Liputan6.com, Jakarta Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo menyatakan penurunan inflasi Indonesia menjadi salah satu yang tercepat di dunia. Perry menuturkan penurunan inflasi hingga bulan Juli, sudah turun hingga angka 3,08 persen dan akan diperkirakan terus menurun.
"Inflasi (Indonesia) turun dengan cepat, salah satu yang tercepat di dunia," ujar Perry dalam acara Pertemuan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral ASEAN ke II, Jakarta, Selasa (22/8).
Advertisement
Gubernur BI itu juga menerangkan, bahwa defisit transaksi berjalan sangat rendah, dan nilai tukar rupiah dinyatakan menunjukkan kinerja yang lebih baik, walaupun baru-baru ini sempat mengalami depresiasi, serta pinjaman perbankan yang diperkirakan akan tumbuh 9 persen hingga 11 persen.
"Nilai tukar rupiah sampai saat ini adalah apresiasi meskipun baru-baru ini terdepresiasi. Dan yang tak kalah pentingnya, pinjaman tumbuh 9 persen hingga 11 persen tahun ini (2023)," jelas Perry.
Kebijakan Penurunan Inflasi
Di sisi lain, Perry menerangkan beberapa negara di dunia memiliki kebijakan masing-masing untuk menurunkan inflasi. Salah satunya di Amerika Serikat (AS), yang mana AS menaikan suku bunga mereka untuk melawan inflasi.
"Di AS berjuang hanya menggunakan satu suku bunga untuk melawan inflasi. Butuh waktu sangat lama dan sekarang resesi. Eropa, inflasi tinggi sangat tinggi," tuturnya.
Sedangkan Indonesia sendiri, bukan hanya melakukan kenaikan suku bunga, namun pemerintah juga untuk memperkuat koordinasi kebijakan untuk menjaga makroekonomi dan mendorong pertumbuhan ekonomi nasional serta memuat koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah.
"Kita harus menjaga stabilitas harga, stabilitas keuangan, tetapi kita juga harus mendukung pertumbuhan ekonomi. Kita harus mampu menahan guncangan global. Mengapa kebijakan moneter terbuka saja? Tidak hanya menggunakan suku bunga tetapi juga kebijakan nilai tukar," tambahnya.
Reporter: Siti Ayu Rachma
Sumber: Merdeka.com
Inflasi Menggila, Pengeluaran Rumah Tangga di AS Naik Rp 10 Juta
Inflasi Amerika Serikat menimbulkan dampak yang cukup signifikan pada anggaran rumah tangga di negara itu.
Mengutip CNN Business, Senin (14/8/2023) Moody's Analytics mengungkapkan bahwa rata-rata rumah tangga di Amerika membelanjakan USD 709 atau Rp. 10,8 lebih banyak pada bulan Juli dibandingkan dua tahun lalu untuk membeli barang dan jasa yang sama.
Angka itu menggarisbawahi dampak kumulatif inflasi yang tinggi terhadap keuangan konsumen, bahkan ketika pertumbuhan harga telah menurun drastis dalam beberapa bulan terakhir.
"Inflasi tinggi selama 2+ tahun terakhir telah menyebabkan banyak kerusakan ekonomi," tulis Mark Zandi, kepala ekonom di Moody's Analytics, dalam sebuah postingan di X, platform yang sebelumnya dikenal sebagai Twitter.
Zandi mengungkapkan, sebagian besar peningkatan pengeluaran didorong oleh biaya perumahan, yang telah melonjak.
Dia menambahkan bahwa keluarga di AS juga membelanjakan lebih banyak di toko bahan makanan; membeli, merawat dan mengasuransikan kendaraan dan layanan rekreasi seperti kabel.
Tentu saja, gaji juga meningkat selama dua tahun terakhir, meski tidak sebesar biaya hidup. Meskipun harga melonjak, pendapatan riil, yang disesuaikan dengan inflasi, tertahan di level akhir 2019.
"Penghasilan nyata tetap di bawah apa yang seharusnya jika bukan karena pandemi dan perang Rusia Ukraina, yang membebani jiwa kolektif," ungkap Zandi dalam sebuah pesan email.
Kabar baiknya adalah, upah di AS akhirnya mulai melampaui inflasi dan pertumbuhan harga konsumen telah menurun secara signifikan, sehingga banyak investor yakin bahwa Federal Reserve akan segera menghentikan kenaikan suku bunga.
Advertisement
Inflasi AS
Melihat tahun lalu saja, Zandi menghitung bahwa rumah tangga di AS pada umumnya membelanjakan USD 202 lebih banyak pada bulan Juli ini daripada tahun lalu untuk membeli barang dan jasa yang sama.
Itu memang kenaikan yang signifikan, tetapi masih di bawah puncak USD 536 untuk metrik tahun-ke-tahun ini — rekor mencapai Juni 2022, ketika harga gas melonjak di atas USD 5 per galon untuk pertama kalinya.
Seperti diketahui, inflasi AS menyentuh 3,2 persen pada bulan Juli, menurut laporan resmi pemerintah. Meskipun sedikit lebih tinggi dari tingkat inflasi tahunan di bulan Juni, sebagian besar dampaknya didorong oleh efek kalender.
"Singkatnya, laporan itu menggembirakan," tulis ekonom Bank of America dalam sebuah catatan kepada klien, menambahkan mereka "tidak akan terkejut melihat pembacaan inflasi yang lemah" di bulan Agustus.
Meskipun pembacaan inflasi dari bulan ke bulan "masih cenderung bergelombang," ekonom Bank of America mengatakan mereka "percaya bahwa disinflasi saat ini bukanlah 'kabar palsu'."