Liputan6.com, Jakarta - Masalah Myanmar masih belum kunjung usai di Asia Tenggara. Setelah junta militer melancarkan kudeta ke Aung San Suu Kyi pada 2021, kondisi Myanmar semakin jauh dari stabilitas dan berbagai daerah menjadi medan pertempuran antara junta militer dan kelompok militer regional.
Duta Besar Republik Rakyat China (RRC) untuk ASEAN, Hou Yanqi, berkata bahwa China memandang isu di Myanmar sebagai urusan internal, sehingga yang bisa menyelesaikannya adalah warga negara itu sendiri.
Advertisement
"Kami percaya bahwa itu adalah masalah-masalah internal. Jadi masyarakat di Myanmar, baik itu yang bagian dari militer, atau bagian dari partai-partai demokrasi lain, atau kelompok-kelompok lain, mereka harus duduk bersama untuk saling bicara," ujar Dubes RRC untuk ASEAN Hou Yanqi, Jumat (18/8/2023).
"Perang konstruktif kami adalah mendorong bagian-bagian berbeda itu untuk duduk bersama pada dialog untuk memikirkan masa depan negara," Dubes Hou menambahkan.
Haruskah ASEAN Menerima Junta Militer Myanmar?
Dubes Hou berkata ia mendukung Five-Point Consensus untuk mendamaikan situasi di Myanmar. Ia juga berkata tidak ingin anggota ASEAN berkurang satu.
Saat ditanya apakah ASEAN harus mengajak junta Myanmar terlibat di forum-forum internasional, Dubes Hou menyorot bahwa isu tersebut juga belum mencapai kesepakatan di kalangan negara-negara. Suara ASEAN terkait isu ini disebut terbelah.
"Hal ini cukup terbelah ke dua kelompok di antara negara-negara anggota ASEAN itu sendiri," jelas Dubes Hou. "Bahkan di dalam anggota-anggota ASEAN, ide-idenya cukup berbeda."
Ia pun mendukung agar ASEAN meraih konsensus dalam isu ini dan bahwa negaranya siap terus mendukung ASEAN, sembari menegaskan bahwa Myanmar adalah sahabat dari China.
Jokowi Tegaskan Konflik di Myanmar Bisa Selesai jika Ada Kemauan Politik Semua Pihak
Sebelumnya dilaporkan, militer Myanmar dan milisi yang berafiliasi dengannya semakin sering melakukan kejahatan perang, termasuk pengeboman udara yang menargetkan warga sipil. Demikian laporan kelompok penyelidik PBB, Mekanisme Investigasi Independen untuk Myanmar (IIMM), yang dipublikasikan pada Selasa (8/8/2023).
IIMM menyatakan telah menemukan bukti kuat selama 12 bulan -yang berakhir pada Juni 2023- bahwa tentara dan milisi tanpa pandang bulu dan secara tidak proporsional menargetkan warga sipil dengan bom, eksekusi massal orang-orang yang ditahan selama operasi, dan melakukan pembakaran besar-besaran rumah warga sipil.
Kelompok, yang didirikan oleh Dewan HAM PBB pada tahun 2018 untuk memantau pelanggaran hukum internasional di Myanmar, itu menuturkan pula bahwa mereka sedang mengumpulkan bukti yang dapat digunakan dalam penuntutan di masa depan terhadap mereka yang bertanggung jawab.
"Setiap korban jiwa di Myanmar menyedihkan, namun kehancuran yang dialami seluruh masyarakat melalui pengeboman udara dan pembakaran desa sangat mengejutkan," ujar ketua kelompok tersebut Nicholas Koumjian seperti dilansir AP, Rabu (9/8).
"Bukti kami menunjukkan peningkatan dramatis dalam kejahatan perang dan kejahatan kemanusiaan di negara ini, dengan serangan yang meluas dan sistematis terhadap warga sipil, dan kami sedang menyusun berkas kasus yang dapat digunakan oleh pengadilan untuk meminta pertanggungjawaban pelaku individu."
Myanmar berada dalam kekacauan sejak kudeta militer atas pemerintahan pimpinan Aung San Suu Kyi pada Februari 2021, memicu protes massal. Penentang pemerintahan militer kemudian mengangkat senjata dan sebagian besar negara sekarang terlibat dalam konflik, yang oleh ahli PBB dicirikan sebagai perang saudara.
Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik, sebuah organisasi pemantau hak, mengatakan bahwa pasukan keamanan Myanmar telah membunuh sedikitnya 3.900 warga sipil dan menangkap 24.236 lainnya sejak kudeta militer.
Advertisement
Ajak ASEAN Rumuskan Penghentian Konflik Myanmar
Sebagai Ketua ASEAN 2023, kata dia, Indonesia terus berupaya agar ada kemajuan dari implementasi 5 point consensus untuk menyelesaikan masalah di Myanmar. Tak hanya itu, Indonesia juga memfasilitasi penyelesaian konflik hingga menyalurkan bantuan kemanusiaan untuk Myanmar.
"Sebagai ketua, Indonesia terus berupaya agar ada langkah maju dari implementasi 5 point consensus dan melalui engagement dengan berbagai pihak mendorong terciptanya dialog yang inklusif," jelasnya.
"Kemudian menyerukan penghentian kekerasan, dan memfasilitasi penyelesaian lewat joint needs assesment melalui AHA Center dan juga menyalurkan bantuan kemanusiaan," sambung Jokowi.
Kendati begitu, dia menyayangkan belum ada kemajuan yang signifikan dari implementasi five point consensus. Oleh karena itu, Jokowi mengajak para pemimpin ASEAN untuk merumuskan langkah-langkah kedepan terkait penghentian konflik di Myanmar.
"Saya harus berterus terang bahwa implementasi five point consensus belum ada kemajuan yang signifikan sehingga diperlukan kesatuan ASEAN untuk merumuskan langkah-langkah ke depan," tutur Jokowi.
Di sisi lain, Jokowi menekankan bahwa konflik Myanmar tak boleh menghambat percepatan pembangunan Komunitas ASEAN. Menurut dia, hal ini sangat ditunggu-tunggu oleh masyarakat ASEAN.
"Pembangunan komunitas ini adalah yang ditunggu oleh masyarakat ASEAN," ucap Jokowi.
AS Sampaikan Komitmen Dukung Demokrasi dan HAM di Myanmar
Kepala Biro Urusan Asia Timur dan Pasifik dari Kemlu AS Camille Dawson menekankan bahwa Amerika Serikat terus membela demokrasi dan hak asasi manusia seperti yang terjadi di Myanmar.
“AS akan terus membela demokrasi dan HAM, seperti yang terjadi di Myanmar, di mana krisis kemanusiaan memburuk dan merusak perdamaian serta stabilitas di Asia Tenggara dan kawasan yang lebih luas,” kata Camille Dawson kepada 20 jurnalis yang terpilih dalam program FPC Reporting Tour on Security and Economic Prosperity in the Indo-Pacific Region dari Kemlu Amerika Serikat, Kamis (13/7) secara virtual.
“Kami tanpa henti melakukan kerja sama dengan sekutu dan negara mitra tentang cara terbaik untuk memajukan hak asasi manusia dan pemerintahan yang baik di kawasan tersebut,” kata Camille.
Camille juga menyebut bahwa Amerika Serikat telah secara signifikan memperluas keterlibatan dan kehadiran diplomatiknya di kawasan Indo Pasifik.
“Ini termasuk menyelesaikan rencana untuk mendirikan kedutaan baru di Maladewa, memulai diskusi tentang minat kami terkait membuka dua kedutaan baru di Kepulauan Pasifik, salah satunya Vanuatu.”
“Dan kami baru saja membuka kedutaan baru di Kepulauan Solomon dan di Tonga yang dilakukan dalam waktu kurang dari setahun.”
Pada kesempatan itu, Camille menyebut bahwa AS telah banyak berinvestasi dalam mendukung arsitektur kawasan di Indo Pasifik termasuk di Kepulauan Pasifik.
Menurut Camille, peran AS di kawasan Indo Pasifik harus lebih efektif dan bertahan lebih lama dari sebelumnya, terutama karena AS menghadapi tantangan yang meningkat dari RRT.
"Masalah strategis dan tantangan membutuhkan tingkat kerja sama. Dan kami menyadari bahwa tantangan yang dihadapi kawasan ini akan menjadi peluang yang lebih besar. Oleh karena itu, sangat penting bagi kami untuk beroperasi dalam koordinasi yang erat dengan banyak pihak lainnya."
Advertisement