Profil Haji Agus Salim, Pahlawan Nasional Sumbar Berjuluk 'The Grand Oldman'

Haji Agus Salim dikenal dengan julukan The Grand Oldman atau Orang Tua Besar.

oleh Novia Harlina diperbarui 22 Agu 2023, 00:00 WIB
Haji Agus Salim (Foto: afandriadya.com)

Liputan6.com, Padang - Minangkabau tidak hanya dikenal dengan keindahan alamnya saja, tetapi juga melahirkan tokoh-tokoh hebat yang berpengaruh bagi perkembangan bangsa dan negara.

Salah satunya Pahlawan Nasional asal Sumatera Barat, Haji Agus Salim yang dikenal dengan julukan Orang Tua Besar atau The Grand Oldman.

Dinukilkan dalam buku 101 Orang Minang di Pentas Sejarah karya Hasril Chaniago, Haji Agus Salim merupakan tokoh kelahiran Koto Gadang, Kabupaten Agam, Kota Bukittinggi 8 Oktober 1884 dengan nama asli Mashudul Hag yang berarti pembela kebenaran. Ia adalah seorang tokoh yang lahir dari keluarga terpelajar dari pasanggan Muhammad Salim dan Siti Zainab yang merupakan ke lima dari 15 bersaudara.

Pendidikan dan Pekerjaan Agus Salim

Pendidikan dasar Agus Salim dimulai dari sekolah Belanda yang dikhususkan untuk anak-anak eropa. Agus Salim tamat ELS pada 1898 yang kemudian melanjutkan studinya ke Hoegere Burger School (HBS sebuah sekolah setingkat SMP hingga SMA di Batavia atau Jakarta saat ini).

Kemudian pada 1906 Haji Agus Salim mendapatkan tawaran bekerja sebagai dragoman atau ahli penerjemah di Konsulut Belanda di Jeddah Arab Saudi. Kemudian pada tahun 1911 Haji Agus Salim pulang ke Indonesia dengan membawa pengetahuan dan pengalaman agamanya serta bahasa Arab yang ia miliki dari bekerja di Arab Saudi.

Setibanya di Indonesia, Haji Agus Salim bekerja di BOW Jakarta. Kemudian setahun kemudian, ia pulang ke kampung halamannya ke Koto Gadang dan mendirikan sekolah Hollandscb Indlansche (HIS) pad 1912.

Selanjutnya Agus Salim bekerja di Jawa pada 1915 pada Translateur Bureau di kantor Translateur Indonesische Drukkery hingga dua tahun berikutnya. Setelah itu ia ditunjuk memimpin surat kabar Neratja, organ Sarekat Islam (SI) yang didirikan HOS Tjokropaminoto. Ia juga menjadi ketua redaksi untuk seksi bahasa Melayu pada kantor Komisi Bacaan Rakyat yang kemudian menjadi Balai Pustaka.

 

 

Karier Politik

Agus Salim mengawali karir politiknya di Sarekat Islam (SI) bersama dengan HOS Tjokroaminoto dan Abdul Muis sejak tahun 1915. Organisasi ini banyak menyuarakan kepentingan perjuangan Bangsa Indonesia dan ia mulai mengecam tidakan pemerintahan Hindia Belanda.

Kemudian pada 1930 namanya mulai dikenal setelah pidatonya ketika menghadiri Koferensi Perubahan Internasional di Jenewa, Swiss. Di sana ia menyampaikan pidatonya bahwa Indonesia mempunyai kecerdasan yang tinggi dan mampu menguasai bahasa bahasa-bahasa asing, ia juga pernah mendirikan Partai Penyadar.

Menjelang akhir pemerintah Jepang, Haji Agus Salim menjadi anggota paitia 9 BPUPKI dan PPKI yang tugasanya mempersipakan kemerdekaan Indonesia dan merumuskan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Selain itu ia juga ikut merumuskan Piagam Jakarta menjadi pengahalus bahasa dalam menyusun batang tubuh UUD 1945.

Setelah kemerdekaan, pada 1945 Haji Agus Salim menjadi Menteri Luar Negeri dalam Kabinet Perdana Menteri Sutan Sjahrir dan ia juga pernah menjadi Menteri Luar Negeri dalam Kabinet Hatta. Haji Agus Salim tutup usia pada 4 November 1954 di RSU Jakarta, dan jenazahnya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Nasional Kalibata, Jakarta.

Bergelar The Grand Oldman

Haji Agus Salim dikenal dengan julukan The Grand Oldman atau Orang Tua Besar. Hal tersebut tidak terlepas dari kecendikiawanannya, berorasi dan berdiplomasi. Haji Agus Salim dikenal fasih berbicara dengan sembila bahasa, mulai dari bahasa Minang, Melayu, Belanda, Ingrris, Jerman, Prancis, Arab, Turki hingga bahasa Jepang serta kontribusinya terhadap pembentukan bangsa dan kemerdekaan Indonesia.

Kemudian, atas pengalamanya dalam bidang jurnalimse Haji Agus Salim juga juga dipercaya sebagai Ketua Dewan Kehormatan Persatuan Wartawan Indonesia tahun 1952.

Atas dedikasiya terhadap bangsa dan negara semasa hidupnya, Agus Salim dianugerahi gelar Pahlawan Nasional melalui Keputusan Presiden RI No. 657 Tahun 1961 tanggal 27 Desember 1961. Kemudian mamanya diabadikan sebagai nama jalan di sejumlah daerah dan kota di Indonesia, serta sebagai nama sebuah gelanggang olahraga di Padang, Sumatera Barat.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya