Liputan6.com, Jakarta - Fase vulkanisme Gunung Anak Krakatau hingga saat ini masih terus tumbuh dan berkembang. Gunung Anak Krakatau terletak di antara gugusan kepulauan vulkanik yang berada di Selat Sunda antara Pulau Jawa dan Sumatera.
Bahkan lokasinya jadi salah satu destinasi wisata yang banyak dikunjungi. Tapi, bagaimana sejarah Gunung Krakatau?
Advertisement
Peneliti gunung api Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), Mamay Surmayadi menyatakan, berdasarkan catatan sejarah, letusan besar Krakatau terjadi pada tahun 1883.
Namun berdasarkan catatan dari pemerintah Hindia Belanda atau manuskrip dokumen Jawa kuno disebutkan pada tahun 416 M atau 338 Saka gunung api tersebut dikenal sebagai Gunung Kapi atau Krakatau Purba.
Kata dia, saat itu terjadi letusan besar yang juga menghasilkan tsunami besar seperti halnya pada tahun 1883.
"Kalau kita melihat kondisi saat ini, tiga pulau besar, Pulau Rakata, Pulau Sertung, dan Pulau panjang, merupakan bagian pinggir dari gunung api purba, atau Gunung Kapi," kata Mamay kepada Liputan6.com.
Dentuman Letusan Gunung Krakatau Purba
Berdasarkan rekonstruksi dan dimensinya, Gunung Kapi merupakan gunung api yang besar atau raksasa. Lalu berdasarkaan buku Krakatau 1883, The Vulcanic Eruption and Its Effect oleh Tom Simkin and Richard Fiske disebutkan, saat terjadi letusan Gunung Kapi suara dentuman letusannya cukup besar.
Bahkan sampai terdengar sampai daratan wilayah Banten bagian timur atau Gunung Batuwara yang berjarak sekitar 30 meter sampai di Gunung Rajabasa, Lampung.
"Hal ini merepresentasikan kejadiaan landaan tsunami tahun 1883. Berdasarkan dari manuskrip tersebut, nampaknya letusan Gunung Kapi tahun 416 sama dengan letusan Krakatau tahun 1883," ucapnya.
Kendati begitu, kata Mamay, tak ada keterangan lebih lanjut mengenai letusan Gunung Kapi. Sedangkan ketika peristiwa letusan pada tahun 1883 dampaknya menghasilkan gelombang tsunami sekitar 30 meter dan menerjang pesisir Banten.
Letusan ini juga membuat kerusakan infrastruktur dan korban jiwa lebih dari 36ribu jiwa. Lanjut Mamay, jika merujuk pada letusa pada 22 Desember 2018 Gunung Anak Krakatau muncul di pinggir kaldera besar yang dihasilkan dari letusan tahun 1883.
"Itu berarti dia muncul di satu lokasi yang kurang stabil, ditambah dengan pertumbuhan gunung yang semakin besar, kemudian energi letusan, dan bisa dipicu oleh gempa-gempa tektonik, karena di Selat Sunda merupakan jalur-jalur tektonik. Sehingga potensi letusan dan adanya tsunami masih memiliki probabilitias yang cukup tinggi," jelas dia.
Gunung Krakatau Jadi Lokasi Wisata dan Pendakian
Seperti dilansir lampungprov.go.id, Gunung Anak Krakatau memiliki luas sekitar 320 hektare dan merupakan pulau tak berpenghuni.
Gunung Anak Krakatau termasuk kawasan cagar alam Krakatau dengan total seluas 13.605 hektar yang dikelola oleh Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Provinsi Lampung. Sekarang, Gunung Anak Krakatau adalah salah satu tempat wisata di Banten yang paling disukai pendaki gunung.
Kegiatan utama dan paling favorit di sini adalah mendaki Gunung Krakatau. Berdasarkan beberapa sumber teks Jawa Kuno, ketinggian Krakatau purba diperkirakan hampir 2000 mdpl.
Daya tarik wisata Gunung Krakatau yang sering jadi perbincangan, terletak pada sisa-sisa letusannya yang menghasilkan eksotisme bentangan alam sisa dari letusan dahsyat. Ditambah lagi dengan Anak Gunung Krakatau yang masih aktif dan fluktuatif. Selain itu, tinggi Gunung Anak Krakatau yang makin bertambah juga menjadi daya tarik pengunjung.
Advertisement