Peringati HUT RI ke-78, Ketua Ikatan Guru Tunanetra Inklusif Singgung Soal Kemerdekaan Sejati

Ketua Dewan Kehormatan Ikatan Guru Tunanetra Indonesia (IGTI) sampaikan pendapat soal kemerdekaan.

oleh Ade Nasihudin Al Ansori diperbarui 17 Agu 2023, 12:42 WIB
Peringati HUT RI ke-78, Ketua Ikatan Guru Tunanetra Indonesia Singgung Soal Kemerdekaan Sejati. (Photo by Zoraya Project on Unsplash).

Liputan6.com, Jakarta Sudah 78 tahun Indonesia menyandang status merdeka. Secara lahiriah, merdeka ini dirasakan sebagai suatu keadaan di mana tidak lagi terjadi bentrokan senjata dengan bangsa lain yang ingin memanfaatkan keuntungan kekuasaan feodal secara tidak adil.

Meski demikian, Ketua Dewan Kehormatan Ikatan Guru Tunanetra Inklusif (IGTI) Bima Kurniawan berpendapat, masyarakat perlu sadar soal definisi kemerdekaan sejati.

“Kemerdekaan sejati yang bersifat batiniah juga harus membebaskan setiap individu dari keadaan nestapa. Apakah kita sebagai warga negara Indonesia yang tinggal di tanah yang penuh dengan sejarah dan pengorbanan ini, sudah benar-benar merasakan kemerdekaan yang hakiki?” kata Bima kepada Disabilitas Liputan6.com melalui pesan tertulis.

“Sebelum kita melangkah lebih jauh, alangkah baiknya kita memperluas pemahaman kita tentang makna merdeka terlebih dahulu,” tambahnya.

Secara umum, merdeka mengandung makna kebebasan, berdiri sendiri, dan tidak terikat oleh tuntutan tertentu (KBBI: 2017).

Namun, terdapat dimensi yang lebih mendalam dari makna ini. Lebih dari sekadar bebas secara fisik, merdeka mencakup kebebasan dari segala bentuk penindasan dan eksploitasi terhadap setiap individu, (Hafidhuddin: 2004).

Artinya, kemerdekaan sejati juga melibatkan kebebasan dalam mengembangkan potensi dan hak-hak asasi manusia tanpa adanya tekanan atau perlakuan yang merugikan satu individu tertentu.


Perjuangan Meraih Kemerdekaan

Anggota Pasukan Pengibar Bendera (Paskibraka) melakukan upacara penaikan bendera Merah Putih dalam rangka Upacara Peringatan Detik-detik Proklamasi 17 Agustus di halaman Istana Merdeka, Jakarta, Senin (17/8/2015). (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Dalam sejarah panjang bangsa Indonesia, kemerdekaan diraih melalui perjuangan yang tak terhitung harganya.

Perjalanan panjang ini juga menuntut rakyat Indonesia untuk meraih kemerdekaan secara komprehensif tidak hanya secara lahiriah terlepas dari belenggu kekerasan, tetapi juga secara bathiniah dalam pikiran, perasaan, dan pandangan.

Kebebasan dalam berpikir memiliki dimensi yang melampaui sekadar bebas secara lahiriah. Ini berarti memiliki kemampuan untuk berpikir dengan cara yang bebas, kritis, dan mandiri.

Individu yang merdeka dalam berpikir tidak terikat oleh doktrin, prasangka, atau pandangan sempit. Mereka memiliki kemampuan untuk menggali pengetahuan, menyelidiki berbagai sudut pandang, dan mengeksplorasi gagasan baru tanpa adanya rasa takut terhadap pembatasan.

Merdeka dalam berpikir juga mencakup penghargaan terhadap kebebasan berpendapat dan kemampuan untuk membentuk pandangan berdasarkan pemahaman mendalam dan analisis yang rasional.


Merdeka dalam Berpendapat

Peserta lomba balap karung semarak 17-an Kemenkumham berusaha mencapai garis finish, Depok, Jumat (12/8). Kemenkumham gelar semarak 17 Agustusan untuk memperingati HUT RI ke-71. (Liputan6.com/Yoppy Renato)

Hak untuk berpendapat adalah hak yang dijamin oleh hukum Indonesia. Pasal 28E ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (“UUD 1945”) menyatakan bahwa setiap orang memiliki hak atas kebebasan untuk berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.

Selain itu, prinsip kebebasan berpendapat juga ditegaskan dalam Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (“UU HAM”). Ini menyatakan bahwa setiap individu memiliki kebebasan untuk memiliki, mengeluarkan, dan menyebarkan pendapat sesuai dengan hati nuraninya, baik secara lisan maupun tulisan melalui media cetak maupun elektronik, dengan tetap memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan negara.

Dari ketentuan hukum ini, dapat disimpulkan bahwa walaupun kebebasan berpendapat adalah hak yang dijamin, tetap ada batasan yang mengiringi hak ini. Nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan integritas negara adalah faktor-faktor yang perlu diakui dalam menggunakan hak ini.

Dengan demikian, kebebasan berpendapat di Indonesia, sementara merupakan hak yang dijunjung tinggi. Juga harus diimbangi dengan tanggung jawab untuk mempertimbangkan dampak dan risiko yang terjadi bilamana kebebasan ini meluncur sangat liar.


Merdeka dalam Perasaan

Ilustrasi kemerdekaan RI, lomba 17 Agustus. (Photo by Rafael Atantya on Unsplash)

Arti merdeka juga mencakup soal merdeka dalam perasaan. Ini melibatkan kemampuan dalam mengelola perasaan dengan bijak.

Individu dengan perasaan merdeka mampu mengatasi emosi negatif seperti ketakutan, amarah, atau kecemasan berlebihan. Mereka memiliki kontrol diri yang baik, karena mereka mampu memilih respons yang sesuai terhadap situasi tanpa terjebak dalam reaksi impulsif.

Kemerdekaan emosional juga mencakup kemampuan untuk memahami dan menghargai perasaan orang lain serta menjalin hubungan interpersonal yang sehat dan bermakna.

Kemerdekaan dalam Pandangan

Ada pula kemerdekaan dalam pandangan. Ini melibatkan kemampuan untuk melihat dunia dengan sudut pandang yang luas dan inklusif.

Individu dengan pandangan merdeka tidak terikat pada pandangan sempit, sehingga mereka mampu mengakui dan menghargai keberagaman budaya, agama, dan pandangan lainnya. 

Merdeka dalam pandangan juga mencakup kemampuan menghormati hak asasi manusia, kesetaraan, dan keadilan, serta kemampuan untuk menghargai kontribusi semua pihak dalam membangun masyarakat yang lebih baik dan berkelanjutan.

Perayaan khas kemerdekaan RI (Liputan6.com/Abdillah)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya