Liputan6.com, Jakarta - Gempa Magnitudo 5,9 mengguncang wilayah Banten, Rabu (17/8/2023), pukul 11.28.49 WIB. Badan Meteorologi Klimatologi (BMKG) menyebutkan, gempa Banten ini memiliki parameter update dengan magnitudo M5,7.
Episenter gempa terletak pada koordinat 7,69° LS ; 105,34° BT, atau tepatnya berlokasi di laut pada jarak 112 Km arah Barat Daya Muarabinuangeun, Banten pada kedalaman 50 km.
Advertisement
Kepala Bidang Mitigasi Gempa dan Tsunami BMKG Daryono mengatakan, dengan memperhatikan lokasi episenter dan kedalaman hiposenternya, gempa yang terjadi merupakan jenis gempabumi dangkal akibat adanya deformasi batuan dalam slab lempeng Indo-Australia (intraslab) yang tersubduksi ke bawah Lempeng Eurasia
"Hasil analisis mekanisme sumber menunjukkan bahwa gempa memiliki mekanisme pergerakan geser naik (oblique thrust)," kata Daryono.
Getaran gempa dirasakan di daerah Bandung, Bogor, hingga Jakarta. BMKG mencatat riwayat lima gempa besar yang pernah mendampak Jakarta, yakni gempa tahun 1699, 1780, 1834, 1903, dan 1997.
Gempa Jakarta 1699
Gempa 1699 terjadi tepatnya pada tanggal 5 Januari. Saat itu Jakarta yang masih bernama Batavia diguncang gempa besar berkekuatan Magnitudo 7,4-8. Besarnya kekuatan gempa, sampai berdampak dan dirasakan di daerah Jawa Barat dan Sumatera bagian selatan.
Sebuah tulisan yang berjudul Indonesia’s Historical Earthquakes dari Geoscience Australia menyebutnya dengan lindu yang sangat besar dan belum pernah terjadi sebelumnya. Gempa juga berlangsung sangat lama, karena gempa susulan terus berdatangan bertubi-tubi selama tiga perempat jam.
Akibat gempa tersebut 28 orang dilaporkan meninggal dunia, puluhan rumah dan lumbung hancur. Jika gempa dengan kekuatan tersebut terjadi saat ini, ratusan ribu orang diperkirakan meninggal dunia.
Saat itu juga, Gunung Salak yang terletak di antara Kabupaten Bogor dan Kabupaten Sukabumi meletus. Dari puncaknya setinggi dua ribu meter, gunung itu menyemburkan abu dan batu. Ribuan kubik lumpur muncrat. Puluhan ribu pohon tumbang, menyumbat aliran Sungai Ciliwung, membekap kali dan tanggul di Batavia. Banjir lumpur tak terelakkan. Oud Batavia mendadak menjadi rawa.
Bencana itu dicatat Sir Thomas Stamford Raffles dalam bukunya History of Java. "Gempa 1699 memuntahkan lumpur dari perut bumi. Lumpur itu menutup aliran sungai, menyebabkan kondisi lingkungan yang tak sehat kian parah."
Makalah Historical Evidence for Major Tsunamis in the Java Subduction Zone dari Asia Research Institute juga menggambarkan kejadian gempa itu. Pada 5 Januari 1699, Batavia mengalami gempa yang tak pernah terjadi sebelumnya, yang tak pernah dibayangkan.
Kala itu, sejumlah guncangan terjadi selama tiga perempat jam hingga satu jam dan juga beberapa hari sesudahnya. Dilaporkan 28 orang tewas, 49 gedung batu nan kokoh hancur, hampir semua rumah mengalami kerusakan.
Apa penyebab terjadinya gempa tak diketahui pasti. Diduga, pusat gempa saat itu ada di selatan Batavia, gempa seismik.
Akan tetapi, beberapa orang menghubung-hubungkannya dengan letusan Gunung Salak. Hingga saat ini apa penyebab pasti gempa kala itu masih jadi misteri.
Advertisement
Gempa Jakarta 1780
Menurut catatan Omar Mohtar dalam Batavia’s 1699 and 1780 Earthquake: Disaster Collective Memory, setelah gempa 1699, Batavia tercatat mengalami 11 kali diguncang gempa hingga 1780. Kejadiannya berturut-turut tahun 1700, 1706, 1722, 1737, 17439, 1754, 1757,1765, 1769, 1772, 1776, dan 1780. Di antara 11 kali gempa itu, gempa 22 Januari 1780 menjadi yang paling berdampak. Kuatnya guncangan gempa membuat bangunan-bangunan yang ada di Batavia saat itu mengalami kerusakan.
Salah satu bangunan yang rusak adalah observatorium milik pendeta yang tertarik dengan astronomi, Johan Maurits Mohr. Observatorium ini memiliki enam lantai dengan puncak atap datarnya setinggi 30,5 meter dari permukaan tanah serta memiliki panjang 22,5 meter dan lebar 17,5 meter. Bangunan enam lantai ini saat itu merupakan bangunan tertinggi di Batavia.
Gempa dengan kekuatan Magnitudo 8 itu dirasakan hingga ke seluruh bagian Pulau Jawa dan bagian selatan Sumatera. tercatat 27 rumah dan gudang rusak akibat gempa. Muncul berbagai dugaan sumber gempa berasal, ada yang menyebutnya berasal dari sesar Baribis. Gempa bumi pada tahun itu juga membuat Gunung Salak dan Gunung Gede menunjukan peningkatan aktvitascvulkanik. Tidak lama setelah gempa terjadi, terdengar suara letusan dari arah Gunung Salak dan terlihat kepulan asap dari puncak Gunung Gede.
Gempa Jakarta 1834
Malam itu, 10 Oktober 1834, tanah beberapa kali bergetar di wilayah Batavia (Jakarta), Banten, Karawang, Buitenzorg (Bogor), dan Priangan.
Pagi harinya, giliran guncangan dahsyat terjadi. Saking kuatnya, getaran bahkan dirasakan hingga Tegal, Jawa Tengah dan Lampung di Sumatera.
Gempa tersebut merusak sejumlah rumah dan bangunan kokoh berdinding batu, termasuk sebuah istana di Weltevreden. Paleis van Daendels/Het Groot Huis, nama bangunan itu, kini menjadi Gedung Kementerian Keuangan RI.
Sejumlah gudang dan rumah juga rata dengan tanah, pun dengan bangunan berdinding batu di Cilangkap yang rusak sebagian.
"Guncangan tersebut diyakini sebagai gempa paling parah yang menimpa wilayah tersebut. Kepanikan meluas di Batavia, namun tak ada korban yang dilaporkan jatuh," seperti dikutip dari makalah Indonesia’s Historical Earthquakes dari Geoscience Australia.
Meskipun gempa tersebut menyebabkan sangat sedikit korban jiwa dan luka-luka, bangunan banyak yang rusak parah dan beberapa runtuh. Kerusakan jalan seperti retak dilaporkan dari Bogor hingga Cianjur, dan Kabupaten Cianjur.
Banyak gudang dan pabrik juga terkena dampak parah. Sebuah stasiun pos di kota terkubur tanah longsor, menewaskan lima orang dan sepuluh ekor kuda.
Banyak rumah dan bangunan batu di Batavia yang rusak. Gudang pedesaan dan sejumlah townhouse juga rusak. Istana Bogor di kota itu, yang merupakan kediaman Jean Chrétien Baud, Gubernur Jenderal Hindia Belanda, rusak parah sehingga Jean Chrétien Baud memerintahkannya untuk dibongkar. Istana ini dibangun kembali dengan gaya arsitektur Eropa abad ke-19 yang baru.
Advertisement
Gempa Jakarta 1903
Gempa 1903 menjadi salah satu yang terburuk yang mendampak Jakarta. Saat itu gempa Magnitudo 7,9 mengguncang wilayah Banten, tepatnya di Selat Sunda. Tsunami dahsyat juga terjadi di wilayah Banten dan menjadikannya sebagai tragedi dunia yang menelan banyak korban.
Kepala Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami BMKG Daryono mengungkapkan gempa bumi di Banten bermagnitudo 7,4 yang dimutakhirkan menjadi 6,9, yang terjadi pada 2019 belum merupakan puncak dari potensi gempa di wilayah tersebut.
Pusat gempa di bagian selatan Selat Sunda itu merupakan kawasan yang ditandai sebagai zona sepi gempa besar, sementara itu merupakan kawasan dengan subduksi aktif.
Daryono mengatakan ketidakadaan gempa selama ini dianggap sebagai proses akumulasi dari medan tegakan kerak bumi yang sedang berlangsung
“Di daerah Selat Sunda, catatan kami tidak ada gempa di atas magnitudo 7,0,” katanya kala itu.
Menurut catatan BMKG, gempa Magnitudo 7,9 pada 1903 menjadi gempa besar terakhir di wilayah itu.
Dia tidak dapat memperkirakan secara statistik proses berulang gempa bumi itu, karena proses akumulasi medan tegakan kulit bumi tidak bisa distatistikkan.
Gempa 1997
Pada 1997 terjadi gempa Magnitudo 6,4 yang berpusat di Ujung Kulon. Meski jauh dari pusat kota Jakarta, ternyata gempa tersebut sangat merusak dan membuat karyawan kantor berhamburan keluar gedung.
Kepala Bidang Mitigas Gempa dan Tsunami Daryono menjelaskan mengapa gempa di Ujong Kulon sangat merusak di Jakarta. Menurutnya kenapa dampaknya lebih besar di Jakarta itu karena Jakarta tersusun oleh tanah lunak.
Struktur tanah ini yang dapat memicu resonansi gelombang seismik saat terjadi gempa yang akhirnya akan memperbesar guncangan gempa tersebut.
Advertisement