Survei LinkedIn Tunjukkan Sebagian Besar Gen Z Merasa Bersalah saat Liburan daripada Bekerja

Rasa bersalah generasi Gen Z saat berlibur karena mereka berada di fase karier di mana mereka ingin menunjukkan dedikasi dan meninggalkan kesan positif kepada atasan mereka.

oleh Farel Gerald diperbarui 21 Agu 2023, 07:30 WIB
Ilustrasi Gen Z mengalami kecemasan. (pexels.com/Pixabay)

Liputan6.com, Jakarta - Banyak faktor yang bisa menghalangi seseorang untuk berlibur, seperti tekanan pekerjaan maupun masalah finansial. Bagi generasi pekerja muda saat ini, rasa bersalah menjadi hambatan utama.

Sekitar 35 persen dari Generasi Z (Gen Z) merasa bersalah saat mengambil liburan, sedangkan angka rata-rata di Amerika untuk semua kelompok umur adalah 29 persen. Hal ini berdasarkan Indeks Keyakinan Tenaga Kerja terbaru dari LinkedIn, yang didapatkan lewat survei terhadap 9.461 profesional Amerika baru-baru ini.

Dilansir dari CNBC pada Minggu, 13 Agustus 2023, George Anders, editor senior LinkedIn menilai salah satu alasan rasa bersalah Gen Z saat berlibur kemungkinan karena mereka berada di fase karier yang ingin menunjukkan dedikasi dan meninggalkan kesan positif kepada atasan mereka. Menurut Anders, walaupun Gen Z mungkin memiliki cara berbeda dalam hal berpakaian atau tempat kerja yang mereka inginkan, dedikasi mereka terhadap kualitas pekerjaan sebanding dengan generasi sebelumnya.

Di sisi lain, sekitar 58 persen dari Gen Z yang sudah bekerja menyatakan keinginan untuk liburan dan sepenuhnya terlepas dari rutinitas dalam beberapa bulan mendatang. Angka ini lebih rendah dibandingkan dengan 64 persen dari generasi milenial, 62 persen Generasi X, dan 64 persen dari generasi baby boomer.

“Gen Z dikenal dengan kemampuannya untuk multitasking, sehingga benar-benar terputus dari produktivitas mungkin terasa asing bagi mereka,” ujar Anders.


Istirahat Itu Perlu

Ilustrasi bekerja. (Photo by Arlington Research on Unsplash)

Masalah finansial juga mempengaruhi keputusan mereka, dengan 31 persen dari Gen Z yang sudah bekerja menyebut faktor ekonomi sebagai alasan tidak berlibur tahun ini, persentase yang sedikit lebih tinggi ketimbang rekan-rekan milenial dan Gen X mereka. Sebagai solusinya, Anders menyarankan untuk mempertimbangkan opsi liburan yang lebih hemat di musim gugur sebagai alternatif daripada liburan musim panas yang biasanya lebih mahal.

Mengambil jeda dari pekerjaan, menurutnya, bisa berdampak positif yang signifikan bagi kesehatan fisik dan mental kita. Anders menekankan bahwa beristirahat bisa meningkatkan produktivitas di tempat kerja. "Terkadang saat kita terlepas dari rutinitas, kita mendapatkan inspirasi baru," ujarnya.

Anders juga menjelaskan bahwa banyak orang yang kembali bekerja setelah liburan dengan ide-ide brilian. Karena itu, sangat penting baginya untuk benar-benar mendapatkan istirahat dari rutinitas pekerjaan. "Mengasingkan diri membantu Anda mengevaluasi dan memulihkan prioritas Anda," kata dia.

Dia pun mengungkapkan bahwa seringkali kita cenderung fokus pada tugas-tugas mendesak daripada yang benar-benar penting. Dengan demikian, berlibur memberi kita kesempatan untuk merefleksikan apa yang benar-benar penting.


Merencanakan Liburan

Ilustrasi liburan (pixabay.com)

Anders menekankan pentingnya berdiskusi dengan atasan kita sebelum liburan untuk memastikan semua tanggung jawab kita telah terpenuhi. Kita bisa meninjau apa yang bisa diberikan ke rekan kerja saat kita absen, dan apa yang bisa ditangani setelah kita kembali.

"Meskipun meminta waktu libur bisa tampak menantang bagi mereka yang baru di suatu perusahaan, persiapan adalah kuncinya," katanya.

Menyusun rencana untuk menutup pekerjaan selama masa cuti dapat meningkatkan hubungan kerja tim, saat anggota tim saling menutupi tugas dengan pengertian bahwa hal serupa akan dilakukan saat mereka membutuhkan waktu libur. "Ini memperkuat kolaborasi dalam tim," ujar Anders.

"Anda juga harus memikirkan cara untuk kembali ke rutinitas kerja setelah liburan. Mungkin Anda akan meluangkan waktu Minggu sore untuk mengecek email agar siap untuk hari Senin, atau Anda akan menggunakan beberapa jam awal saat kembali untuk mengejar ketinggalan," ucap Anders.

Anders menekankan, melepaskan perasaan bersalah saat berlibur sebenarnya bisa membantu kita menjadi lebih rendah hati, dengan menyadari bahwa meskipun kontribusi kita penting, organisasi tidak akan berhenti berfungsi saat kita absen. "Pekerjaan tetap akan berlanjut," kata Anders.


Game Changer

Ilustrasi Gen Z. (Sumber foto: unsplash.com)

Di sisi lain, psikolog klinis remaja, Tara de Thouars menilai Gen Z sebagai 'game changer'. Pada jumpa pers di Jakarta, Sabtu, 12 Agustus 2023, dia menyoroti bahwa Generasi Z tak hanya merupakan pembawa perubahan, namun juga menunjukkan semangat dan pandangan yang membedakan mereka dari generasi-generasi pendahulu.

Salah satu bukti konkret yang diungkapkan oleh Tara adalah kenyataan bahwa sekitar 62 persen dari Gen Z memiliki karakter yang selalu tertantang oleh hal baru dan bersemangat untuk berusaha lebih keras. Mereka tidak mudah puas dengan keadaan yang ada dan selalu mencari inovasi dalam berbagai aspek kehidupan. Inilah yang membuat mereka unik, sebab ketika kebanyakan orang melihat tantangan sebagai rintangan, Gen Z melihatnya sebagai peluang.

"Mereka ekstra, tapi ekstranya ini juga karena mereka punya banyak tantangan, rintangan, hambatan dan segala macem. Tapi mereka tetap mencoba untuk tetap produktif, tetap untuk mencoba menjaga kesehatan mental," ucap Tara.

Tara melanjutkan pembicaraannya dengan memberikan konteks lebih mendalam tentang siapa sebenarnya Generasi Z. Menurut psikologi, Generasi Z merupakan individu-individu yang lahir dalam rentang waktu antara 1997 hingga 2012, yang saat ini berusia antara 11 hingga 27 tahun.

Karakteristik unik yang menonjol dari generasi ini adalah status mereka sebagai digital native. "Mereka lahir dan tumbuh besar langsung dengan teknologi," kata Tara.

Infografis Gen Z Dominasi Penduduk Indonesia (Liputan6.com/Triyasni)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya