminasi terhadap Penghayat Kepercayaan masih sering terjadi. Oleh karena itu, Ranperpres PKUB mesti menginklusi eksistensi Penghayat Kepercayaan dan hak-hak mereka.
Dalam Raperpres PKUB, baik secara redaksi maupun substansi, pengaturan PKUB masih sangat minim menyebut perihal penghayat kepercayaan. Untuk itu, inklusi Penghayat Kepercayaan harus dilembagakan melalui Ranperpres PKUB.
2. Integrasi Tata Kelola Pemerintahan Inklusif sebagai prinsip utama tugas pemerintahan kepala daerah dalam PKUB. Mencermati studi-studi yang dilakukan sebelumnya. SETARA Institute dan INFID memandang bahwa tata kelola pemerintahan daerah yang inklusif merupakan fondasi penting bagi pemajuan toleransi dan kerukunan di daerah-daerah.
Tata kelola pemerintahan inklusif ini bertolak dari kebutuhan mengakselerasi kinerja pemerintahan daerah mengatasi praktik intoleransi dan pelanggaran KBB dengan mengelola faktor-faktor intoleransi yang terjadi pada lapis negara dan lapis masyarakat sekaligus. Usulan pengintegrasian tata kelola pemerintahan inklusif dalam Ranperpres PKUB ini perlu ditambahkan dalam beberapa pasal diantaranya Pasal 1, Pasal 4, dan Pasal 5 yang pada pokoknya memuat tugas dan wewenang pemerintah daerah dalam PKUB.
3. Transformasi pengaturan pendirian rumah ibadah. Data longitudinal SETARA Institute (2007-2022) mengenai pelanggaran Kebebasan Beragama/Berkeyakinan (KBB) menunjukkan telah terjadi 573 gangguan terhadap peribadatan dan tempat ibadah, yang mencakup pembubaran dan penolakan peribadatan, penolakan tempat ibadah, intimidasi, perusakan, pembakaran, dan lain sebagainya.
Secara spesifik, laporan KBB SETARA Institute pada tiap tahunnya juga menemukan bahwa penolakan pendirian rumah ibadah selalu menjadi salah satu kasus dominan di antara peristiwa pelanggaran KBB. Hal itu dipicu ketentuan-ketentuan diskriminatif soal pendirian rumah ibadah dalam PBM Tahun 2006.
Untuk itu, perlu dirumuskan beberapa perubahan untuk meminimalisasi penolakan terhadap pendirian rumah ibadah. Di antaranya, meliputi penegasan syarat 60 orang yang dapat berasal dari satu agama maupun berbeda agama, adanya sanksi bagi kepala daerah yang tidak memberikan keputusan perihal pendirian rumah ibadah dalam jangka waktu yang telah ditentukan, dan perluasan subjek pemohon rumah ibadah.
Keseluruhan usulan ini dimaksudkan untuk mempermudah masyarakat dalam menikmati hak beribadah yang telah dijamin oleh Pasal 28E ayat (1) dan Pasal 29 ayat (2) konstitusi. Usulan revisi ini perlu ditambahkan dalam beberapa pasal, di antaranya Pasal 23 ayat (2) huruf b, dan Pasal 24, yang pada pokoknya berkenaan dengan pendirian rumah ibadah.
4. Reformasi kelembagaan FKUB. Salah satu kemajuan mendasar yang dirumuskan dalam Ranperpres PKUB adalah tiadanya kewenangan FKUB untuk memberikan rekomendasi tertulis atas permohonan pendirian rumah ibadah. Hal tersebut perlu diapresiasi sebagai political will yang baik dari pemerintah untuk mengurangi salah satu faktor terhambatnya pendirian rumah ibadah yang terjadi selama ini, mengingat selama ini rekomendasi FKUB seringkali menjadi pemicu terjadinya penolakan pembangunan rumah ibadah.
Ranperpres PKUB masih memuat norma-norma yang regresif berkenaan dengan FKUB. Diperlukan perubahan pada beberapa isu penting berkenaan dengan FKUB, antara lain, norma pembentukan FKUB Nasional harus dihapus sebab tidak memiliki urgensi fungsional yang nyata, pengaturan syarat anggota FKUB yang masih lemah sehingga perlu ditinjau ulang, pembinaan terhadap anggota FKUB yang masih perlu dikuatkan dan penambahan wewenang FKUB.
Keseluruhan usulan ini diajukan demi meningkatkan efektivitas kelembagaan FKUB agar kontributif pada pemajuan KUB. Untuk itu, perlu dilakukan revisi terhadap seluruh Pasal dalam Bab III yang terurai dari Pasal 7 hingga Pasal 21 Ranperpres PKUB, yang pada pokoknya mengatur mengenai FKUB.