Sutiyoso: Sampai Dower Bibir Saya Debat dengan DPRD soal Tarif Busway

Kini, Sutiyoso resmi bergabung dengan Partai NasDem dan dipercaya menjadi anggota Dewan Pertimbangan pada struktur Dewan Pimpinan Pusat (DPP) NasDem.

oleh Rinaldo diperbarui 24 Agu 2023, 20:42 WIB
Mantan Gubernur DKI Jakarta, Letjen TNI (Purn) Sutiyoso. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta Meski lama berkarier di militer, Letnan Jenderal TNI (Purn) Sutiyoso lebih populer sebagai Gubernur DKI Jakarta. Sebagai seorang perwira TNI, namanya gemilang di medan tempur. Namun, torehan prestasi selama memimpin Ibu Kota melalui sejumlah kebijakan dan program bagi warga Jakarta membuat namanya lebih dikenal.

Sutiyoso yang biasa dipanggi Bang Yos lahir di Semarang, 6 Desember 1944. Ia merupakan anak keenam dari delapan bersaudara. Ayahnya bernama Tjitrodiharjo dan Ibunya Sumini. Sejak kecil, Sutiyoso dapat didikan keras dari sang ayah yang membuat dirinya memahami bahwa hidup itu harus disiplin dan dibarengi kerja keras.

Tamat dari Sekolah Menengah Atas (SMA) di Semarang tahun 1963, Sutiyoso kuliah di Teknik Sipil Universitas 17 Agustus, namun hanya berlangsung setahun. Ia kemudian memilih pendidikan militer di Akademi Militer (Akabri) Magelang dan lulus pada tahun 1968.

Karier militer Sutiyoso terbilang cemerlang. Kenyang dengan pengalaman tempur dan operasi, dia juga menjabat beragam posisi antara lain Asisten Personel Kopassus, Asisten Operasi Kopassus, Wakil Komandan Jenderal Kopassus, hingga Kepala Staf Kodam Jaya di tahun 1994. Puncak karier militernya adalah menjadi Panglima Kodam Jaya pada tahun 1996.

Semasa menjadi Pangdam Jaya, Sutiyoso dikenal terutama lewat acara Coffee Morning yang digelar sebulan sekali. Pada acara itu dia berdiskusi dengan sesepuh dan tokoh masyarakat dalam kaitan dengan keamanan Ibu Kota.

Yang menarik, berakhirnya karier di militer tidak membuat Sutiyoso berhenti berkarya. Sebaliknya, prestasi demi prestasi dia catatkan selama memimpin Ibu Kota dua periode (1997-2002 dan 2002-2007). Bahkan, gaya kepemimpinannya disebut-sebut tak jauh berbeda dari mantan Gubernur DKI Jakarta yang legendaris, Ali Sadikin dengan melakukan sejumlah gebrakan membangun Jakarta.

Pada 15 Januari 2004, ia meluncurkan sistem angkutan massal dengan nama TransJakarta atau lebih populer disebut Busway sebagai bagian dari sistem transportasi baru kota. Sistem transportasi yang terintegrasi tersebut hingga kini terus berkembang dan menjadi salah satu kebanggaan warga Ibu Kota.

Mulai 4 Februari 2006, Sutiyoso melarang siapa pun yang berada di wilayah DKI merokok di sembarang tempat. Larangan merokok dilakukan di tempat-tempat umum, seperti halte, terminal, mal, dan perkantoran. Kebijakan yang efektif berlaku sejak 6 April 2006 tersebut hingga kini tetap dijalankan.

Pada 17 Januari 2007, ia mengeluarkan Peraturan Gubernur Nomor 5 Tahun 2007 tentang peniadaan semua ternak unggas di permukiman. Ia memberi batas waktu bagi warga Jakarta untuk menyingkirkan unggas dari lingkungan tempat tinggal pada 31 Januari 2007.

Pada 2 Maret 2007, ia membuka pusat layanan pesan singkat (SMS) untuk menampung berbagai keluhan warga Jakarta. SMS Center dikelola Biro Humas dan Protokol Pemprov DKI dijadikan bahan bagi gubernur dalam memperbaiki layanan publik dan kinerja aparat pemerintah di bawahnya.

Saat memimpin Jakarta, Sutiyoso satu-satunya gubernur yang mengalami lima kali pergantian Presiden RI. Sutiyoso mengalami masa Presiden Soeharto, BJ. Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, dan Susilo Bambang Yudhoyono.

Namun, hingga masa jabatannya berakhir ketika digantikan Fauzi Bowo yang memenangkan Pilkada DKI Jakarta 2007, janji untuk mengurangi kemacetan dan banjir di Jakarta tidak dapat dipenuhi, dua masalah pelik Ibu Kota yang juga sulit ditangani oleh gubernur penerus Sutiyoso.

Usai menjadi gubernur, Sutiyoso mencoba beralih ke dunia politik dengan bergabung ke Partai Keadilan Persatuan (PKP) besutan Jenderal TNI (Purn) Edy Sudrajat. Di tengah perjalanannya, PKP berubah nama menjadi Partai Keadilan Persatuan Indonesia (PKPI) dan Sutiyoso didaulat menjadi Ketua Umum PKPI 2010-2015.

Langkah PKPI pada Pilpres 2014 sebagai salah satu partai pengusung capres Joko Widodo berujung manis. Dengan semua pengalaman militer yang dia punya, Presiden terpilih Joko Widodo menunjuk Sutiyoso menjadi Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) pada tahun 2015.

Kini, pria yang menikah dengan Setyorini pada 1974 silam itu resmi bergabung dengan Partai NasDem dan dipercaya menjadi anggota Dewan Pertimbangan pada struktur Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai NasDem.

Lantas, apa lagi gebrakan yang akan dilakukan ayah dari Yessy Riana Dilliyanti dan Renny Yosnita Ariyanti ini? Berikut petikan wawancara Ratu Annissa Suryasumirat dengan Bang Yos dalam program Bincang Liputan6.

 


Tugas Tempur yang Terus Berlanjut

Mantan Gubernur DKI Jakarta, Letjen TNI (Purn) Sutiyoso. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Bang Yos sempat kuliah di Teknik Sipil di Universitas 17 Agustus 1945 atau Untag Semarang, tapi kemudian memilih berhenti dan masuk Akabri, kenapa?

Ya, itu hasil evaluasi yang dalam banget. Dua hari dua malam itu evaluasi. Waktu saya kuliah, yang pertama hati saya nggak di situ. Nah, yang kedua juga saya amat sadar, bahwa sebenarnya orangtua saya itu nggak mampu membiayai saya sepenuhnya.

Saya ambil contoh, sebagai mahasiswa teknik, saya mutlak harus punya meja gambar. Meja gambar itu kan mahal lah gitu ya untuk ukuran kita. Dan saya nggak pernah dibelikan. Saya tahulah nggak mampulah beli, karena bukan saya saja yang membutuhkan biaya, kan kakak-kakak saya ada yang kuliah juga.

Akhirnya saya evaluasi ya, bermenung-menung gitu, terus kuliah cuma kaya begini saja gitu. Saya gambar nebeng teman dan nunggu kalau dia sudah tidur baru saya gambar, terus-terusan kaya gitu. Dan saya sadar kampus bukan habitat saya, maka memang saya inginnya masuk militer gitu kan.

Kalau di militer, saya tidak perlu biaya rumah atau indekos, nggak bayar, makan nggak bayar, pakaian dapat, uang saku malah dapat. Nanti begitu lulus statusnya pegawai negeri, dapat gaji. Itu yang menggoda saya juga. Dan yang pasti nggak membebani orangtua itu tadi. Maka saya akhirnya mendaftarkan diri di Akademi Militer Nasional namanya. Dan alhamdulillah, dari ribuan calon, saya termasuk yang lolos, bisa diterima.

Sebelumnya sudah sempat kuliah berapa lama di Teknik Sipil Untag?

Mendekati dua tahun, hampir dua tahun. Jadi saya memang kehilangan waktu. Jadi bayangin ya, waktu saya masuk ke Akmil itu teman saya yang dulu sama-sama SMA, sudah tingkat dua mereka. Maka waktu pelonco kan aku nyonyor digebukin tiap hari sama mereka.

Tapi bisa ya mengejar ketertinggalan?

Ya bisalah, itu saya kan mulai di tingkat satu artinya kan? Tapi setelah jadi letnan kan yang senior-senior saya yang sudah mendahului itu kan ada yang berhenti sampai kapten, letkol, kolonel. Tentara kan begitu, tidak semua bisa mencapai di level elite perwira tinggi, ini kan tidak semua orang, hanya 10 persen saja barangkali yang masuk situ.

Saat Bang Yos berkarier di militer, kan kerap terjun ke medan tempur dalam berbagai operasi, di medan tempur atau operasi mana yang paling berkesan?

Ya kalau sering ditugaskan itu memang sebuah konsekuensi dari anggota pasukan khusus. Saya kira di semua negara juga seperti itu ya. Dan saya alhamdulillah termasuk yang sering jadi langganan dan itu adalah suatu kehormatan. Prajurit mendapatkan tugas di dalam operasi tugas tempur itu adalah suatu kehormatan.

Dari saya letnan, saya habis lulus itu ya terus kursus infanteri segala macam, terus langsung diberangkatkan ke Kalimantan Barat. Waktu itu masalahnya adalah ada PGRS/Paraku, itu adalah komunis perbatasan. Jadi kita joint operation dengan Malaysia. Di sana 10 bulan lalu ditarik, lalu kita latihan komando, terus saya masuk pasukan khusus.

Kemudian pada tahun 1974 saya dipanggil langsung oleh Ketua G-1 Hankam, kalau sekarang ini Asintel Hankam, itu Pak Benny Moerdani, untuk disusupkan sendiri ke TimTim melakukan operasi intelijen penyelidikan. Dan tentu saja tidak itu saja yang saya lakukan, termasuk saya membangun basic operasi untuk pasukan kita, masih di daerah kita ini.

Nah, setelah itu terjadilah operasi yang namanya Satgas Flamboyan. Jadi kita masuk secara fisik itu dengan pasukan, tapi pasukan itu sangat terbatas, kecil gitu. Ada tiga tim dan saya masuk membawa setengah tim dari tiga tim itu, setengah timnya saya bawa masuk.

Infiltrasi saya ke daerah musuh, daerah rawan ini kan ya, itu memang cukup jauh, 60 kilometer saya dari daerah batas Kota Suai namanya. Dan di situlah terjadi pertempuran yang sengit, karena yang jadi sasaran asrama militer dan asrama polisi ya. Dan untuk menjangkau tempat itu dan tidak bisa melewati jalan-jalan biasa, harus lewat gunung-gunung supaya nggak ketahuan, itu berhari-hari.

Nah, saat saya harus kembali ke Indonesia itulah dapat masalah lagi, karena mereka kan tentara masih utuh ya, Portugisnya juga masih ada. Jadi ada anggota yang luka tembak, ada yang hilang, nggak bisa gabung lagi dua orang itu kan dan saya harus menyelamatkan pasukan sisanya ini di mana musuh begitu banyak, dikepung di mana-mana dan saya mengalami kesulitan untuk bisa kembali lagi ke Indonesia.

Akhirnya logistik yang kita bawa itu ya habis, lama-lama kan habis ya, dan kita survival. Survival itu makan apa yang ada bisa kita ketemu, umumnya yang sering kita dapat adalah kelapa. Dan kampung-kampung itu juga sudah ditinggalkan, karena orang pada mengungsi sehingga nggak ada isi apa-apa. Itu kita alami dan dengan segala daya upaya dan pengalaman yang ada akhirnya saya bisa lolos masuk Indonesia ya.

Artinya semua pasukan Bang Yos bisa dibawa pulang?

Yang perlu dicatat adalah, alhamdulillah saya bisa menyelamatkan empat anggota saya yang luka, yang seharusnya sesuai perintah harus saya habisin saja. Tapi ternyata hati nurani sebagai seorang manusia gitu, walaupun kita sudah terlatih seperti itu tetap saja saya nggak tega. Dan nyatanya anak itu hidup sampai sekarang bisa saya selamatkan.

Setelah itu masih ada operasi lainnya?

Tentu saja. Setelah pulang dengan selamat, saya disekolahkan lagi di intelijen strategis, enam bulan baru laporan. Karena saya dan keluarga masih di Magelang, saya harus laporan ke Cijantung di markas komando kalau saya sudah selesai pendidikan intelijen.

Setelah laporan saya harus berangkat operasi lagi. Saya akhirnya berangkat di staf intelijen Hankam di Timtim, itu juga kira-kira 10 bulan mendekati 1 tahunlah. Sudah itu ditarik lagi karena harus sekolah, sekolah lanjutan perwira gitu.

Sampai saya berpangkat mayor, baru satu minggu kemudian saya dipanggil lagi, saya harus berangkat untuk mengatasi Gerakan Aceh Merdeka tahun 1978. Nah itulah operasi terakhir saya. Jadi tercatat Kalbar, Timtim tiga kali, sama Aceh.


Tak Pernah Pamit ke Keluarga

Mantan Gubernur DKI Jakarta, Letjen TNI (Purn) Sutiyoso. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Apa yang terjadi ketika Bang Yos memutuskan harus menyelamatkan anggota yang terluka di pertempuran?

Oh, itu berat sekali, benar ya. Saya sampai memohon-mohon kepada markas komando yang ada di Atambua agar ada helikopter yang bisa menjemput. Masalahnya kan helikopter yang adapun helikopter sipil yang kita sewa, pilotnya juga sipil, helikopternya juga satu sipil gitu. Mereka juga tahu kami lagi dikepung musuh. Itu kan amat riskan ya.

Tetapi dengan segala kemampuan kita yang ada ya dan saya harus memberikan apresiasi yang tinggi kepada pilot, saya sampai masih hapal, namanya Bambang Irawan, itu pilot Pertamina, akhirnya bisa mendarat walaupun dua kali mencoba dan yang pertama gagal, yang kedua akhirnya saya mohon lagi untuk sekali lagi dicoba agar saya bisa dengan cepat membawa anak-anak empat orang ini saya masukkan helikopter dan bisa dibawa.

Ketika mereka akhirnya dibawa, berarti beban saya berkurang. Paling tidak kita bisa melawan pengejaran-pengejaran itu tanpa harus terganggu oleh anak-anak yang terluka ini kan.

Ini operasi sangat rahasia, berarti Bang Yos tak pernah ada yang pamit ke keluarga?

Oh itu nggak boleh. Karena operasi rahasia nggak boleh pamit. Itu merupakan salah satu tekanan, bisa bocor kan operasi itu? Jadi waktu itu saya juga di-cover seakan-akan saya sekolah gitu kan ke Bogor, sekolah intelijen gitu kan, sementara keluarga ada di Magelang.

Baru tiga hari mulai, tiba-tiba saya diambil ke Cijantung sana. Saya baru tahu di Cijantung itu bahwa kita harus masuk ke sana gitu. Jadi saya juga nggak ngasih tahu istri saya. Istri saya tahu itu dan menduga-duga pada saat ada serangan Dili sudah terbuka kan, banyak yang gugur dan yang bisa dibawa lagi ke Jakarta.

Ada pemakaman di Taman Makam Pahlawan itu, istri kita kan Persit ikut upacara, lah baru tahu ini kan. Suami saya nggak pulang-pulang, katanya sekolah itu ternyata di situ, kira-kira menduga-duga gitu. Dan saya memang tidak bisa komunikasi. Zaman dulu kan nggak ada HP, nulis surat juga nanti ngeposkannya di mana sudah rumit lah gitu.

Dan saya sudah membuat satu apa namanya, sudah berpesan sama istri saya kalau saya lagi tugas. Kalau saya tidak ada berita berarti saya selamat, sudah gitu saja. Kalau ada berita malah itu ngga baik beritanya, itu saja.

Kita beralih sedikit, menurut Bang Yos apakah ancaman separatis masih menjadi PR untuk kita saat ini?

Ya pastilah. Separatis itu kan ingin memisahkan diri dari kita gitu ya. Dan saat ini yang namanya separatis itu ada di depan mata. Di Papua lah ya persisnya itu kan? Dan itu masalahnya kan sudah berlarut-larut, sekian tahun nggak selesai-selesai. Dia separatis itu sudah pasti ya, benderanya sudah bendera OPM, Papua Merdeka.

Lalu LSM yang ada di Papua pun juga kampanyenya itu selalu ada Papua merdeka. LSM yang di luar negeri yang berpusat di London yang dipimpin Benny Wenda itu juga berkampanye dukungan negara-negara anggota PBB untuk mendukung Papua merdeka. Jadi kurang apa lagi? Tetapi selalu saja kita sebut KKB, Kelompok Kriminal Bersenjata. Tengahnya ini apa? Apa artinya kriminal? Ya urusan polisi kan kriminal kan? Itulah yang terjadi selama ini.

Saya bukan merendahkan teman kita polisi, polisi itu sudah terlalu banyak diberikan tugas. Jadi perbandingan antara jumlah polisi dan yang harus diurusin masyarakat itu pun tidak sebanding gitu kan. Nah maksud saya janganlah kasih beban yang seperti ini dan dia bukan dilatih untuk menghadapi seperti ini. Kitalah yang dilatih seperti itu.

Di Kopassus itu kaya piramida susunan pasukannya ya. Ada tiga strata, yang paling besar namanya Para Komando. Para Komando itu di-organized seperti pasukan infanteri biasa, cuma lebih kecil dan kemampuannya lebih tinggi kan gitu.

Ada kelompok kecil itu yang disebut pasukan Sandhi Yudha. Pasukan Kopassus yang tugas-tugasnya intelijenlah gitu. Nah yang paling kecil namanya Detasemen Antiteror. Nah, saya lama sekali di pasukan Sandi Yudha. Jadi yang saya ceritakan itu tadi adalah tugas-tugas pasukan Sandi Yudha, terlatih kita untuk mengatasi hal seperti itu.

Karena kita bukan pandai bertempur saja, tetapi kita tahu intelijen, bagaimana menyelesaikan. Jadi kalau ditanya bagaimana caranya, tapi selalu kita harus mengedepankan namanya soft power gitu. Jadi menggunakan pendekatan lunak.

Melalui jalur diplomasi maksudnya?

Iya, masih kita tawarkan. Sudahlah kamu kembali lagi. Itulah yang saya lakukan di Aceh waktu menurunkan Din Minimi waktu saya Kepala BIN. Itu namanya soft power, yang saya dekatin saat tidur di sana dengan mereka, satu malam berunding akhirnya mereka turun, itu soft power. Itu bisa kita tawarkan juga ke kelompok di Papua sana gitu.

Nah teknisnya bagaimana? Teknisnya bisa melalui pimpinan agama ya, pastor gereja gitu di gereja ya, bisa melalui tokoh-tokoh masyarakat, bisa menulis selebaran kita pakai helikopter, dengan bahasa mereka tentunya kan, sampai dia yakin dan mengerti imbauan itu ya.

Persilakan, ayo kita bergabung lagi, kita selesaikan secara damai, tapi kan harus ada batas waktunya, katakanlah enam bulan. Setelah masa enam bulan itu ya kita gempur, kita habisin, apa urusannya?

Bagaimana kalau nanti dikatakan itu pelanggaran HAM?

Janganlah kita ini dihantui masalah pelanggaran HAM terus. Misalnya kejadian yang sama terjadi di Texas, negara bagian Amerika ingin memisahkan diri dari Amerika. Kira-kira apa yang dilakukan Biden? Digempur habis sama tentara, sama saja kan?

Kita masih melakukan cara yang lain, masih mengedepankan soft power dulu kan? Karena bagaimanapun mereka juga anak-anak bangsa kita. Kita sadarkan, tetapi sekali lagi kan ada batas waktunya. Kalau mereka terus ngotot?

Karena itu dalam operasi pun tetap norma-norma di dalam pertempuran itu kita jaga. Kalau tidak harus membunuh, walaupun sudah terjadi perang, kenapa harus kita lenyapkan? Tetap saja kita ada perlakuan-perlakuan hukum. Jadi secara pararel ada operasi intelijen, juga ada operasi teritorial di samping ada yang fokus mengejar mereka.

Apalagi sekarang ini sudah ada penyanderaan. Saya sudah nggak ingat lagi, mungkin sudah enam bulanan penyanderaan pilot yang warga negara New Zealand itu. Ya kita, kalau saya jujur saja ya, ya gemes ya tentu saja ada rasa malu gitu, masa sekian lama nggak bisa kita selesaikan.

Jadi semua cara memang ada konsekuensinya, tetapi kalau kita sudah melakukan yang terbaik, yang semua orang termasuk orang luar juga bisa menerima, sudah melakukan dengan cara kita akhirnya kaya gitu ya sudah, itulah hasil yang maksimal yang bisa kita lakukan.

Saya sendiri kan bukan bagian dari pemerintah ya. Apakah soft power itu sudah dilakukan atau belum saya kan tidak tahu. Tetapi kan namanya negara kesatuan itu harga mati, kalau dia memaksakan diri terus nggak mau diimbau, nggak mau diajak damai, terus apa yang kita lakukan kan? Kalau terjadi di negara lain pasti digempur dengan pasukan juga, kenapa kita jadi gamang pada saat terjadi di negara kita?

 


Membangun Jakarta dengan Ilmu Perang

Mantan Gubernur DKI Jakarta, Letjen TNI (Purn) Sutiyoso. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Dari militer Bang Yos kemudian memimpin Ibu Kota. Bagaimana kondisi Jakarta saat Bang Yos mulai menjadi gubernur dan apa yang menjadi prioritas?

Saya selalu saja dapat 'rezeki' gitu ya? Selalu menghadapi masalah yang peliklah gitu. Jadi saya kan jadi gubernur itu Oktober 1997, saat negara kita ini lagi ada krisis ekonomi, Asia Tenggara lah ya, termasuk kita tentunya. Nah, tujuh bulan setelah dilantik bulan Mei, terjadilah puncak dari krisis politik dan ekonomi berakumulasi menjadi krisis multidimensi.

Bukan masalah krisis saja, tapi juga sudah terjadi krisis moral segala macamnya. Ditandai dengan kerusuhan yang hebat di ibu kota Jakarta yang hancur-hancuran kota ini secara fisik. Lalu juga lengsernya pemerintahan yang sudah lama 32 tahun Orde Baru, terus muncullah orde yang belum pernah ada namanya Reformasi.

Jadi tentu saja perbedaan sistem seperti bumi dan langitlah. Ini sentralistik, ini justru desentralistik, gitu kan ya. Yang dilakukan secara top down zaman dulu sekarang bottom up, gitulah. Orang belum siap, masyarakat kita menerima demokrasi, kebebasan itu diterjemahkan seakan-akan apa saja boleh, gitu.

Gua nggak punya makanan kok di toko ada, ambil. Gua nggak punya motor di show room ada, ambil. Itu yang terjadi. Dari jarah-jarahan, bakar-bakaran, kota hancur-hancuran. Nah, untuk diketahui ya bahwa Jakarta ini dalam membangun Ibu Kota menyandarkan dari pajak. Kita kan tidak punya resources apa-apa kan?

Nah, pada saat seperti itu ekonomi lumpuh sama sekali, bahkan pertumbuhan ekonomi pun minus 17,49 persen gitu. Jadi APBD saya pertama tahun 1998 itu jumlahnya Rp 1,7 triliun. Rupiah kita bergerak antara 15 dan 16 ribu. Jadi uang nggak ada dan nilainya juga nggak ada.

Di sisi lain, pegawai kita yang sudah banyak ini dapat tambahan lagi. Sesuai Undang-Undang Otonomi Daerah, jadi kanwil-kanwil yang dulu ditangani pemerintahan pusat dilimpahkan ke provinsi. Itu tambahnya banyak sekali kita. Jadi jumlah 1,7 itu sudah habis untuk gaji pegawai-pegawai ini, sementara saya harus membenahi kota yang secara fisik itu hancur-hancuran semua.

Jadi apa langkah Bang Yos ketika itu?

Oleh karena itu kalau ditanya apa prioritasnya ya saya prioritas mengembalikan kehidupan sosial ekonomi lagi supaya bisa bergulir lagi. Bagaimana mau bergulir kalau pelakunya saja eksodus ke luar negeri? Paling dekat kaburnya ke Singapura.

Itu ada teknik untuk mengembalikan, itu saya ada teknik tersendiri, sehingga mereka percaya berangsur-angsur pulih lagi, bergulir, sampai ending-nya itu, saya kan lima tahun ya, jadi periode pertama saya menjabat itu 1997 sampai 2002.

Saya itu temanya survival saja, bagaimana menjaga Ibu Kota ini bisa survive, bisa melaksanan fungsi-fungsi terutama pusat pemerintahan itu tadi ya. Dan APBD kita sudah sampai ke angka Rp 9,6 triliun tahun 2002 dan rupiah kita sudah stabil di 10 ribu per US dolar. Jadi mulai saya memikirkan yang lain, alhamdulillah kepilih periode yang keduanya, gitu ceritanya.

Kemudian Bang Yos mulai memikirkan yang lain, termasuk kemacetan dan banjir.

Yes, macet dan banjir.

