Liputan6.com, Jakarta - Serikat buruh menuntut pemerintah menaikkan upah minimun kabupaten dan kota atau UMK dan upah minimum provinsi atau UMP 2024 sebesar 15%. Tentu saja tuntutan buruh ini langsung ditolak oleh pengusaha.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Kamdani menjelaskan, Apindo akan mengadopsi formula perhitungan kenaikan upah buruh sesuai aturan yang berlaku. Seperti diketahui, selama ini formula perhitungan kenaikan upah buruh mengacu pada pertumbuhan ekonomi dan angka inflasi.
Advertisement
"Kita harus ikuti formula (kenaikan) upah saat ini," ujar Shinta di Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Jakarta Pusat, Selasa (22/8/2023).
Saat ini, Apindo masih menunggu revisi terkait aturan pengupahan yang masih di godok pemerintah. Nantinya, perhitungan formula kenaikan UMP 2024 akan mengacu pada regulasi anyar tersebut.
"Kan kemarin sudah dituangkan dari pada UU Ciptaker ke PP (peraturan pemerintah) turunannya PP 35 36 yang sekarang sedang direvisi. Jadi, kita mengikuti aturan pemerintah," bebernya.
Shinta menekankan besaran kenaikan upah pada 2024 juga tidak bersifat nasional. Melainkan, disesuaikan dengan kemampuan masing-masing daerah.
"Semua itu kan dasarnya, kita ada UMR dari segi provinsi, kabupaten, kota, jadi gak ada kenaikan semua, sekian persen itu tidak ada. Itu ada formula yang harus diikuti," ucap Shinta mengakhiri.
Reporter: Sulaeman
Sumber: Merdeka.com
Tuntut UMK dan UMP 2024 Naik 15%, Buruh Demo Besar-besaran 26 Juli 2023
Sebelumnya, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal mengatakan, buruh menuntut pemerintah menaikkan UMK dan UMP 2024 sebesar 15%. Usulan kenaikan UMP tersebut diperoleh dari hasil survei lapangan Kebutuhan Hidup Layak (KHL), serta indikator makro ekonomi, yakni inflasi dan pertumbuhan ekonomi.
“Partai Buruh bersama KSPI meminta kepada pemerintah pusat dalam hal ini Kemenaker RI dan seluruh gubernur/bupati/walikota, dalam menetapkan kenaikan upah minimum UMP/UMK 2024 sebesar 15%, atau setidak-tidaknya minimal 10%,” kata Said Iqbal dikutip Senin (24/7/2023).
Aksi Besar-besaran
Untuk memperjuangkan hal tersebut, para buruh berencana menggelar aksi besar-besaran pada hari Rabu (26/7/2023) mendatang. Selain terkait upah, aksi juga akan mengusung isu Cabut Omnibus Law UU Cipta Kerja, Tolak Presidential Threshold, dan Cabut UU Kesehatan.
Lebih lanjut Said Iqbal menuturkan, terdapat tiga alasan mengapa para buruh meminta kenaikan upah di kisaran 10 hingga 15 persen.
Pertama, dari hasil survei KHL di 25 kota industri seluruh Indonesia, seperti Jabodetabek, Sidoarjo, Semarang, Makassar, Morowali, Batam, Mimika, dan Ambon, ditemukan kenaikan nilai KHL antara 12 hingga 15 persen. Adapun, survei dilakukan pada 2022, 2023, dan prediksi 2024.
Said mengungkapkan, terdapat 60 item dalam KHL yang mengalami kenaikan. Item tertinggi yang mengalami kenaikan berasal dari sewa rumah, utamanya di daerah industri pertambangan dengan rata-rata kenaikan 45 persen, ongkos transportasi 30 persen, dan pendidikan anak.
"Kedua, adalah makro ekonomi di mana menurutnya, kenaikan upah minimum adalah inflasi ditambah pertumbuhan ekonomi, walaupun dalam omnibus law disebutkan indeks tertentu," lanjutnya.
Pada kesempatan ini, Said Iqbal mengusulkan agar indeks tertentu di kisaran 1,0 hingga 2,0, bukan di bawah 1,0 agar disparitas tidak semakin tinggi.
Advertisement
Alasan Selanjutnya
Alasan ketiga adalah status Indonesia yang telah ditetapkan sebagai negara berpendapatan menengah atas (upper middle income country) oleh Bank Dunia pada Juni 2023. Negara dengan kategori ini memiliki pendapatan nasional bruto (PNB) per kapita sebesar US$4.466. Adapun, Indonesia pada 2022 tercatat memiliki PNB per kapita sebesar US$4.580.
“Kalau memang kita disebut [upper] middle income country, realita di lapangan dinaikkan dong 2024 upah ini. Maka kenaikan 10-15 persen masuk akal,” ujarnya.
Untuk memperjuangkan hal tersebut, para buruh berencana menggelar aksi besar-besaran pada hari Rabu (26/7/2023) mendatang. Selain terkait upah, aksi juga akan mengusung isu Cabut Omnibus Law UU Cipta Kerja, Tolak Presidential Threshold, dan Cabut UU Kesehatan.