Liputan6.com, Jakarta - Tak perlu gampang terkesan apabila melihat seseorang membawa tas branded. Pasalnya, barang mewah superfake ternyata sudah makin marak di Indonesia. Pembeli yang tidak terlatih mungkin tidak bisa membedakan barang asli dan barang palsu tersebut.
Dilansir ABC Indonesia, Jumat (18/8/2023), industri superfake ini memicu perdebatan soal etika pemalsuan barang mewah. Juga jadi ada pertanyaan, apa yang sebenarnya kita bayar dengan puluhan hingga ratusan juta rupiah untuk sebuah produk kulit?
Advertisement
Di tengah perdebatan tentang gaya hidup mewah para pajabat di Indonesia, mereka yang pernah disorot media mengaku kalau tas mereka adalah barang palsu yang di Mangga Dua Jakarta.
"Orang-orang di sini menyebut tas superfake," kata Uci Flowdea, seorang pengusaha yang mengoleksi tas tangan Hermès asli.
"Barangnya sangat mirip, sehingga mereka yang tidak terlatih tidak akan pernah tahu bedanya," jelasnya kepada ABC News.
Superfake Tidak Murah
Barang superfake biasanya masih handmade juga, menggunakan bahan yang juga mahal dan sulit dibedakan dari barang aslinya.
Di pasar Mangga Dua, tepatnya di "Gang Hong Kong", tas superfake dengan merek ternama dunia dijual dengan harga yang cukup mahal.
Tas tiruan Hermès dibanderol mulai dari kisaran di atas Rp10 juta hingga Rp100 jutaan untuk model Kelly dengan kulit buaya.
Superfake mungkin bisa dianggap sebagai investasi juga, meski harganya 10 persen lebih murah dari yang aslinya.
Tas Hermès Kelly, yang paling banyak dicari dan paling langka, setidaknya bisa mencapai Rp1 miliar. Dengan catatan Anda harus diundang untuk membelinya.
Tapi seorang penjual di Mangga Dua mengatakan, tas tersebut bisa dibeli darinya, berasal dari pabrik di China, dan pelanggan dapat memesan model tertentu.
Kolektor Prihatin
Seorang penjual yang tidak mau menyebutkan namanya mengaku sudah menjual enam replika tas tersebut dengan harga tertinggi.
"Barangnya tak bisa dibedakan dari aslinya," ujarnya.
Pemerintah Amerika Serikat sudah memasukkan Pasar Mangga Dua dalam daftar "pasar terkenal" untuk produk palsu di dunia.
Maraknya produk tiruan juga memunculkan profesi baru bagi mereka yang mampu melakukan verifikasi kalau tas yang dimiliki seseorang bukanlah tas palsu.
Apalagi, kualitas barang tiruan juga semakin meningkat, hingga para penjualnya menawarkan harga puluhan ribu dolar untuk satu tas bermerek.
Sebagai kosumen tas bermerek, Uci, yang berasal dari Surabaya, mengaku mulai mengoleksi tas Hermès setelah bosan menginvestasikan kekayaannya di sektor properti dan mobil.
Sadar Palsu Lewat Sentuhan
Hasil studi di tahun 2016 menyebutkan tas Hermès bisa menjadi investasi yang lebih aman ketimbang emas atau pasar saham.
Inilah yang jadi alasan Uci mengoleksinya.
Dia mengaku memiliki lebih dari 200 tas tangan Hermès asli, yang dibelinya setelah membangun hubungan secara bertahap dengan butik Hermès di berbagai negara.
Tapi selama pandemi COVID-19, Uci hanya bisa membelinya dari Indonesia.
Tahun lalu, dia memesan empat tas Hermès dari seorang influencer terkenal di Jakarta dengan total sekitar Rp1,3 miliar. Tapi dia langsung curiga ketika menerima pesanannya.
"Ketika saya pertama kali melihatnya, tas-tas keliatannya meyakinkan. Tapi setelah menyentuhnya, saya bisa merasakan barangnya tidak asli," ujarnya.
"Saya mengoleksi tas selama 15 tahun. Saya langsung tahu kalau ada yang tidak beres," katanya.
Advertisement
Gaya Hidup Para Pejabat
Uci menyebut kebanyakan orang tidak akan bisa menemukan petunjuk barang tiruan.
"Meskipun barang KW-1 sangat mirip dan hanya memiliki sedikit perbedaan, saya bisa menemukannya," katanya.
"Ada yang terlalu banyak celah pada jahitannya, atau ada butiran berbeda di kulitnya, atau pegangan yang terasa beda," tambahnya.Uci kemudian meminta uangnya dikembalikan dari influencer tersebut, yang berujung pada saling melapor ke polisi.
Puncaknya adalah ketika si penjual bernama Medina Zein Azhari akhirnya divonis penjara selama sembilan bulan karena terbukti mengancam Uci.
Medina juga dilaporkan divonis hukuman penjara dua tahun lainnya untuk kasus penipuan terpisah di Surabaya.
Selama beberapa bulan terakhir, sejumlah pejabat Indonesia atau anggota keluarganya disoroti karena memamerkan barang-barang mewah di jejaring sosial, memicu protes luas di masyarakat.
Pada bulan Maret, istri seorang sekretaris daerah salah satu provinsi dituduh memamerkan tas mewah di akun Instagram-nya, namun suaminya mengklaim barang itu palsu dan dibeli di Mangga Dua.
Seorang pejabat di Jakarta juga menjadi sorotan karena barang mewah yang dipamerkan istrinya, namun dia pun menyatakan barang-barang istrinya itu cuma tiruan.
"Pendapatan tahunan rata-rata orang Indonesia adalah sekitar Rp70 juta per tahun, jadi memiliki barang-barang mewah itu sangat sulit," ujar ekonom Andry Satrio Nugroho, dari Institute for Development of Economics and Finance.
"Orang ingin menunjukkan status sosialnya dengan menggunakan barang tiruan," katanya.
Buatan China
Meski permintaan barang mewah meningkat di Asia Tenggara, produksinya sebagian besar masih dilakukan di China.
"80 hingga 90 persen barang palsu berasal dari China dan Hong Kong," jelas Brigjen Polisi Anom Wibowo, Direktur Penyidikan dan Penyelesaian Sengketa pada Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Gencarnya penggerebekan barang palsu di China sudah mengurangi penjualan barang-barang ilegal ini secara langsung.
Tindakan penyitaan oleh bea cukai China atas barang-barang palsu yang akan diekspor meningkat empat kali.
Gucci adalah merek paling populer yang tiruannya banyak disita di China antara tahun 2014 dan 2021.
Penyitaan barang-barang palsu dari Chanel, Louis Vuitton, dan Christian Dior juga meningkat.
Tapi tas, jam tangan, sepatu, ikat pinggang bermerek tiruan, masih terus berhasil dikirim dari China ke berbagai negara.
Di Indonesia, penjual online maupun di toko-toko, menawarkan produk palsu dengan cara kejar-kejaran dengan pihak berwajib.
Padahal, perbuatan mereka terancam hukuman maksimal lima tahun penjara dan denda hingga Rp2 miliar.
"Undang-undang mengimbau pemilik merek atau pemegang lisensi yang ditunjuk oleh merek untuk melaporkannya dengan menyerahkan bukti permulaan," kata Anom Wibowo.
"Jadi, bila merek tersebut tidak mengadu, kami tidak memiliki legal standing untuk memproses kasusnya," katanya.
"Ketika kami menemukan barang palsu, kami mencatat dan menghubungi pemilik merek, jika mereka tidak suka barangnya ditiru, mereka harus datang membuat laporan," kata Anom.
Dia berharap nota kesepahaman yang akan segera ditandatangani dengan beberapa raksasa e-commerce Indonesia akan membantu mencegah penjualan produk-produk palsu di platfom online.
Namun dengan sedikitnya penegakan hukum untuk menyasar pedagang tas palsu, bisnis ini kemungkinan akan terus berkembang di Indonesia.
Tapi bagi Uci, barang tiruan tidak akan mampu menandingi produk asli.
"Banyak orang meneteng tas Hermès tiruan karena mereka ingin memilikinya, tapi tidak punya duit yang cukup," katanya.
"Tapi Kalau kita mau menghargai diri sendiri, mengapa kita mengenakan barang-barang palsu?" kata Uci.
Advertisement