Raksasa Properti China Ajukan Kebangkrutan di AS

Chapter 15 diajukan ketika suatu perusahaan berusaha melindungi aset mereka di AS dalam upaya merestrukturisasi utangnya.

oleh Natasha Khairunisa Amani diperbarui 18 Agu 2023, 11:00 WIB
Ilustrasi bangkrut (Foto: Melinda Gimpel/Unsplash)

Liputan6.com, Jakarta Raksasa properti asal China, Evergrande mengajukan perlindungan kebangkrutan di Amerika Serikat. 

Langkah akan memungkinkan perusahaan yang terlilit hutang itu untuk melindungi asetnya di AS, saat memproses pada kesepakatan multi-miliar dolar dengan kreditur.

Seperti diketahui, Evergrande gagal membayar utangnya yang sangat besar pada tahun 2021.

Melansir BBC, Jumat (18/8/2023) Evergrande Group membuat pengajuan perlindungan kebangkrutan Chapter 15 di pengadilan New York.

Sebagai informasi, Chapter 15 diajukan ketika suatu perusahaan berusaha melindungi aset mereka di AS dalam upaya merestrukturisasi utangnya.

Evergrande, yang mengalami default pada tahun 2021, telah bekerja untuk menegosiasikan kembali perjanjiannya dengan kreditur.

Dengan utang yang diperkirakan berjumlah lebih dari USD 300 miliar, menjadikannya perusahaan properti yang paling banyak berhutang di dunia.

Saham perusahaan yang terdaftar di Hong Kong telah ditangguhkan dari perdagangan sejak Maret 2022.

Evergrande mengungkapkan bulan lalu bahwa mereka telah kehilangan gabungan 581,9 miliar yuan selama dua tahun terakhir.

Pekan lalu, raksasa properti China lainnya, Country Garden,juga mengungkapkan mereka dapat mengalami kerugian hingga USD 7,6 miliar untuk enam bulan pertama tahun ini.

Dalam beberapa bulan terakhir, beberapa perusahaan terbesar di pasar real estat China sedang berjuang mencari dana untuk menyelesaikan pembangunan.

"Kunci untuk masalah ini adalah menyelesaikan proyek yang belum selesai karena ini setidaknya akan membuat sebagian pembiayaan tetap mengalir," kata Steven Cochrane dari firma riset ekonomi Moody's Analytics.

 


Ekonomi China dalam Pelemahan

Maksimum harian yang dicatat pada hari Kamis adalah yang tertinggi kedua dalam sejarah kota itu, tepat di bawah 41,9 derajat celsius yang dicatat oleh Beijing pada 24 Juli 1999. (AP Photo/Andy Wong)

Steven Cochrane menambahkan bahwa banyak rumah pra-penjualan tetapi jika konstruksi berhenti, pembeli tidak lagi melakukan pembayaran hipotek, yang menambah beban pada keuangan pengembang.

Awal bulan ini, Beijing mengatakan ekonomi China telah tergelincir ke dalam deflasi karena inflasi turun pada bulan Juli untuk pertama kalinya dalam lebih dari dua tahun.

Pertumbuhan yang lemah berarti China tidak menghadapi kenaikan harga yang mengguncang banyak negara lain dan mendorong bank sentral di  negara lain untuk menaikkan biaya pinjaman secara tajam.

Impor dan ekspor negara itu juga turun tajam bulan lalu karena melemahnya permintaan global mengancam prospek pemulihan ekonominya.

Angka resmi menunjukkan ekspor China turun 14,5 persen pada bulan Juli, sementara impor turun 12,4 persen.

Awal pekan ini, bank sentral China secara tak terduga memangkas suku bunga utama untuk kedua kalinya dalam tiga bulan, dalam upaya untuk meningkatkan perekonomian.


Ekonomi China Lesu Bakal Bebani Prospek Pertumbuhan Global

Para pengunjung mengenakan masker saat berjalan di Kota Terlarang, Beijing, China, Jumat (1/5/2020). Kota Terlarang kembali dibuka setelah ditutup lebih dari tiga bulan karena pandemi virus corona COVID-19. (AP Photo/Mark Schiefelbein)

Selama lebih dari serempat abad, China identik dengan Pembangunan tanpa henti dan mobilitas. 1,4 miliar penduduk China semakin menyukai barang global yakni film Hollywood, barang elektronik Korea Selatan, dan bijih besi yang ditambang dari Australia.

Ekonomi global didorong oleh mesin pertumbuhan ekonomi yang tampaknya tidak ada habisnya. Saat ini, mesin itu tergagap-gagap menimbulkan risiko yang mengkhawatirkan bagi rumah tangga China dan ekonomi global. Demikian dikutip dari Yahoo Finance, ditulis Minggu (13/8/2023).

China lama menjadi inti globalisasi yang meningkatkan keuntungan, dan kini beralih ke kartu liar terakhir saat ketidakpastian luar biasa bagi ekonomi global.

Risiko ini telah diperkuat dalam beberapa minggu terakhir dengan sejumlah perkembangan. Ekonomi China melambat sehingga meredakan harapan ekspansi yang kuat setelah pencabutan COVID-19 yang ekstrem.

Pekan ini membawa data yang menunjukkan ekspor China telah menurun selama tiga bulan berturut-turut, sementara impor susut selama lima bulan berturut-turut, indikator lain dari prospek yang lesu.

Kemudian datang berita harga telah turun dari berbagai barang mulai dari makanan hingga apartemen meningkatkan momok China berada di ambang apa yang disebut deflasi atau penurunan harga yang berkelanjutan, pertanda aktivitas komersial yang lesu.

Sebagai tanda tekanan yang semakin mendalam di pasar properti China. Persimpangan antara keuangan, konstruksi dan kekayaan rumah tangga, pengembang real estate Country Garden melewatkan pembayaran obligasi dan perkirakan kerugian hingga USD 7,6 miliar pada semester I 2023.


Perlambatan China Berdampak terhadap Ekonomi Global

Pelancong berjalan di sepanjang concourse di Stasiun Kereta Api Beijing West di Beijing, Rabu, 18 Januari 2023. China pada Desember mencabut kebijakan "nol-COVID" yang ketat, melepaskan gelombang keinginan perjalanan yang terpendam, terutama di sekitar waktu terpenting China untuk pertemuan keluarga, yang disebut di China sebagai Festival Musim Semi, yang mungkin satu-satunya waktu di satu tahun ketika pekerja perkotaan kembali ke kampung halaman mereka. (AP Photo/Mark Schiefelbein)

Bagi pekerja dan rumah tangga China, peristiwa ini menambah masalah. Di seluruh dunia, melemahnya ekonomi China menandakan menyusutnya permintaan barang-barang utama mulai dari kedelai dari Brasil hingga daging sapi Amerika Serikat, hingga barang mewah buatan Italia. Hal ini juga dapat pengaruhi permintaan untuk minyak, tambang mineral dan bahan bangunan industri lainnya.

“Perlambatan di China pasti akan membebani prospek ekonomi global. Karena China sekarang menjadi konsumen komoditas nomor pertama di dunia, dampaknya akan cukup besar,” ujar Ekonom Macquarie Larry Hu yang berbasis di Hong Kong, seperti dikutip dari Yahoo Finance, dari New York Times.

Kontribusi Ekonomi China

Selama dekade terakhir, China telah menjadi sumber lebih dari 40 persen pertumbuhan ekonomi global, dibandingkan Amerika Serikat sebesar 20 persen dan 9 persen dari 20 negara yang memakai euro, demikian analisis terbaru dari BCA Researh.

Yang menambah kekhawatiran adalah meluasnya pemahaman kalau otoritas China terbatas dalam pilihan mereka untuk kembali hidupkan ekonomi, mengingat utang yang menumpuk sekarang diperkirakan mencapai 282 persen dari output nasional, lebih banyak dari Amerika Serikat.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya