Liputan6.com, Jakarta - Selamatan orang meninggal atau tahlilan sudah menjadi kegiatan yang biasa dilakukan muslim Indonesia. Meskipun tidak semua melakukannya, tapi tahlilan sudah lumrah dan dapat dijumpai di desa-desa terutama di kalangan Nahdliyin.
Tahlilan kerap menjadi perdebatan bagi sebagian pihak. Kelompok kontra memiliki argumen tahlilan tidak pernah dijalankan oleh Rasulullah SAW alias bid'ah. Sebaliknya, tahlilan bukan amalan yang dilarang.
Salah satu peserta kajian Al Bahjah pernah bertanya kepada KH Yahya Zainul Ma’arif alias Buya Yahya soal hukum tahlilan. Apa hukum tahlilan untuk orang yang meninggal dan bagaimana jika tidak dapat dilakukan?
Baca Juga
Advertisement
Buya Yahya mengatakan, saat ada orang yang meninggal baik itu keluarga, kerabat, anak, atau bahkan orangtua, maka dianjurkan berbakti dengan cara mendoakan sebanyak-banyaknya.
“Kemudian yang kedua jika kita punya rezeki dan sebagainya kita potong rezeki kita, kita sedekahkan untuk orangtua,” tutur Buya Yahya dikutip dari YouTube Al Bahjah TV, Kamis (17/8/2023).
Saksikan Video Pilihan Ini:
Sedekah untuk Orang Meninggal
Sedekah untuk orang yang meninggal itu biasanya dikemas dalam acara tahlil. Tahlil adalah kegiatan bertawasul, berdzikir, membaca ayat-ayat Al-Qur’an, dan mendoakan orang yang meninggal dunia.
Sedekah tersebut tidak ada batasan waktunya. Boleh dilakukan setiap hari. Tak harus menunggu momen 7 harinya, 40 harinya, dan waktu-waktu lain yang menjadi kebiasaan untuk diisi tahlilan.
“Setiap hari boleh Anda bersedekah, dianjurkan. maka bersedekahlah sebanyak-banyaknya. Mungkin Anda orang sibuk gak membuat makanan untuk mereka, Anda langsung transfer (masing-masing) Rp1 juta buat jemaah juga boleh,” ujarnya.
Buya Yahya mengatakan, ulama sepakat bahwa sedekah untuk orang meninggal boleh. Karena itu, ia heran jika kebaikan tersebut menjadi sebuah yang terlarang.
“Ini mungkin dia salah membacanya. Dari sisi mana ini menjadi sesuatu yang terlarang, wong isinya sedekah dan berdoa. Memanjatkan doa dianjurkan,” tuturnya.
“Adapun kalau kasusnya orang fakir memaksakan diri, itu yang gak boleh. Sampai ngutang-ngutang jangan,” tegasnya.
Advertisement
Tidak Ikut Agama Lain
Buya Yahya menegaskan, acara tahlilan bukan mengikuti ajaran agama lain. Kalau pun ada kemiripan dengan agama lain, bukan berarti Islam meniru agama tersebut.
“Sebagian mengatakan ini (tahlilan) meniru agama lain. Saya gak ngerti di agama itu ada. Jadi, kenapa tiga hari tujuh hari? Ini sudah kebiasaan. Nanti 4 hari sama 9 hari gak masalah. Permasalahannya kadang ada kebencian antarsesama muslim yang mencari kesalahan,” jelas Buya Yahya.
Buya Yahya menekankan, pada prinsipnya acara tahlilan boleh dilakukan kapan saja. Tidak harus selalu setelah 3 hari, 7 hari, atau 40 hari meninggal. Boleh-boleh saja jika dilakukannya setiap hari.
“Kalau permasalahannya adalah masalah hari Anda mengatakan bid'ah, boleh diganti kira-kira (menjadi) 4 hari, 9 hari, 1002 hari (setelah meninggal). Permasalahannya adalah kita ingin menghindari perselisihan sejauh mungkin. Paling tidak kalau Anda tidak mau melakukan ya sudah,” katanya.