Liputan6.com, Jakarta - Kebaya merupakan pakaian tradisional bagian atas yang dikenakan oleh perempuan Indonesia. Beberapa daerah di Indonesia memiliki kebaya khasnya sendiri, termasuk kebaya encim yang dikenakan masyarakat Betawi.
Kebaya biasanya dikenakan dengan bawahan berupa jarik atau batik dengan motif tertentu. Kebaya memiliki karakteristik berupa sulaman. Pakaian ini telah telah menjadi adibusana perempuan di tanah Jawa sejak era Kerajaan Majapahit.
Mengutip dari indonesia.go.id, kebaya sudah hadir di nusantara sebelum abad ke-15. Hal itu juga diperkuat oleh pernyataan sejarawan budaya Asia Tenggara, Denys Lombard, dalam bukunya Nusa Jawa Silang 2: Jaringan Asia.
Baca Juga
Advertisement
Kebaya sekaligus melengkapi busana perempuan lainnya, yakni baju kurung dari Sumatra. Secara etimologi, kebaya berasal dari bahasa Arab qaba yang oleh bangsa Portugis disebut sebagai cabaya.
Kehadiran kebaya encim merupakan wujud akulturasi budaya di nusantara. Para perantau Tionghoa dari daratan Tiongkok terutama dari Provinsi Hokkian bagian selatan, Coanciu (Quanzhou) dan Cianciu (Zhangzhou), datang ke Nusantara setelah abad ke-15.
Kedatangan mereka inilah yang turut memperkaya model kebaya nusantara. Para perantau Tionghoa telah memiliki wastra tradisional bernama beizi, yaitu baju lengan panjang dan memiliki bukaan di bagian depan yang sejajar dari ujung atas ke bawah. Baju ini bersifat uniseks atau bisa dikenakan oleh laki-laki maupun perempuan.
Dalam perkembangannya, kebaya juga turut dipakai oleh para perempuan bangsawan kolonial Eropa dengan sejumlah modifikasi. Kebaya encim atau yang juga disebut kebaya kerancang memiliki aksen bordir di tepian dengan teknik dilubangi.
Bahan Katun
Kebaya encim umumnya dibuat dari kain katun dan organdi atau kain kaca. Kebaya jenis ini lebih tipis, ringan, transparan, dan sedikit berkilau.
Model kebaya encim mirip seperti kebaya yang kerap dikenakan R A Kartini. Bedanya, kebaya encim lebih unik karena pada ujung bawahnya dibuat meruncing di bagian depan atau dikenal sebagai sonday.
Model kebaya encim dibuat mengikuti lekuk tubuh pemakainya untuk memberi kesan ramping. Motif bordir kebaya encim berupa flora dan fauna seperti bunga anyelir, persik, melati, burung merak, kura-kura, dan phoenix.
Kebaya encim dipadupadankan dengan kamisol atau kutang nenek, kain batik motif pagi sore atau belah ketupat, selendang, alas kaki selop tutup, dan rambut dikonde cepol.
Kebaya encim berwarna putih hingga warna-warna cerah lainnya, seperti hijau toska, biru cerah, merah jambu, oranye, dan kuning. Masyarakat Tionghoa percaya bahwa warna-warna tersebut dapat memberikan keberuntungan.
Menurut antropolog Diyah Wara, kata encim berasal dari bahasa Hokkian yang artinya bibi. Pada masanya, kebaya encim disebut pula sebagai kebaya nyonya baba atau kebaya nyonya.
Penyebutan nyonya mengacu kepada perempuan peranakan Tionghoa dan baba adalah sapaan untuk laki-laki peranakan. Sejak abad 20 atau era 1911, pemakaian kebaya encim oleh perempuan peranakan semakin marak seiring bertambahnya populasi masyarakat Tionghoa di Batavia. Kehadiran kebaya encim yang merupakan hasil akulturasi budaya peranakan Tionghoa pun menambah kekayaan wastra tradisional nusantara.
Penulis: Resla Aknaita Chak
Advertisement