Liputan6.com, Jakarta - Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Sandiaga Uno mengklaim polusi udara Jabodetabek belum terlalu berdampak pada perekonomian, khususnya target pencapaian kunjungan wisatawan mancanegara dan wisatawan nusantara. Namun, ia meyakini tanpa penanganan yang segera, hal itu akan menimbulkan kerugian yang signifikan.
"Dampak ekonomi luas, tidak hanya di sektor parekraf bisa cukup besar. Estimasi 20-30 triliun rupiah," kata Sandi dalam The Weekly Brief with Sandi Uno di Jakarta, Senin (21/8/2023). Angka tersebut diperoleh berdasarkan data riset Greenpeace Asia Tenggara pada 2020 dan IQAir pada 2023.
Advertisement
Sejumlah langkah untuk menurunkan tingkat polusi udara dilakukan, termasuk mewajibkan work from home (WFH) bagi ASN selama tiga bulan ke depan dan penggunaan kendaraan listrik yang dianggap lebih rendah emisi karbon. Pihaknya sudah mengeluarkan surat edaran pada 16 Agustus 2023 tentang Pelaksanaan Tugas Kedinasan bagi Pegawai Kantor Pusat di Lingkungan Kemenparekraf.
"Ini respons cepat atas arahan dari Bapak Presiden, karena kita akan menjadi penyelenggara dari beberapa event-event internasional, seperti KTT ASEAN dan FIBA World Cup, dan ini kita pastikan agar polusi udara di Jakarta tidak semakin memburuk," sambung Sandi.
Meski begitu, langkah yang diambil pemerintah disangsikan oleh pihak swasta. Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Hariyadi Sukamdani menilai bahwa langkah-langkah yang diambil pemerintah itu tidak sepenuhnya menyelesaikan masalah polusi.
"Dengan menyuruh orang pakai masker, beralih ke mobil listrik, ya menurut saya enggak menyelesaikan masalah juga, selama sumber polutannya enggak diberesin," ucapnya ditemui di kesempatan yang sama.
Diminta Usut Sumber Polutan Sebenarnya
Ia membandingkan situasi polusi saat ini dengan awal kebijakan pembatasan mobilitas dicabut yang memungkinkan orang kembali beraktivitas di luar ruang. Menurutnya, kondisi jalanan saat itu juga sudah dipadati kendaraan, tetapi tingkat polusinya tidak seburuk saat ini.
"Ini ada dugaan polutannya dari PLTU yah. Mesti dicari tahu betul, betul enggak? Kalau PLTUnya enggak diberesin, mau berganti ke mobil listrik, percuma juga. Harus dilihat betul sumber polutannya apa," sambung dia.
Perihal penggunaan energi berkelanjutan di hotel dan tempat wisata, Hariyadi mengaku belum ada arahan spesifik. Lagi pula, ia menilai aturan pemerintah masih membingungkan dengan pelaksanaan di lapangan. Ia mencontohkan soal pemakaian tenaga surya yang dibatasi hanya 15 persen.
"Kenapa? Karena PLN enggak mau beli. PLN-nya oversupply. Konyol kan?" ucapnya.
Ia juga mengkritik PLTU yang terus beroperasi meski disinyalir menyumbang emisi karbon yang tinggi. Di sisi lain, pembangkit listrik yang lebih berkelanjutan, seperti dari sampah, malah tidak didukung.
"Pakai tenaga surya dibatasin, waste energy, sampah sekarang dialihkan pakai RDF. Mau kapan kelarnya? Padahal, sampah dibakar jadi energy, itu kan renewable kan? Itu enggak didukung," kata Hariyadi.
Advertisement
Munculkan Kekhawatiran
"Ini peer juga, bahwa pemerintah pusat maupun daerahnya enggak sinkron. Sekarang kejadian kaya disuruh beralih ke mobil listrik tapi PLTU-nya masih pakai batubara, enggak nyambung juga. Yang bikin rumit pemerintah sendiri juga, mau apa sebenarnya?" ia menambahkan.
Karena itu, Hariyadi mengatakan penggunaan energi berkelanjutan di sektor pariwisata tidak akan signifikan menurunkan tingkat polusi di Jabodetabek. "Kita melakukan kalau sumber polutannya enggak diberesin gimana? kalau mau serius, semua dilakukan. sampai hari ini masih belum clear dapat dari mana sih ini?" ucapnya.
Sejauh ini, polusi di Jabodetabek masih belum berdampak pada pembatalan kunjungan, khususnya dari mancanegara. Itu tak berarti pihaknya tidak khawatir kondisi tersebut.
"(Kekhawatiran) ada, orang mau liburan kan mau senang-senang. Kalau kena polutan, ya malas juga, siapa yang mau pergi. Cari yang lebih sehat udaranya lah," sambungnya.
Mulai Kebanjiran Pasien ISPA
Di tengah polusi udara di Jakarta yang memburuk, masyarakat mulai mengeluhkan sejumlah penyakit pernapasan seperti Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) dan gejala batuk-batuk juga sesak napas.
Seperti yang dikatakan Direktur Utama RSUP Persahabatan Jakarta, Agus Dwi Susanto bahwa di rumah sakit tempatnya bekerja memang terjadi kenaikan jumlah pasien yang mengalami penyakit pernapasan, salah satunya ISPA.
Walau begitu, Agus belum dapat memastikan apakah pasien ISPA yang datang ke RSUP Persahabatan akibat terpengaruh polusi udara. Ini karena harus membutuhkan kajian yang lebih mendalam.
"Belum bisa dinilai terkait polusi, karena belum dikaji secara ilmiah dengan data-data polutan sekitar rumah sakit," kata Agus saat dikonfirmasi Health Liputan6.com melalui pesan singkat pada Minggu, 20 Agustus 2023.
Agus mengungkapkan bahwa sudah ada studi penelitian tentang dampak polusi udara terhadap kesehatan di RSUP Persahabatan Jakarta pada 2019. Sedangkan, untuk dampak polusi udara yang terjadi pada saat ini belum ada studinya.
"Kalau asma dan Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK), saya ada kajian tahun 2019 di RS Persahabatan," katanya.
Advertisement