Nah menurut Bang Yos kenapa kemacetan di Jakarta sangat sulit untuk diatasi?

Iya memang sulit, tetapi bukan nggak bisa, pasti bisa. Begini ya, dalam militer itu berlaku motto yang selalu saya pegang, terutama di pertempuran. Kenali dirimu, kenali musuhmu, seribu kali perang, seribu kali menang. Itu kata Sun Tzu, itu ahli strategi Cina.

Nah, saat saya jadi gubernur saya pakai lagi itu. Kenali dirimu, aku gubernur dengan perangkat saya seperti ini. Kenali musuhmu, itu masalah. Maka kenapa Jakarta macet? Nah ini pelajaran lagi ya. Jadi pemimpin juga jangan terus merasa dirinya paling tahu, ngerti semuanya. Saya kira itu keliru.

Saya dari militer, latar belakangnya, barangkali kalau strategi pertempuran saya ngerti banget lah ya. Tetapi yang lain nggak ngerti, termasuk macet tadi. Ada ahlinya di sono, kenapa nggak saya panggil itu? Maka pakar-pakar transportasi dari berbagai universitas saya kumpulin satu tim. Bahkan beberapa saya ajak studi banding ke luar negeri.

Dan dari semua negara yang dikunjungi akhirnya saya berhenti di Bogota, ibu kota Kolombia, kenapa? Yang namanya Kolombia itu seperti Jakarta dulu, penduduknya banyak, semrawut lalu lintasnya, mengalami kerugian yang sangat besar setiap harinya dan bisa teratasi. Maka saya berhenti di sana, itulah makanya saya luncurkan namanya busway, ada MRT, itu sebenarnya saya adopsi dari sana.

Jadi, saat kita rapat pertama dengan ahli-ahli transportasi ini ya, di kantor saya, rapat pertama nggak ada lima menit. Karena saya hanya ngomong gini, Prof, saya ingin mengatasi kemacetan di Jakarta yang seperti ini, oleh karena itu tolong baca pertanyaan saya, jawab pertanyaan saya, terus saya tampilkan slide, mengapa Jakarta macet? Sudah dibaca? Sudah Pak Gubernur. Assalamualaikum, selesai.

Lantas apa jawabannya?

Tapi jawabnya dia berbulan-bulan baru disampaikan. Oleh karena itu saya tahu A sampai Z mengapa macet? Pertumbuhan jalan dibandingkan dengan pertumbuhan kendaraan bermotor, mobil angkutan berapa persen, mobil umum berapa persen, mobil pribadi berapa persen yang ternyata tidak sebanding.

Di Jakarta angkutan umumnya 20 persen, yang pribadi 80 persen. Di Bogota 20 persen kendaraan pribadi, 80 persen umum dan representatif kendaraan itu, bukan yang ada saat itu kebul-kebul itu nggak ada.

Representatif itu gini, satu aman, dua nyaman artinya yang pakai AC, bawa komputer bisa kerja gitu. Yang ketiga adalah tepat waktu. Telat ya 5 menit, bukan sampai setengah jam lamanya, nggak telat lagi itu. Lah yang keempat terjangkau tiketnya, karena ini kan menggunakan teknologi kan, mahal kan?

Nah terus bagaimana kalau nggak ada orang naik karena nggak bisa naik? Karena itu harus kita subsidi. Untuk menggolkan subsidi saja itu debatnya sampai ndower nih bibir saya dengan DPRD. Pak Gubernur, bagaimana kita harus mensubsidi lagi, apa keuntungan kita?

Saya jelaskan, keuntungan kita tidak langsung. Pada saat masyarakat pindah ke mobil transportasi yang representatif itu tadi berapa juta ditinggal di rumah kendaraan, berapa juta? Berapa juta galon yang bisa kita hemat?

Itulah keuntungannya. Keuntungan yang tidak langsung orang kerja tepat waktu semua sehingga produktif. Maka tembus kan, Rp 3.500 masa keliling Jakarta naik busway, karena itu disubsidi.

Setelah itu Bang Yos langsung bergerak?

Jadi setelah ngerti masalahnya kan, ayo kita serang sekarang, kalau perang kan gitu. Setelah tahu musuhnya kaya begitu, kita serang dengan cara begini, kita atasi sekarang dengan cara begini. Kalau dalam satuan komando itu singkatannya Jukcan, petunjuk perencanaan. Ini yang otak-otaknya encer ini yang merencanakan.

Misalnya petunjuk saya harus digelar kendaraan yang representatif. Kriterianya sudah saya sebut tadi. Yang kedua, moda apa pun saya nggak peduli, yang tahu professor ya. Yang paling penting bagi saya terintegrasi satu sama lain. Yang ketiga, saya minta jaringan transportasi kita juga mengakses tetangga kita, Depok, Tangerang, Bogor, Bekasi.

Mengapa saya meminta mengakses, karena saya sudah tahu berapa kendaraan yang masuk dari Depok setiap hari. Dari mana? Ya dari para tim itu tadi gitu lho. Jadi ini bukan perencanaan-perencanaan yang abal-abal. Ini adalah komprehensif rencana itu kan, tahu masalahnya dan pasti menyelesaikan masalah, saya yakin ini.

Terencana itu jadi ya ada tiga moda utama, cadangan satu. Moda utama apa? Yang paling besar adalah MRT, kereta bawah tanah. Dan rutenya dari mana sudah kita tentukan, dari Kota terus Harmoni, terus masuk Thamrin, Sudirman, sampai terus sana, sampai Fatmawati itu belok ke Lebak Bulus. Harusnya, MRT itu kita lanjutkan ke Depok sampai ke Bogor dan ada stasiun besar dan MRT itu supaya tidak mahal.

Yang penting kereta apinya keren, canggih, orang bisa main komputer pakai dasi jas nggak ada masalah. Jadi orang Depok, Tangerang sama Bogor tinggalkan kendaraan atau parkir di stasiun besarnya itu dan naik MRT. Nah bagaimana Tangerang dan Bekasi kita akses dengan busway. Tetapi masalahnya rencana saya dulu megapolitan nggak pernah dilanjutkan?

Kalau semua satu sistem dengan tetangga kita selesai semua persoalan. Ditambah lagi dengan yang namanya dulu monorel, tapi zaman Ahok diganti LRT, nggak ada masalah, itu juga mengakses Tangerang dan Bekasi, di samping melingkar yang namanya ada green line sama blue line gitu ya.

Nah terus yang paling besar itu ya di daratan ada busway 15 koridor ya, lalu ada alternatif namanya waterway gitu. Jadi antara MRT, LRT, busway, waterway terintegrasi. Maka dulu waktu saya membebaskan Banjir Kanal Timur, supaya Banjir Kanal Barat dan Timur itu menyatu kaya tapal kuda begini.

Ini sudah ditentukan dermaganya nanti di mana-mana sudah kita siapin sebenarnya. Ini hanya alternatif saja dan ide ini timbul setelah saya lihat Belanda sana lho. Jadi sungainya bersih, bisa untuk lalu lintas. Itu kan kalau ada di Jakarta kan keren gitu kan.

Tapi tidak semuanya terealisasi ketika itu?

Jadi sekali lagi ini bukan rencana abal-abal. Cuma zaman itu kan sekali lagi akibat kerusuhan tahun 1998 itu kepercayaan investor kepada kita hilang, terutama di Jakarta kan? Nah sekarang begini rumusnya itu ya, rencana setelah diekspose tim yang profesor-profesor transportasi itu, saya yakin ini menyelesaikan masalah jangka panjang dan tidak pernah saya mulai karena kita tidak bisa mendatangkan investor, sampai hari raya kuda juga ggak jadi-jadi itu, selalu gitu kan.

Jadi harus saya mulai, karena itu saya tanya sama tim itu, Prof pertanyaan terakhir, dari empat moda ini mana moda yang saya tidak perlu investor. Busway Pak? Jawabannya. Kenapa busway? Ya Pak, jalan sudah ada, Bapak tinggal pasang separator, halte kita bikin, bus kita pesan, sopir kita rekrut.

Pertanyaan terakhir dari terakhir sekali, dari 15 koridor mana koridor paling sibuk? Koridor 1 Pak, Blok M-Kota. Karena itulah cikal bakalnya Blok M-Kota kan, walaupun kemudian selesai sosialisasi saya digempur habis-habisan oleh banyak pihak, termasuk profesor juga ada yang mengatakan saya ini gubernur paling goblok yang pernah ada.

Padahal nyatanya sekarang busway jadi primadona transportasi masyarakat kan? Jadi ini pelajaran sekali lagi, seorang pemimpin itu kalau sudah meyakini kebijakan menyelesaikan masalah, ibaratnya ditodong pistol pun nggak akan berubah kita kan gitu, karena ini menyelesaikan masalah.

Artinya setiap kebijakan itu ada risikonya?

Pasti kebijakan itu nggak semua positif isinya, pasti ada yang negatifnya. Bagaimana kita meminimize negatifnya, nol persen nggak mungkin itu. Kalau kita takut ada efek negatifnya, nggak pernah ada kebijakan, semua kebijakan pasti ada negatifnya.

Nyatanya sekarang alhamdulillah saya mulai busway saya tiga tahun sisa jabatan saya dari 2004 sampai 2007 itu saya selesaikan 10 koridor, tujuh beroperasi, tiga infrastruktur dan dilanjutkan sama Fauzi Bowo kan, terus dengan gubernur-gubernur berikutnya gitu.

Saya kira busway hitungan saya kalau nggak salah masih kurang satu koridor. Tapi LRT yang ganti monorel dibangun, okelah. MRT juga di bawah tanah oke, tetapi kan belum selesai itu harus dilanjutkan lagi.

Kalau ini semua tersambung gitu sudah selesai itu masalah transportasi, tentu harus ada namanya Perda membatasi pengunaan kendaraan pribadi. Di mana-mana juga gitu, di Bogota juga ada, di Amerika juga ada, di Singapura apa lagi kan yang dekat itu. Jadi harus ada itu. Maka ya apa namanya kerugian moril maupun materil itu nggak terjadi lagi.

 


Rumitnya Mengalirkan Air dari 13 Sungai di Jakarta

Sekarang soal banjir, kenapa hingga kini tidak ada formula yang tepat untuk mengatasi banjir di Jakarta?

Oh ada. Itu sekali lagi nggak ada masalah, bisa diselesaikan kalau kita mau. Oleh karena itu, kenali musuhmu dalam dirimu lagi kan? Kenali musuhmu itu kan masalah mengapa banjir? Kan gitu. Ada tiga jenis banjir.

Kita itu ya, kota Jakarta ini kan tinggi ya, dari Puncak sana terus Bogor terus terendah terus ini laut pantai. Beda banget dengan Istanbul, ini bukit begini nah kotanya di sini nangkring di sini, nggak pernah banjir, lah kita kan kotanya di bawah.

Artinya apa? Artinya rawan dengan rob yang pasang kan? Kemudian studi banding lagi nih, ngeliat ke Netherlands lagi kan? Loh kota dikepung sama laut itu nggak pernah banjir gimana, belajar dari sana juga. Makanya ada konsep namanya Giant Sea Wall, tembok raksasa kita bangun dan ini fungsinya kecuali untuk air rob juga berfungsi sebagai jalan tol itu nantinya, sudah ada blueprint-nya, satu itu.

Nah yang kedua bagaimana? Jakarta ini 30 persen di bawah permukaan air laut, yang 30 persen di bawah permukaan laut itu menyatu, kita bikin saja danau yang besar kan? Ini kan mencar di mana-mana gitu. Karena itu tempat-tempat yang rendah di bawah permukaan laut ini kita pasang pompa-pompa air.

Sudah berapa banyak pompa air yang terpasang?

Zaman saya jadi gubernur baru 72, tapi sekarang sudah ratusan ditambah sama gubernur-gubernur berikutnya. Artinya ada jalan keluarnya, semua disedot dibuang ke sungai yang paling dekat.

Yang ketiga yang paling sulit adalah banjir yang diakibatkan 13 sungai yang mengalir dari selatan ini lewat Jakarta. Air itu kan rumusnya pengen cari lautnya dan lautnya nggak kulonuwun sama kita lewat Jakarta dan nggak tanggung-tanggung 13 sungai gitu loh.

Nah salahnya apa yang terjadi, bahwa 13 sungai ini mengalirkan air untuk ke laut kan? Tapi kenyataannya kan direklamasi lah, gitu istilahnya kan. Untuk apa coba? Untuk rumah kan? Itu umumnya pendatang-pendatang dari luar Jakarta itu kan? Akhirnya sungai itu tidak berfungsi normal.

Nah karena itu di dalam mengatasi banjir itu ada pekerjaan di hilir di Jakarta dan ada pekerjaan di hulu. Di hilir sudah saya ceritakan yang tiga macam itu, tetapi yang untuk 13 sungai harus ada normalisasi sungai. Sudah dikerjakan, saya yang mulai dari namanya Kali Angke.

Wah kaya perang dunia itu perlawanannya. Padahal rumah susun sudah kita siapkan, air bersih yang dulu sikatan gigi pakai air laut sekarang pakai air bersih. Selain itu, ada saja yang ngerecokin, LSM yang biasa anulah, aku sudah paham yang mana-mana itu. Sehingga sudah nggak ada cara lain, saya paksa mereka.

Nah, kalau dulu maki-maki saya, setelah dia tinggal di sana, nyatanya nyiumin tangan saya kalau saya ke sana kan. Tapi kan ini baru sebagian kecil dan satu sungai kan? Jadi harus diteruskan terus, ini memerlukan biaya yang besar tetapi harus dilakukan normalisasi sungai dikembalikan lagi, dilebarkan lagi, ditata lagi yang lebih baiklah yang bisa untuk jogging di pinggir kali.

Nggak terbayang juga kalau sungai-sungai di Jakarta jadi bersih dan bebas sampah, Bang Yos sudah punya konsepnya?

Jadi kalau dulu apa namanya, kota itu dulu dibelakangi gitu ya, rumah-rumah membelakangi sungai gitu kan. Jadi semua kotoran dibuang ke situ. Nah konsep yang baru adalah waterfront city. Jadi water ini di depannya dari rumah-rumah itu, jadi pasti bersih kalinya.

Nah ini belum selesai, masih jauh dari selesai kan, makanya masih kaya gini. Kalaupun ini sudah dikerjakan semua ya, mengandai-andai ya, tadi sudah ada Giant Sea Wall ya, terus ada lagi tadi pompa-pompa, lalu ada normalisasi, drainase sudah keren semua, bebas banjir? Tetap saja tidak.

Pada saat curah hujannya tinggi juga tenggelam kita karena memang medannya seperti itu. Jadi bagaimana dong? Ya itu tadi, maka konsepnya ada di sana, namanya mempertahankan resapan air, harus ketat sana, nyatanya jebol terus kan. Oke, kalau begitu harus kita bikin namanya situ-situ raksasa, waduk-waduk besar di selatan.

Dulu saya rencanakan ada empat, untuk apa? Untuk membelokkan sungai ke situ sebelum masuk Jakarta belokkan ke mana-mana gitu. Jadi fungsinya waduk-waduk raksasa ini fungsinya pada saat musim hujan adalah kantong air, tempat rekreasi ya kan, tempat olahraga juga kan.

Nah, pada saat kemarau dia adalah untuk irigasi. Jadi multifungsi sebenarnya kalau kita bikin. Dari empat, satu pun kan belum pernah. Masalahnya ini kan tidak bisa dikerjakan oleh DKI, karena ini masuk provinsi Jawa Barat, ada yang masuk Banten, karena itulah harus pemerintah pusat. Jadi itulah rumitnya. Kalau kerjaan hilir sudah kelar di Jakarta dan ini juga sudah dibangun, ya selesai masalah banjir.

 


Kerennya JIS dan Pindah ke IKN

Mantan Gubernur DKI Jakarta, Letjen TNI (Purn) Sutiyoso. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Polemik tentang plus-minus Jakarta International Stadium atau JIS hingga kini belum berhenti, bagaimana Bang Yos melihatnya?

Saya ketawa sedikit dulu ya. Maksudnya begini, mari kita coba gunakan logika sederhana ya. JIS itu menghabiskan dana setahu saya nih, Rp 4,5 triliun, bukan sedikit uang itu. Dan secara fisik kita lihat kan megah kaya itu kan, kerenlah saya jujur saja ya.

Dan itu mimpi saya, karena waktu itu di akhir jabatan saya, saya hanya mampu membebaskan lahan itu. Itu adalah sumbangan dari para developer. Terus oleh berikutnya sudah dibebaskan ada sertifikat dan dibangun oleh Anies gitu. Dengan dana segitu dan terlihat keren, pastilah ya sudah memenuhi standar internasional, bukan barang ecek-ecek berarti JIS itu kan?

Artinya semuanya ya, fasilitas di dalam, termasuk rumputnya, harusnya kan memenuhi standar, logikanya. Pasti konsultan yang dipakai juga konsultan asing yang tahu masalah sepakbola gitu kan? Nah, bahwasanya kemudian kita lalu dapat kehormatan jadi tuan rumah kejuaran dunia umur 17 sepakbola itu kan suatu kehormatan luar biasa dan tidak boleh gagal.

Nah kalau JIS ada kekurangannya, mungkin rumputnya nggak terpelihara ya sudah dandani saja, nggak ada masalah. Maksud saya nggak usahlah kaya-kaya gini dibawa ke ranah politik, gitu lho.

Mari semuanya kita fokus ya kita bantu PSSI bagaimana supaya sukses ini, supaya nanti World Cup suatu saat, termasuk yang saya kepengen Women's World Cup ayo di Indonesia sekali-kali gitu lho.

Kalau terjadi, kita akan panen turis gitu kan. Kita fokus ke situ sajalah, semua pihak mendukung supaya hajatan itu sukses dan tercatat di FIFA sana. .

Apa harapan Bang Yos untuk Gubernur DKI Jakarta berikutnya?

Begini ya, memang Jakarta ini provinsi yang paling sempit secara wilayah ya. Tetapi masalah yang ditangani Jakarta itu bukan masalah lokal saja, tapi juga nasional dan internasional. Dan Jakarta ini bisa dikatakan miniaturnya Indonesia.

Tidak ada ya negeri seperti Indonesia, di mana adat istiadat, budaya bermacam-macam begitu. Bahasa, suku, ini jumlahnya ratusan ya, agama ada enam. Mana ada agama sampai enam kecuali di Indonesia. Ini adalah suatu kekayaan, anugerah Allah yang luar biasa itu. Tapi ini sebenarnya juga potensi konflik, iya kan?

Selain itu, penduduk DKI Jakarta itu ibaratnya dari tukang batu sampai RI-1 ya kan? Semua KTP DKI. Tahu nggak, antara tukang batu dan RI-1 tengahnya ini apa? Ini macan semua isinya, pokoknya maunya sudah komentarin saja yang bukan bagiannya. Kalau di negara lain, provinsi lain kan nggak akan direcokin kaya gitu, aku kenyang itu.

Apalagi saat dulu namanya DPR, mulai DPRD sampai DPR RI, itu hanya tukang stempel saja, dulu ibaratnya kan gitu. Sekarang setelah reformasi dialah yang berkuasa daripada eksekutif, lebih kuasa legislatifnya. Kapan lagi gebukin gubernur ini, gitu kan?

Jadi seperti itu situasinya, apa pun pokoknya harus ditolak, kaya yang tadi ditolak. Busway tolak saja, kan gitu kan, jadi nggak mudah, karena macan semua isinya kan. Jadi artinya, memimpin lahan yang banyak macannya binatang buas semua ini, gubernurnya harus lebih buas dari binatang-binatang buas itu kan?

Artinya bukan anak-anak yang kemarin sore, mestinya orang yang sudah punya jam terbang, punya pengalaman lah. Karena ini memang sungguh beda. Saya sudah lakonin itu kan, semua kemampuan saya curahkan ya. Kalau di militer tuh gampang banget karena hanya perintah laksanakan, itu saja.

Ini kan kebijakan kita gali bottom up, ada prosesnya. Belum nanti DPRD yang lagi berkuasa itu tadi, kita diwajibkan laporan tiap tahun, laporan tahunan kan, laporan belum dibuat sudah koar-koar, nanti laporan gubernur akan kita tolak. Lho dibuat saja belum kok ditolak?

Ya itu kan seni memimpin, bagaimana caranya mengatasi keruwetan itu, tapi semua kan harus jalan. Jadi sekali lagi, harus yang dewasa itu dalam arti yang luas ya. Dewasa yang saya anggap dia punya jam terbang sebelumnya, dia punya integritas dirinya, itu kadang gangguannya juga luar biasa. Dia punya keberanian juga memimpin daerah seperti ini.

Tahun 2024 mendatang ibu kota RI bakal pindah ke IKN Nusantara, Bang Yos setuju?

Sudah nggak waktunya lagi bicara setuju apa tidak, karena sudah pasti, sudah pasti pindah kok. Nanti upacara 17 Agustus tahun depan kan sudah di sana. Jadi gini ya, memindahkan ibu kota ya saya berasumsi, bahwa pemerintah itu pastilah sudah mempertimbangkan berbagai aspek memindahkan.

Misalnya aspek historis, kenapa sih dulu Jakarta kok jadi ibu kota negara, ini ada sejarahnya ya. Dua adalah aspek geografis ya, apakah di IKN itu di sana sudah tepat? Yang saya tahu ya, saya bukan ahlinya, di sana itu persis di ekuator ya kan. Artinya panasnya itu maksimal, karena saya pernah di Pontianak.

Terus di bawah lahan itu setahu saya itu mengandung batubara. Nggak tahu ini, ini ilmiah ya, saya hanya menduga-duga saja, mungkin suhunya juga akan panas karena itu ya.

Yang tidak kalah pentingnya adalah ekonomis. Kita sudah tahu berapa biaya untuk menyelesaikan ibu kota negara itu kan. Saya berasumsi, karena saya bukan di dalamnya ya, pemerintah sudah siap membiayai ini kan, itu asumsi saya gitu, artinya ekonomis.

Tidak kalah pentingnya mungkin aspek psikologis. Mungkin orang sudah merasa mapan di Jakarta ini, kaya saya begini ini tiba-tiba suruh pindah kan. Waduh, sakit gigi juga kita kalau disuruh pindah kan, saya sudah mapan di sini masalahnya.

Ada juga orang yang misalnya di Bekasi ya, dia pegawai negeri dari Kemlu, Kementerian Luar Negeri, dia harus pindah ke sana kan? Tapi kebetulan istrinya itu adalah kerja di Pemda Bekasi. Bagaimana kalau pindah, padahal selama ini dikumpulkan gaji dua orang ini untuk menghidupi keluarga ini sehingga bisa kuliah di UI, misalnya anaknya kan. Pada saat dia harus pindah kan pindah semuanya, atau harus pisah?

Jadi yang pindah tidak hanya orang per orang?

Ini kan sekali lagi masalah psikologis, karena yang kita pindahkan nanti bukan hanya yang PNS saja, dia kan anak istrinya akan dipindahkan semua. Jadi mungkin ada aspek-aspek lain yang perlu kita pertimbangkan. Sekali lagi, saya berasumsi hal-hal ini sudah dipertimbangkan oleh pemerintah sehingga sudah final sekarang pindah ke sana gitu kan.

Saya hanya bisa menitipkan urun rembuk saja ya, bahwa ibu kota baru itu karena mungkin alasannya juga karena Jakarta ini sudah penuh sesak kaya begini karena apa? Karena Jakarta ini mengemban multi fungsi, pusat pemerintahan, pusat perdagangan ekonomi, pusat pendidikan, pusat budaya, jadi pusat berbagai pusat.

Zaman saya zaman krisis ya waktu itu setiap bulan pasca-Lebaran 250 ribu orang bertambahnya. Kita bisa ngerem kelahiran di Jakarta, tetapi ini orang kan nggak bisa saya tolak. Walaupun KTP-nya bukan DKI tapi di tempat saya tetap saja jadi urusan saya, gitu kan? Nah, sekali lagi, bahwa masalah pemindahan ibu kota ini banyak aspek-aspek yang harus kita pertimbangkan.

Saran Bang Yos untuk IKN ke depan?

Saya menitipkan tadi ya, hendaknya ibu kota negara yang baru itu saya sarankan mengemban satu fungsi saja, pusat pemerintahan, kaya Canberra. Tahun 1989-1990 saya di sana, saya sekolah di Canberra. Itulah ibu kota yang menurut saya paling keren itu. Jadi itu dirancangnya saja perlu waktu enam tahun. Yang memenangkan itu insinyur dari Amerika.

Jadi ditata demikian rapinya, hutan kota itu di mana-mana, terus sentra ekonomi di sana, permukiman di sana ya, terus pendidikan di sana, sampai perumahan-perumahan untuk diplomat di sebelah sana itu teratur rapi. Bayangkan ya, waktu tahun 1990 itu hanya 250 ribu orang saja, karena itu di sana tidak ada airport internasional. Kalau kita mau ke Canberra pasti turun Sydney atau Melbourne baru nanti domestik ke Canberra.

Nah, ini hanya saran pemikiran saya berdasarkan pengalaman, kalau pengen nyaman ya fungsi satu saja bawa ke sana, fungsi lain biarkan tinggalkan di sini.


Bergabung ke Nasdem dan Pilihan Capres

Mantan Gubernur DKI Jakarta, Letjen TNI (Purn) Sutiyoso. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Sekarang Bang Yos menjabat sebagai anggota Dewan Pertimbangan DPP Partai Nasdem, kenapa memilih Nasdem?

Mengapa milih Nasdem? Ya memang partai itu banyak ya, kenapa ke Nasdem? Apa ya alasannya ya? Bingung juga saya jawabnya.

Pertama aku ketemu Pak Siswono gitu ya. Pak Siswono itu sahabat kakak saya gitu, saya juga kenal seperti kakak saya. Terus saya juga dipertemukan Pak Surya Paloh. Nah, kebetulan saya itu mempunyai hubungan yang akrab dengan Pak Surya Paloh. Saat mulai jadi Panglima Kodam itulah hubungan kita sudah teman dekatlah.

Kemudian juga jujur saja, naluri politik saya itu kan nggak bisa hilang juga ya. Saya pernah memimpin partai politik, pernah terlibat di pemerintahan gitu kan. Jadi pemikiran-pemikiran kita itu kan nggak akan pernah hilang kan, karena kita mempunyai rasa tanggung jawab juga kan terhadap negeri ini, bagaimana supaya ini yang terbaik.

Nah, dengan sistem seperti ini, pemikiran-pemikiran, ide-ide kita disalurkan lewat mana? Harus lewat partai politik. Nah kebetulan ada yang ajak masuk ke situ gitu. Itulah kita-kira latar belakangnya. Tapi yang pasti, semua partai politik baik karena niatnya adalah untuk mengurus dan kebaikan negeri ini.

Kemudian, apa langkah-langkah serta strategi yang sudah dilakukan Partai Nasdem memenangkan Pemilu 2024 nanti?

Di dalam struktur organisasi partai itu kan ada bagian-bagiannya sendiri. Ada Wantim, ada pakar, ada Mahkamah Tinggi, ada apalagi gitu ya? Nah, di dalam pemilu ini juga dibangun namanya Bappilu, itu Badan Pemenangan Pemilu yang dipimpin oleh Prananda Surya Paloh, anaknya Pak Surya Paloh, jadi merekalah yang mengatur pemenangan pemilu itu.

Jadi Bappilu ini tentu menyandarkan kepada caleg, caleg di semua tingkatan, tingkat kabupaten kota, tingkat provinsi, dan DPR RI. Inilah pasukan tempur mereka, ini kan ibaratnya kaya perang kan, merebut sasaran gitu, inilah pasukan mereka.

Jadi akhirnya tergantung kepiawaian mereka ini untuk menjual dirinya supaya dipilih dan partai yang dia bawa itu kendaraannya itulah Nasdem itu. Saya lihat sudah ada langkah-langkah itu ya. Bahkan Ketua Umum Surya Paloh pun turun sendiri untuk melakukan pembekalan terhadap para caleg ini.

Jadi pengalaman di militer juga bisa berguna ya untuk urusan politik?

Semua bisa dipakai, motto-motto itu bisa dipakai di militer, di pemerintahan, di bisnis, menurut saya sama. Cuma kalau di bisnis dirimu ya diriku gitu ya. Terus musuhmu itu adalah opportunity, peluang apa yang ada kan gitu aja kan? Tapi teknik-teknik untuk merebut itu kan sama, bagaimana bisa merebut itu.

Kemudian, bagaimana Bang Yos melihat persaingan di antara partai politik dan bakal capres jelang Pemilu 2024? Apakah masih dalam taraf yang wajar?

Ya begini ya, kita kan pemilu bukan sekali, sudah beberapa kali kita lewati. Pertama Pak SBY kalau yang langsung gitu ya. Terus Pak Jokowi dua kali, ini yang keempat kalinya. Artinya sebenarnya kita punya pengalaman dari pemilu sebelumnya dan selalu saja tensi menjelang atau makin dekat pemilu itu makin panas dan itu wajarlah.

Tetapi penguasa dalam hal ini ya harus bisa menjaga agar tensi itu pada batas tertentu. Kalau itu over, dilewatin, itu meledak. Itu tidak boleh terjadi, karena itu akan menimbulkan kerugian yang besar. Jadi caranya bagaimana? Caranya semua harus melalui koridor yang sudah ditentukan.

Pemilihan umum sudah ada tahap-tahapnya, kapan mulai kampanye, kapan mulai ini kan semua ada tahapnya, ikutin. Yang tidak, ya harus disanksi. Sanksi itu bisa teguran, bisa whatever yang pas apa gitu kan. Tetapi semua ini kita lakukan untuk menjaga tensi tadi.

Begitu juga pemilihan capres, saya kira juga harus seperti itu. Ya bersaing namanya bersaing, dalam persaingan itu kan jangan ada fitnah, jangan ada black campaign, itu tidak boleh, tetapi mengeksploitasi kelemahan lawan kaya perang, boleh dong, namanya negative campaign.

Ngomongin soal bakal capres, penilaian Bang Yos terhadap tiga bakal capres yaitu Anies Baswedan, Ganjar Pranowo, dan juga Prabowo Subianto bagaimana?

Yang beredar selama ini semua kan masih bakal ya, capresnya kan masih bacapres, bawacapres gitu kan. Ini capres dulu ya. Kita prediksi sepertinya ada tiga orang kan nanti ya, namanya Ganjar Pranowo, Prabowo Subianto dan Anies Baswedan, sepertinya itu kan, mudah-mudahan juga ini saja nanti. Atau empat, makin banyak makin baik menurut saya, sehingga masyarakat banyak alternatif untuk milih.

Oke, tiga paling tidak ya? Saya lihat ya semua punya kelebihan, tentu saja kekurangan ada, seperti manusia, seperti saya juga kan. Misalnya ya punya pengalaman di pemerintahan itu perlu ya. Tapi sebelum itu saya buat ilustrasi dulu. Saya ingin membandingkan Indonesia itu dengan perbandingan yang ekstrem, dengan Amerika.

Amerika itu negara yang sudah stabil, jadi pemerintahan dan demokrasinya itu sudah ratusan tahun umurnya, jadi benar-benar sudah stabil. Artinya bahasa populernya itu semua sudah on the track. Eksekutifnya, legislatifnya, yudikatifnya sudah on the track.

Karena itu nggak ada orang komplain kebijakan-kebijakan mereka kan, karena demokrasinya sudah ratusan tahun, sudah pas demokrasi untuk Amerika itu kaya begini. Karena itu negara kaya gini dipimpin siapa pun nggak ada masalah. Nah kita bukan seperti itu menurut saya. Kita negara yang berkembang banyak masalah, bukan Indonesia saja.

Di Malaysia, di Laos, di Vietnam juga masih banyak masalah. Artinya, sekali lagi perlu pemimpin yang memang sudah punya pengalaman, itu paling tidak kan? Oke, sekarang kembali ke tiga calon ini. Semua mempunyai lebih dan kurang gitu, kebetulan pernah di pemerintahan ada bahkan yang satunya lagi pernah di legislatif juga gitu.

Tapi pertimbangan-pertimbangan yang lain ya, misalnya masalah pengalaman berorganisasi, siapa yang paling banyak berorganisasi, dari kecil mungkin sampai di mahasiswa pernah jadi apa gitu ya. Lalu juga pendidikannya. Kebetulan ada yang di dalam juga, di luar negeri ada gitu kan?

Tetapi yang tidak kalah pentingnya menurut saya, kita harus bisa baca track record mereka masing-masing. Track record itu perjalanan hidupnya, kariernya itu pernah menjadi apa itu dan apa yang pernah dia lakukan. Mungkin pertanyaan mendasarnya adalah, dia ada success story tidak? Karena ini untuk memimpin negeri yang masih labil kan, artinya kan?

Demokrasi yang pas dengan paham Pancasila itu seperti apa? Itu pun masih kita cari-cari kan? Belum kita bicara lagi soal ekonomi, soal keamanan, soal pendidikan, hukum dan sebagainya. Artinya masih kaya begitu kan? Jadi perlu ada pemimpin yang memang dia pernah ada success story dia di sana.

Atau sebaliknya, apakah pernah melakukan hal-hal yang tercela, misalnya. Ya, hal-hal yang tercela itu kan banyak. Membunuh orang juga tercela, korupsi juga tercela, pelanggaran HAM juga tercela. Itu maksud saya begitu kan.

Ini kan harus kita baca semua untuk fair-nya, karena kita harus mencari mana yang plusnya paling banyak dari tiga orang itu. Itu harusnya masyarakat diajari untuk mempertimbangkan hal seperti itu. Itu kata Ketua Umum saya Surya Paloh, why not the best?

Bang Yos sebagai pendukung capres Joko Widodo pada Pilpres 2014 apakah masih berkomunikasi dengan Beliau?

Komunikasi? Lha Beliau siapa? saya siapa? Beliau itu kan RI-1, saya kan bukan siapa-siapa lagi gitu kan. Ya komunikasi batin mungkin ada gitu. Yang inget saya terakhir ketemu itu setelah saya terakhir Kepala BIN 2016, kan selesai Agustus.

Baru ketemu lagi tahun lalu waktu pernikahannya Kaesang, saya hadir. Jadi komunikasi terakhir ya tempel tangan saja, salaman kan gitu. Tapi kita kan selalu mendoakan yang terbaiklah.


Masa Kecil yang Tak Mudah

Mantan Gubernur DKI Jakarta, Letjen TNI (Purn) Sutiyoso. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Kenapa membuat Museum Bang Yos, ada alasan khusus?

Begini, saya mempunyai pengalaman yang unik ya, saya jujur saja masa kecil itu sangat menderitalah. Walaupun memang zamannya zaman menderita ya, bahkan kehidupan keluarga ayah saya ini ya, itu dikatakan lebih baik dari masyarakat-masyarakat yang lain.

Yang pandai membaca dan menulis itu hanya keluarga kita saja, yang lain masih banyak yang buta huruf. Tetapi memang serba kekurangan dan waktu kecil itu perjuangan kita amat beratlah. Salah satu contoh waktu saya kelas enam, karena di kampung saya itu hanya sampai kelas 5, itu pun dua kelas menggunakan ruangan tamu dari rumah kita, dikorbankan oleh Ayah kita untuk kelas 4 dan kelas 5.

Waktu saya kelas 6 nggak ada space lagi untuk dikorbankan, saya harus ke kecamatan, jaraknya empat kilometer. Celakanya lagi, teman saya yang sekolah di kampung ini nggak ada yang mau lagi meneruskan ke kelas 6, kelas 5 sudah cukuplah alhamdulilah. Jadi Sutiyoso kecil, kira-kira pada umur sembilan atau 10 tahunlah tiap hari jam 5 pagi ngelewatin sawah, lewatin hutan belantara sendirian itu.

Pulang kepanasan, kehausan nggak punya duit, sudah luar biasalah. Belum lagi pada saat saya masuk kota ya, SMP kan nggak ada di tempat saya, terus masuk kota. Bayangkan dari desa masuk ibu kota provinsi, Semarang kan begitu.

Yang paling jengkel itu saya suka berkelahi karena sering dihina sama teman-teman. Bahasa yang menyakitkan, Sutiyoso ndeso, kere gitu. Nah pokoknya tak hantam saja sudah, mulutnya langsung tak hajar saja gitu. Saya sering berkelahi karena itu ya.

Sebenarnya ada hikmah lain saya masuk ke AMN itu, yang paling jelas adalah saya berubah total dan bukan diri saya yang menilai ya, Ibu saya, saudara, kakak-kakak saya, teman-teman akrab saya. Sutiyoso berubah total. Yang tadinya saya troublemaker menjadi tertib dan disiplin setelah masuk militer. Itulah hikmah banget yang saya saya dapatkan dari kehidupan di militer itu.

Nah, itu kan perjalanan hidup ya. Pertama saya nulis buku, buku biografi ya. Lalu saya terpikir ya, yang lebih mudah lagi apa ya, kalau saya membangun museum, tapi biografi juga isinya, inilah biografi kan? Oleh karena itu di sana kan kaya diorama, menceritakan Sutiyoso waktu kecil, yaitu habis pulang sekolah saya bahasa Jawanya itu angon wedus itu kan.

Saya kan bertanya-tanya waktu sudah dewasa itu, dari mana Ayah saya itu membiayai kakak-kakak saya yang begitu banyak, kita ada delapan orang ini dari mana duitnya? Gajinya amat kecillah, guru SD itu berapa? Memang punya sawah dan punya ternak banyak. Tapi kok nggak pernah makan dagingnya aku ya, kecuali hari raya Idul Fitri saja setahun sekali. Ternyata ternak itu dijual.

Kakak saya kan bayar indekos, bayar sekolah, makan gitu ya. Jadi perjuangannya luar biasa Ayah saya itu sampai rumah pun dikorbankan untuk kelas segala macam. Kaya begitu pengorbanan luar biasa. Nah, dengan melihat ini saya sudah ukur, dengan membaca keterangan-keterangan kecil itu ya, itu kira-kira satu seperempat jam, selesai sampai saya jadi Kepala BIN yang terakhir.

Nah kalau pengunjung museum keluar dan bergumam, ah Bang Yos, anak desa, anak miskin bisa kaya gitu, apalagi gue, masa engga bisa? Motivasi itu yang ingin saya tanamkan ke anak cucu saya dan juga generasi berikutnya gitu. Makanya ini semuanya saya buka untuk umum. Silakan datang serombongan, dulu memang pernah saya tutup karena waktu dibuka terus pandemi gitu kan, takut juga.

Ini memang saya proyeksikan untuk anak-anak sekolah. Jangan kita pernah menyerah, pada saat kita keleleran kaya begitu, serba kekurangan. Sudahlah, aku memang sudah dilahirkan kaya begini. Jangan, itu nggak boleh, kita harus berupaya keras. Jadi tadi yang ledek, Sutiyoso ndeso, kere gitu kan. Waktu saya jadi gubernur pada ngantri jadi tamu saya kan, nyari proyek di DKI.

Memang hidup itu kaya roda, saat kita di bawah karena kita fight bisa sejajar dengan teman-teman, satu saat kita di atas yang tadi di atas turun ke bawah, kita pun akan mengalami begitu. Jadi, oleh karena itu pada saat kita di bawah jangan cepat menyerah, pada saat kita di atas, jangan jemawalah gitu.

Kira-kira apa yang akan dikatakan Ayah jika Beliau masih hidup dan melihat perjalanan hidup Bang Yos saat ini?

Kamu bikin saya nangis kalau tanya Ayah gitu. Saya itu kan yang paling kepengen memberangkatkan haji orangtua. Pada saat kita mampu Beliau sudah nggak ada. Jadi waktu Ayah saya itu meninggal waktu saya sekolah di Australia, meninggal. Jadi ya saya sudah nggak bisa lagi untuk ikutan ke makam. Ibu saya juga setahun kemudian, saya masih kolonel gitu, saya di Kostrad, meninggal.

Ayah saya tuh aneh orangnya. Pernah suatu ketika hujan-hujan gitu kita sambil menghangatkan badan di dapur, ngomong pakai bahasa Jawa. Yos, kamu itu nanti bisa jadi jenderal apa nggak? Waktu itu saya masih mayor. Beliau melanjutkan, jangan seperti Mas Parto kakak saya yang bolak balik hanya jadi wakil gubernur.

Mas Parto itu kakak saya yang pertama, dia sipil. Di zaman Pak Harto semua gubernur di Jawa itu militer, wakilnya boleh sipil kan. Periode pertama kakak saya jadi wagub, terus periode kedua dijadikan gubernur ditawarinnya di Kalbar karena Beliau pernah jadi asisten di sana kan.

Tapi kakak saya menawar gitu, soalnya anaknya enam dan sudah dipindahkan ke Jawa semua, nggak mungkin diboyong lagi. Kalau boleh biar jadi wagub lagi saja di Jawa Tengah saa. Akhirnya jadi wagub lagi.

Ayah saya lantas bergumam, siapa tahu nanti kamu jadi gubernur. Padahal, bagaimana mungkin saya pasukan khusus, tentara, terus jadi gubernur, wah nggak bisa Pak, itu bukan jurusan saya. Nyatanya, saya memang benar bisa jadi gubernur, termenung-menung gitu saya mikirinnya. Kok Ayah saya pernah ngomong kayak begiru dan jadi kenyataan.

Doa orangtua itu benar-benar ampuh...

Jadi itulah yang saya selalu kenang, luar biasa orangtua kita ini dan pada saat kita mampu untuk membalasnya, mensejahterakan, memberikan sesuatu yang dulu nggak mungkin bisa capai tapi sudah tidak ada lagi. Oleh karena itu pelajaran lagi, bagaimana anak yang merasa sukses dan orangtua masih ada, segeralah berikan yang kira-kira membuat orangtuamu itu senang.

 

 

 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya